LPS Ungkap Efek Buruk Ekonomi Cuma Tumbuh 5% ke Perbankan RI

Yuni Astutik, CNBC Indonesia
16 February 2020 20:35
Simak penjelasan Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah.
Foto: Detikcom
Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Dewan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah membeberkan sejumlah tantangan dalam industri perbankan Indonesia. Penjelasan yang disampaikan Halim dalam wawancara khusus dengan CNBC Indonesia di kantor LPS, pekan lalu, merentang dari rekening tabungan milik masyarakat hingga bank sistemik. Semua tidak bisa dilepaskan dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil di kisaran 5,0%.

Berikut adalah perinciannya:

Perlambatan pertumbuhan rekening tabungan di bawah Rp 500 juta
LPS mencatat ada perlambatan pertumbuhan rekening tabungan milik masyarakat yang berjumlah di bawah Rp 500 juta sejak semester pertama 2019. Halim mengatakan hal itu sejalan dengan perlambatan pertumbuhan pendapatan masyarakat.

"Ini terkonfirmasi data makro ekonomi, konsumsi masyarakat stagnan tak naik. Sumber tabungan tak lain pendapatan. Kalau tabungan melambat berarti menunjukkan pendapatan melambat," ujarnya.

"Pertumbuhan pendapatan di kalangan pendapatan tinggi lebih cepat. Sebabnya terjadi divergensi antara tabungan di bawah Rp 500 juta dan tabungan di atas Rp 2 miliar," lanjut Halim.

Padahal sebelumnya, jumlah tabungan di bawah Rp 500 juta tercatat naik. Salah satu penyebabnya karena adanya program bantuan pemerintah.

Sementara itu, pada semester I tahun 2019, bantuan pemerintah terlihat memengaruhi jumlah tabungan di bawah Rp 100 juta. Bantuan itu memang menjadi salah satu alat agar konsumsi masyarakat tidak turun.

"Setelah semester II program ini agak melambat. Itulah kenapa kita lihat tabungan masyarakat di bawah Rp 500 juta melambat," kata Halim.

Pertumbuhan DPK
LPS juga memperkirakan perlambatan pertumbuhan dana pihak ketiga di perbankan tanah air. Halim mengatakan hal itu sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diproyeksikan masih berada di kisaran 5%.

"Pertumbuhan DPK perlahan-lahan lambat, kemudian pertumbuhan kredit juga akan menyesuaikan diri," ujarnya.

Halim menjelaskan, perbankan dengan likuiditas ketat tidak akan berani melakukan ekspansi kredit secara berlebihan. Ia mencontohkan temuan LPS pada Bank BUKU III.



"Bank BUKU III ekspansif. Itu yang berakibat LDR tinggi mencapai 120%. Karena sudah tinggi itulah mereka konsolidasi tak berani memberikan kredit, sehingga kredit jauh turun 3,7%," imbuhnya.

Namun, kondisi berbeda tampak di Bank BUKU IV. Tahun lalu, kredit bank BUKU IV masih tumbuh sekitar 8-9%. Sementara bank buku lain, dinilai sudah mepet tak berani melakukan ekspansi.

"Kondisi ini akan berlanjut di tahun yang akan datang kalau pertumbuhan kita belum bisa keluar 5%," tegasnya.

Dia menyebut kondisi ini akan berakhir jika likuiditas perbankan bertambah. Misalnya dengan pertumbuhan DPK dan arus dana yang masuk dari luar negeri.

"Semoga saja, karena Indonesia termasuk negara stabil memberikan return menarik, suku bunga tinggi, risiko makro cukup terkendali. Ini adalah hal-hal yang bisa membuat kita optimis, namun optimisme berhati-hati," kata Halim.

Premi tambahan
Halim juga mengomentari soal premi tambahan terhadap pelaku industri perbankan. Ia mengungkapkan tahun lalu ada kesepakatan di Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk menunda dulu pemberlakuan kebijakan itu.

"Nanti dilihat apakah tahun ini bisa dilakukan sesuai kondisi makro ekonomi dan perbankan," ujar Halim.

Adapun premi tambahan tersebut adalah premi yang dikumpulkan oleh LPS dan akan dibayarkan apabila terjadi krisis perbankan. Premi ini memang khusus digunakan untuk penyelamatan perbankan yang berdampak sistemik.

"Ini sekarang ada 14 bank sistemik ditentukan oleh OJK setelah koordinasi dengan BI dan 14 bank inilah yang akan menjadi sasaran apabila terjadi apa-apa. LPS memiliki kewajiban menyelamatkan 14 bank ini," imbuhnya.

[Gambas:Video CNBC]


(miq/miq) Next Article Perbankan Sehat, LPS: Belum Ada Penempatan Dana Langsung

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular