
'Obat Kuat' dari China Kurang Joss, Rupiah Terlemah di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 February 2020 12:21

Jakarta, CBC Indonesia - Mata uang utama Asia, termasuk rupiah, masih melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Sepertinya 'obat kuat' dari China belum ampuh meningkatkan gairah pasar.
Pada Kamis (20/2/2020) pukul 11:40 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 13.765 di perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,62% dan menyentuh titik terlemah sejak 9 Januari.
Rupiah memang tidak sendiri di zona merah. Seluruh mata uang utama Asia juga melemah terhadap dolar AS, tidak ada yang bisa menguat. A
kan tetapi, pelemahan 0,62% membuat rupiah menjadi mata uang terlemah di Benua Kuning. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 11:44 WIB:
Sepertinya rupiah mulai merasakan karma. Ingat belum lama ini rupiah terus-menerus menguat hingga menjadi mata uang nomor satu dunia? Sekarang penguatan yang 'ugal-ugalan' mulai menjadi senjata makan tuan.
Kala menjadi mata uang terbaik dunia, penguatan rupiah mencapai lebih dari 2% year-to-date (YtD). Ini membuat rupiah rentan terserang aksi ambil untung (profit taking) karena investor pasti tergoda mencairkan cuan yang sudah lumayan besar.
Perlahan tetapi pasti, aksi jual yang melanda rupiah membuat penguatan mata uang Ibu Pertiwi tergerus. Dalam sebulan terakhir rupiah terdepresiasi 1,03% dan secara YtD penguatannya menipis menjadi kurang dari 1%.
Apalagi investor sedang sangat berhati-hati menyikapi penyebaran virus Corona yang semakin luas. Berdasarkan data satelit pemetaan ArcGi per 11:03 WIB, jumlah korban Corona di seluruh dunia mencapai 75.725. Korban jiwa semakin bertambah menjadi 2.128.
Prospek perekonomian global yang sempat cerah gara-gara kesepakatan damai dagang Fase I antara AS-China kini mendung lagi. Virus Corona membuat aktivitas masyarakat, terutama di China, menjadi terhambat dan lesu. Berbagai kalangan mulai mengingatkan soal risiko gelombang Pemutusan Hubungan (PHK) di Negeri Panda.
"Pasar tenaga kerja masih oke pada kuartal I ini. Namun jika penyebaran virus tidak bisa teratasi sampai akhir Maret, maka mungkin kita akan melihat gelombang PHK. Kami memperkirakan akan ada 4,5 juta pekerjaan yang hilang," tegas Dan Wang, Analis Economist Intelligence Unit, seperti diberitakan Reuters.
China adalah perekonomian terbesar kedua dunia yang memegang peran penting dalam rantai pasok global. Riset DBS menyebutkan China menyumbang 30-40% dari total ekspor produk tekstil dan alas kaki global. Selain itu, sekitar 20% ekspor mesin dan peralatan listrik dunia berasal dari Negeri Tirai Bambu.
Oleh karena itu, perlambatan ekonomi di China pasti akan mempengaruhi perekonomian dunia. Bahkan sejumlah negara sudah mulai mendekati jurang resesi seperti Singapura dan Jepang.
Indonesia juga pasti akan merasakan dampaknya. Walau belum ada laporan penderita virus Corona di Tanah Air, tetapi dampak ekonomi pasti akan sangat terasa.
"Masalah coronavirus, spill over ke dunia akan semakin besar karena RRT (Republik Rakyat Tiongkok) berperan sebagai global value chain, perdagangan, produksi, maupun (kontribusi) turis. FDI (Foreign Direct Investment) juga akan terpengaruh. Indonesia akan terpengaruh pada share turis 13%. China menyumbang share kedua dari Malaysia.
Apabila pertumbuhan ekonomi RRT melemah 1% dari baseline mereka 6%, Indonesia akan mengalami penurunan 0,3-06%. Ini cukup besar karena baseline pertumbuhan kita 5,02% dari pertumbuhan ekonomi 2019," jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Pagi ini sempat ada harapan bagi pasar keuangan Asia seiring pengumuman bank sentral China (PBoC) yang menurunkan suku bunga acuan kredit perbankan (Loan Prime Rate/LPR). Untuk LPR tenor setahun turun dari 4,15% menjadi 4,05%, sementara lima tahun turun dari 4,8% menjadi 4,75%.
Awal pekan ini, PBoC sudah menurunkan suku bunga Medium Term Lending Facility (MLF). Berbagai stimulus tersebut diharapkan mampu memerangi dampak virus Corona dan meningkatkan gairah di pasar seiring likuiditas yang berlimpah.
Akan tetapi, ternyata harapan tidak seindah kenyataan. Penyebaran virus Corona yang semakin menggila dan belum tahu kapan bakal berakhir membuat kecemasan investor masih tinggi.
"Pelaku pasar akhirnya mundur teratur karena belum ada kepastian kapan penyebaran virus akan berakhir. Sebab stimulus tidak akan berguna kalau orang-orang masih duduk di rumah dan tidak bekerja," tegas Sea Darby, Global Equity Strategist di Jeffries yang berbasis di Hong Kong, seperti dikutip dari Reuters.
Ibarat penonton pertandingan sepakbola yang kecewa dan memutuskan untuk meninggalkan stadion, investor kini mundur dari pasar keuangan Asia. Akibatnya, mata uang Asia pun melemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Kamis (20/2/2020) pukul 11:40 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 13.765 di perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,62% dan menyentuh titik terlemah sejak 9 Januari.
Rupiah memang tidak sendiri di zona merah. Seluruh mata uang utama Asia juga melemah terhadap dolar AS, tidak ada yang bisa menguat. A
kan tetapi, pelemahan 0,62% membuat rupiah menjadi mata uang terlemah di Benua Kuning. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 11:44 WIB:
Sepertinya rupiah mulai merasakan karma. Ingat belum lama ini rupiah terus-menerus menguat hingga menjadi mata uang nomor satu dunia? Sekarang penguatan yang 'ugal-ugalan' mulai menjadi senjata makan tuan.
Kala menjadi mata uang terbaik dunia, penguatan rupiah mencapai lebih dari 2% year-to-date (YtD). Ini membuat rupiah rentan terserang aksi ambil untung (profit taking) karena investor pasti tergoda mencairkan cuan yang sudah lumayan besar.
Perlahan tetapi pasti, aksi jual yang melanda rupiah membuat penguatan mata uang Ibu Pertiwi tergerus. Dalam sebulan terakhir rupiah terdepresiasi 1,03% dan secara YtD penguatannya menipis menjadi kurang dari 1%.
Apalagi investor sedang sangat berhati-hati menyikapi penyebaran virus Corona yang semakin luas. Berdasarkan data satelit pemetaan ArcGi per 11:03 WIB, jumlah korban Corona di seluruh dunia mencapai 75.725. Korban jiwa semakin bertambah menjadi 2.128.
Prospek perekonomian global yang sempat cerah gara-gara kesepakatan damai dagang Fase I antara AS-China kini mendung lagi. Virus Corona membuat aktivitas masyarakat, terutama di China, menjadi terhambat dan lesu. Berbagai kalangan mulai mengingatkan soal risiko gelombang Pemutusan Hubungan (PHK) di Negeri Panda.
"Pasar tenaga kerja masih oke pada kuartal I ini. Namun jika penyebaran virus tidak bisa teratasi sampai akhir Maret, maka mungkin kita akan melihat gelombang PHK. Kami memperkirakan akan ada 4,5 juta pekerjaan yang hilang," tegas Dan Wang, Analis Economist Intelligence Unit, seperti diberitakan Reuters.
China adalah perekonomian terbesar kedua dunia yang memegang peran penting dalam rantai pasok global. Riset DBS menyebutkan China menyumbang 30-40% dari total ekspor produk tekstil dan alas kaki global. Selain itu, sekitar 20% ekspor mesin dan peralatan listrik dunia berasal dari Negeri Tirai Bambu.
Oleh karena itu, perlambatan ekonomi di China pasti akan mempengaruhi perekonomian dunia. Bahkan sejumlah negara sudah mulai mendekati jurang resesi seperti Singapura dan Jepang.
Indonesia juga pasti akan merasakan dampaknya. Walau belum ada laporan penderita virus Corona di Tanah Air, tetapi dampak ekonomi pasti akan sangat terasa.
"Masalah coronavirus, spill over ke dunia akan semakin besar karena RRT (Republik Rakyat Tiongkok) berperan sebagai global value chain, perdagangan, produksi, maupun (kontribusi) turis. FDI (Foreign Direct Investment) juga akan terpengaruh. Indonesia akan terpengaruh pada share turis 13%. China menyumbang share kedua dari Malaysia.
Apabila pertumbuhan ekonomi RRT melemah 1% dari baseline mereka 6%, Indonesia akan mengalami penurunan 0,3-06%. Ini cukup besar karena baseline pertumbuhan kita 5,02% dari pertumbuhan ekonomi 2019," jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Pagi ini sempat ada harapan bagi pasar keuangan Asia seiring pengumuman bank sentral China (PBoC) yang menurunkan suku bunga acuan kredit perbankan (Loan Prime Rate/LPR). Untuk LPR tenor setahun turun dari 4,15% menjadi 4,05%, sementara lima tahun turun dari 4,8% menjadi 4,75%.
Awal pekan ini, PBoC sudah menurunkan suku bunga Medium Term Lending Facility (MLF). Berbagai stimulus tersebut diharapkan mampu memerangi dampak virus Corona dan meningkatkan gairah di pasar seiring likuiditas yang berlimpah.
Akan tetapi, ternyata harapan tidak seindah kenyataan. Penyebaran virus Corona yang semakin menggila dan belum tahu kapan bakal berakhir membuat kecemasan investor masih tinggi.
"Pelaku pasar akhirnya mundur teratur karena belum ada kepastian kapan penyebaran virus akan berakhir. Sebab stimulus tidak akan berguna kalau orang-orang masih duduk di rumah dan tidak bekerja," tegas Sea Darby, Global Equity Strategist di Jeffries yang berbasis di Hong Kong, seperti dikutip dari Reuters.
Ibarat penonton pertandingan sepakbola yang kecewa dan memutuskan untuk meninggalkan stadion, investor kini mundur dari pasar keuangan Asia. Akibatnya, mata uang Asia pun melemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular