
Waspada Rekor Wall Street, di Februari Bisa Rontok
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
11 February 2020 14:33

Faktor kedua yang berpotensi merontokkan kinerja Wall Street di sisa bulan ini adalah paparan dari Gubernur The Federal Reserve Jerome Powell.
Pada hari ini, Selasa (11/2/2020), Powell dijadwalkan untuk memberikan paparan terkait laporan kebijakan moeneter semi-tahunan di hadapan anggota DPR AS. Kemudian besok, Rabu (12/2/2020), Powell akan memberikan paparan terkait hal yang sama di hadapan anggota Senat AS.
Melalui paparan tersebut, biasanya akan didapati kisi-kisi dari Powell terkait dengan arah kebijakan moneter di masa depan. Untuk diketahui, belum lama ini The Fed memutuskan untuk menahan tingkat suku bunga acuan di rentang 1,5%-1,75%.
Sebagai catatan, di sepanjang tahun 2019 The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak tiga kali, masing-masing sebesar 25 bps, yakni pada bulan Juli, September, dan Oktober. Jika ditotal, federal funds rate sudah dipangkas sebesar 75 bps oleh Powell dan koleganya di bank sentral.
Perang dagang AS-China, perlambatan ekonomi global, dan inflasi yang rendah menjadi faktor yang membuat The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps tersebut.
Sejauh ini, pelaku pasar masih berharap bahwa The Fed akan kembali memangkas tingkat suku bunga acuan di tahun 2020. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 10 Februari 2020, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada tahun ini berada di level 35,5%.
Lebih lanjut, probabilitas bahwa tingkat suku bunga acuan akan dipangkas sebesar 50 bps dan 75 bps masing-masing berada di level 29,4% dan 13,1%.
Jika ada nada-nada hawkish yang terlontar dari mulut Powell dalam paparannya di hadapan anggota DPR dan Senat AS, pelaku pasar bisa kecewa dan melakukan aksi jual yang pada akhirnya akan menekan kinerja Wall Street.
Penyebabnya ya itu, laju pertumbuhan ekonomi AS pada tahun 2019 yang hanya sebesar 2,3% merupakan laju pertumbuhan ekonomi terlemah dalam tiga tahun. Dibutuhkan stimulus yang salah satunya bisa berasal dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan jika ingin laju perekonomian tetap berada di level yang realtif tinggi.
Faktor ketiga yang berpotensi merontokkan Wall Street di sisa bulan ini adalah rilis data ekonomi AS. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, sejauh ini kinerja Wall Street di bulan Februari terbilang menggembirakan seiring dengan rilis data ekonomi AS yang oke.
Di sisa bulan ini, ada berbagai rilis data ekonomi yang jika hasilnya mengecewakan, maka bisa memantik aksi jual dengan intensitas yang besar di pasar saham AS. Rilis data ekonomi tersebut meliputi inflasi periode Januari 2020, penjualan barang-barang ritel periode Januari 2020, pembacaan awal atas data Manufacturing PMI periode Februari 2020, hingga indeks keyakinan konsumen periode Februari 2020. (ank/ank)
Pada hari ini, Selasa (11/2/2020), Powell dijadwalkan untuk memberikan paparan terkait laporan kebijakan moeneter semi-tahunan di hadapan anggota DPR AS. Kemudian besok, Rabu (12/2/2020), Powell akan memberikan paparan terkait hal yang sama di hadapan anggota Senat AS.
Melalui paparan tersebut, biasanya akan didapati kisi-kisi dari Powell terkait dengan arah kebijakan moneter di masa depan. Untuk diketahui, belum lama ini The Fed memutuskan untuk menahan tingkat suku bunga acuan di rentang 1,5%-1,75%.
Perang dagang AS-China, perlambatan ekonomi global, dan inflasi yang rendah menjadi faktor yang membuat The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps tersebut.
Sejauh ini, pelaku pasar masih berharap bahwa The Fed akan kembali memangkas tingkat suku bunga acuan di tahun 2020. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 10 Februari 2020, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada tahun ini berada di level 35,5%.
Lebih lanjut, probabilitas bahwa tingkat suku bunga acuan akan dipangkas sebesar 50 bps dan 75 bps masing-masing berada di level 29,4% dan 13,1%.
Jika ada nada-nada hawkish yang terlontar dari mulut Powell dalam paparannya di hadapan anggota DPR dan Senat AS, pelaku pasar bisa kecewa dan melakukan aksi jual yang pada akhirnya akan menekan kinerja Wall Street.
Penyebabnya ya itu, laju pertumbuhan ekonomi AS pada tahun 2019 yang hanya sebesar 2,3% merupakan laju pertumbuhan ekonomi terlemah dalam tiga tahun. Dibutuhkan stimulus yang salah satunya bisa berasal dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan jika ingin laju perekonomian tetap berada di level yang realtif tinggi.
Faktor ketiga yang berpotensi merontokkan Wall Street di sisa bulan ini adalah rilis data ekonomi AS. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, sejauh ini kinerja Wall Street di bulan Februari terbilang menggembirakan seiring dengan rilis data ekonomi AS yang oke.
Di sisa bulan ini, ada berbagai rilis data ekonomi yang jika hasilnya mengecewakan, maka bisa memantik aksi jual dengan intensitas yang besar di pasar saham AS. Rilis data ekonomi tersebut meliputi inflasi periode Januari 2020, penjualan barang-barang ritel periode Januari 2020, pembacaan awal atas data Manufacturing PMI periode Februari 2020, hingga indeks keyakinan konsumen periode Februari 2020. (ank/ank)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular