Waspada Rekor Wall Street, di Februari Bisa Rontok

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
11 February 2020 14:33
Waspada Rekor Wall Street, di Februari Bisa Rontok
Foto: Wall Street (AP Photo/Richard Drew)
Jakarta, CNBC Indonesia - Wall Street seakan tak pernah lelah mencetak rekor dalam beberapa waktu terakhir.

Pada perdagangan kemarin, Senin (10/2/2020), indeks S&P 500 selaku indeks saham yang paling baik guna merepresentasikan kinerja bursa saham AS, ditutup menguat 0,73%, membawanya ke level penutupan tertinggi sepanjang masa.

Jika dihitung di sepanjang bulan Februari (hingga penutupan perdagangan kemarin), indeks S&P 500 tercatat sudah melejit hingga 3,92%.

Memang, sejatinya bulan Februari merupakan bulan yang baik bagi pasar saham AS. Dalam 10 tahun terakhir (2010-2019), indeks S&P 500 hanya dua kali membukukan imbal hasil negatif secara bulanan pada bulan Februari, yakni pada tahun 2016 dan 2018.

Apresiasi terbaik indeks S&P 500 pada bulan Februari terjadi pada tahun 2015. Per akhir Februari 2015, indeks S&P 500 melejit hingga 5,49% jika dibandingkan dengan posisi per akhir Januari 2015.

Jika dirata-rata, indeks S&P 500 membukukan imbal hasil sebesar 2,34% secara bulanan pada bulan Februari.


Seiring dengan kinclongnya kinerja Wall Street di sepanjang bulan ini, kinerja pasar saham Indonesia pun terangkat, walaupun tipis saja. Jika dihitung sejak awal bulan ini hingga penutupan perdagangan kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selaku indeks saham acuan di Indonesia tercatat menguat tipis 0,2%.


Namun, di sisa bulan ini pelaku pasar saham patut berhati-hati lantaran ada potensi bahwa Wall Street akan diterpa tekanan jual yang signifikan. Ada dua hal yang melandasi pemikiran tersebut.

Pertama, imbal hasil indeks S&P 500 hingga penutupan perdagangan kemarin yang mencapai 3,92% sudah jauh mengalahkan rata-rata imbal hasilnya pada bulan Februari yang 'hanya' sebesar 2,34%.

Kedua, patut diingat bahwa tahun ini merupakan tahun politik di AS. Pada awal November 2020, pemilihan presiden AS untuk periode 2021-2024 akan digelar. Donald Trump yang kini menjabat sebagai presiden AS merupakan satu-satunya calon dari Partai Republik yang nantinya tentu akan bersaing dengan calon dari Partai Demokrat.

Di bulan Februari yang bersamaan dengan tahun politik, secara rata-rata indeks S&P 500 justru bergerak flat. Melansir perhitungan oleh Ryan Detrick selaku Senior Market Strategist di LPL Financial menggunakan data sejak tahun 1950, secara rata-rata indeks S&P 500 membukukan imbal hasil sebesar 0% secara bulanan di bulan Februari tahun politik.

Memang, sejarah tak menunjukkan bahwa indeks S&P 500 akan membukukan koreksi, tapi di sisi lain sejarah juga menunjukkan bahwa indeks S&P 500 tak akan memberikan keuntungan bagi pelaku pasar di bulan Februari tahun politik.


Secara rata-rata, indeks S&P 500 membukukan performa terbaik di bulan November kala ada tahun politik, dengan imbal hasil mencapai 1,47%. Sementara itu, performa terburuk bisa didapati di bulan Oktober, dengan rata-rata koreksi sebesar 0,74%.

Bulan Februari sendiri merupakan satu-satunya bulan yang tak memberikan imbal hasil, baik itu positif maupun negatif.

Lantas, pelaku pasar saham Indonesia harus benar-benar berhati-hati. Pasalnya, jika ternyata sejarah kembali terulang, ada peluang bahwa apresiasi indeks S&P 500 yang nyaris mencapai 4% di sepanjang bulan ini akan terpangkas.

Wall Street sendiri merupakan kiblat dari pasar saham, bahkan pasar keuangan dunia. Ketika Wall Street membukukan koreksi yang signifikan, hampir bisa dipastikan bahwa tekanan jual juga akan terasa di pasar saham Indonesia.

[Gambas:Video CNBC]



Rilis data ekonomi yang menggembirakan sukses memantik aksi beli di bursa saham AS di sepanjang bulan ini. Pada awal pekan kemarin, Manufacturing PMI AS periode Januari 2020 versi Institute for Supply Management (ISM) diumumkan di level 50,9, di atas konsensus yang sebesar 48,5, seperti dilansir dari Forex Factory.

Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.

Ekspansi aktivitas manufaktur AS pada bulan lalu menandai ekspansi pertama dalam enam bulan.

Kemudian, penciptaan lapangan kerja periode Januari 2020 (di luar sektor pertanian) versi Automatic Data Processing (ADP) diumumkan sebanyak 291.000, di atas konsensus yang dihimpun oleh Dow Jones sebanyak 150.000. Penciptaan lapangan kerja tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan capaian bulan Desember yang hanya sebanyak 199.000.

Melansir CNBC International, penciptaan lapangan kerja yang sebanyak 291.000 pada bulan lalu merupakan capaian terbaik sejak Mei 2015.

Lebih lanjut, Services PMI periode Januari 2020 versi ISM diumumkan di level 55,5, di atas konsensus yang sebesar 55,1, seperti dilansir dari Forex Factory.

Teranyar menjelang akhir pekan kemarin, penciptaan lapangan kerja periode Januari 2020 (di luar sektor pertanian) versi resmi pemerintah AS diumumkan sebanyak 225.000, jauh di atas ekspektasi yang sebanyak 163.000, seperti dilansir dari Forex Factory.

Rilis data ekonomi yang menggembirakan tersebut memberikan harapan bahwa laju perekonomian AS akan membaik di tahun 2020.

Belum lama ini, pembacaan awal atas angka pertumbuhan ekonomi AS periode kuartal IV-2019 diumumkan di level 2,1% (QoQ annualized), sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh Dow Jones.

Untuk keseluruhan tahun 2019, perekonomian AS hanya tumbuh 2,3%, menandai laju pertumbuhan terlemah dalam tiga tahun. Untuk diketahui, pada tahun 2017 perekonomian AS tumbuh sebesar 2,4%, diikuti pertumbuhan sebesar 2,9% pada tahun 2018.

Laju pertumbuhan tersebut juga berada di bawah target yang dipatok oleh pemerintahan Presiden Trump. Pasca resmi memangkas tingkat pajak korporasi dan individu pada tahun 2017, Gedung Putih memproyeksikan pertumbuhan ekonomi untuk setidaknya berada di level 3%.

Kini, ada beberapa faktor yang berpotensi merontokkan Wall Street di sisa bulan ini. Pertama, terus meluasnya infeksi virus Corona. Virus Corona sendiri merupakan virus yang menyerang sistem pernafasan manusia. Gejala dari paparan virus Corona meliputi batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam, seperti dilansir dari CNN International.

Berpusat di China, kasus infeksi virus Corona juga dilaporkan telah terjadi di negara-negara lain. Dilansir dari halaman Johns Hopkins, hingga kini setidaknya sebanyak 28 negara telah mengonfirmasi terjadinya infeksi virus Corona di wilayah mereka.

China, Hong Kong, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, AS, Vietnam, Prancis, Jerman, Inggris, Nepal, dan Kanada termasuk ke dalam daftar negara yang sudah melaporkan infeksi virus Corona.

Melansir CNBC International, hingga hari Senin (10/2/2020) sebanyak 1.016 orang di China telah meninggal akibat infeksi virus Corona, dengan jumlah kasus mencapai lebih dari 42.000.

Melansir publikasi dari Johns Hopkins, di AS sendiri hingga kini terdapat 13 kasus infeksi virus Corona.

Riset dari Standard & Poor's (S&P) menyebutkan bahwa virus Corona akan memangkas pertumbuhan ekonomi China sekitar 1,2 persentase poin. Jadi, kalau pertumbuhan ekonomi China pada tahun ini diperkirakan berada di level 6%, maka virus Corona akan memangkasnya menjadi 4,8% saja.

Untuk diketahui, pada tahun 2019 perekonomian Negeri Panda tercatat tumbuh sebesar 6,1%, melambat signifikan dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Melansir CNBC International yang mengutip Reuters, pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 merupakan yang terlemah sejak tahun 1990.

"Pada tahun 2019, konsumsi menyumbang sekitar 3,5 persentase poin dari pertumbuhan ekonomi China yang sebesar 6,1%. Dengan perkiraan konsumsi domestik turun 10%, maka pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan berkurang sekitar 1,2 persentase poin," tulis riset S&P.

Meluasnya infeksi virus Corona di China terbukti sukses dalam menggangu kegiatan ekonomi masyarakat dan perusahaan-perusahaan di sana. Sejatinya, libur Tahun Baru China pada awalnya dijadwalkan untuk berlangsung pada tanggal 24 hingga 30 Januari 2020.

Melansir pemberitaan CNBC International, hingga Senin pagi (3/2/2020) setidaknya 24 provinsi, kota, dan wilayah di China telah mengabarkan kepada perusahaan-perusahaan untuk menghentikan operasional hingga setidaknya tanggal 10 Februari.

Bahkan, provensi Hubei yang terdampak paling parah oleh virus Corona, telah mengabarkan kepada perusahaan-perusahaan untuk tak beroperasi hingga setidaknya tanggal 14 Februari.

Menurut perhitungan CNBC International menggunakan data yang dipublikasikan oleh Wind Information, 24 provinsi, kota, dan wilayah yang memperpanjang libur Tahun Baru China tersebut berkontribusi sebesar lebih dari 80% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) China. Sementara itu, kontribusi dari wilayah-wilayah tersebut terhadap total ekspor mencapai 90%.

Perkembangan terbaru, kini beberapa provinsi dan distrik telah mengabarkan kepada perusahaan-perusahaan untuk tak beroperasi hingga tanggal 1 Maret, seperti dilansir dari CNBC International yang mengutip pejabat-pejabat pemerintahan China.

Sejauh ini, China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di planet bumi, sekaligus pemain utama dalam rantai pasok dunia. Lantas, dampak dari tekanan terhadap perekonomian China dipastikan akan sangat terasa bagi perekonomian global, termasuk AS. Faktor kedua yang berpotensi merontokkan kinerja Wall Street di sisa bulan ini adalah paparan dari Gubernur The Federal Reserve Jerome Powell.

Pada hari ini, Selasa (11/2/2020), Powell dijadwalkan untuk memberikan paparan terkait laporan kebijakan moeneter semi-tahunan di hadapan anggota DPR AS. Kemudian besok, Rabu (12/2/2020), Powell akan memberikan paparan terkait hal yang sama di hadapan anggota Senat AS.

Melalui paparan tersebut, biasanya akan didapati kisi-kisi dari Powell terkait dengan arah kebijakan moneter di masa depan. Untuk diketahui, belum lama ini The Fed memutuskan untuk menahan tingkat suku bunga acuan di rentang 1,5%-1,75%.

Sebagai catatan, di sepanjang tahun 2019 The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak tiga kali, masing-masing sebesar 25 bps, yakni pada bulan Juli, September, dan Oktober. Jika ditotal, federal funds rate sudah dipangkas sebesar 75 bps oleh Powell dan koleganya di bank sentral.

Perang dagang AS-China, perlambatan ekonomi global, dan inflasi yang rendah menjadi faktor yang membuat The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps tersebut.

Sejauh ini, pelaku pasar masih berharap bahwa The Fed akan kembali memangkas tingkat suku bunga acuan di tahun 2020. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 10 Februari 2020, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada tahun ini berada di level 35,5%.

Lebih lanjut, probabilitas bahwa tingkat suku bunga acuan akan dipangkas sebesar 50 bps dan 75 bps masing-masing berada di level 29,4% dan 13,1%.

Jika ada nada-nada hawkish yang terlontar dari mulut Powell dalam paparannya di hadapan anggota DPR dan Senat AS, pelaku pasar bisa kecewa dan melakukan aksi jual yang pada akhirnya akan menekan kinerja Wall Street.

Penyebabnya ya itu, laju pertumbuhan ekonomi AS pada tahun 2019 yang hanya sebesar 2,3% merupakan laju pertumbuhan ekonomi terlemah dalam tiga tahun. Dibutuhkan stimulus yang salah satunya bisa berasal dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan jika ingin laju perekonomian tetap berada di level yang realtif tinggi.

Faktor ketiga yang berpotensi merontokkan Wall Street di sisa bulan ini adalah rilis data ekonomi AS. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, sejauh ini kinerja Wall Street di bulan Februari terbilang menggembirakan seiring dengan rilis data ekonomi AS yang oke.

Di sisa bulan ini, ada berbagai rilis data ekonomi yang jika hasilnya mengecewakan, maka bisa memantik aksi jual dengan intensitas yang besar di pasar saham AS. Rilis data ekonomi tersebut meliputi inflasi periode Januari 2020, penjualan barang-barang ritel periode Januari 2020, pembacaan awal atas data Manufacturing PMI periode Februari 2020, hingga indeks keyakinan konsumen periode Februari 2020. Jika berkaca kepada sejarah, sejatinya bulan Februari bisa dikatakan sebagai bulan yang bersahabat bagi pelaku pasar saham Tanah Air. Dalam 10 tahun terakhir (2010-2019), IHSG hanya tiga kali membukukan imbal hasil negatif secara bulanan pada bulan Februari, yakni pada tahun 2010, 2018, dan 2019.

Apresiasi terbaik IHSG pada bulan Februari terjadi pada tahun 2013. Per akhir Februari 2013, IHSG melejit hingga 7,68% jika dibandingkan dengan posisi per akhir Januari 2013.

Jika dirata-rata, IHSG membukukan imbal hasil sebesar 1,94% secara bulanan pada bulan Februari.



Sejauh ini (hingga penutupan perdagangan kemarin), IHSG baru mencetak apresiasi sebesar 0,2% di bulan Februari. Lantas, jika berkaca kepada sejarah, upside bagi IHSG di sisa bulan ini terbilang cukup besar.

Namun ya itu, pelaku pasar saham Tanah Air patut mewaspadai tekanan jual yang bisa merontokkan Wall Street di sisa bulan ini.

Kala indeks S&P 500 menguat nyaris 4% saja, IHSG hanya bisa menguat tipis 0,2%. Lantas, jika tekanan jual yang besar menerpa Wall Street, besar kemungkinan IHSG akan mencetak imbal hasil negatif untuk bulan Februari.

Dari dalam negeri, rilis angka pertumbuhan ekonomi terlihat jelas masih membebani langkah IHSG. Sepanjang kuartal IV-2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh sebesar 4,97%, di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan perekonomian tumbuh mencapai 5,04%.

Untuk keseluruhan tahun 2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,02%, di bawah konsensus yang sebesar 5,035%. Pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 merupakan pertumbuhan ekonomi terlambat sejak tahun 2015 silam.

Untuk diketahui, pada tahun 2018 BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,17%. Namun, sejak awal tahun 2019 perekonomian sudah terlihat lesu.

Sepanjang kuartal III-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,02% secara tahunan. Angka pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02% tersebut lantas berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Capaian tersebut juga jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.

Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan, sementara pada kuartal II-2019 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan.

Sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2019, perekonomian Indonesia hanya mampu tumbuh sebesar 5,04% secara tahunan. Lantas, dari data hingga sembilan bulan pertama tahun 2019 sudah bisa disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2019 tak akan bisa menyamai capaian tahun 2018 yang sebesar 5,17%.

Memasuki tahun 2020, perekonomian terlihat masih lesu. Sepanjang Januari 2020, BPS mencatat inflasi berada di level 0,39% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,68%.

Capaian tersebut berada di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan bahwa pada bulan lalu terjadi inflasi sebesar 0,46% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,85%.

Sebagai catatan, dalam beberapa waktu terakhir inflasi Indonesia selalu berada di bawah ekspektasi. Untuk periode Desember 2019 misalnya, BPS mengumumkan terjadi inflasi sebesar 0,34% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan yang juga merupakan inflasi untuk keseluruhan tahun 2019 berada di level 2,72%.

"Dengan inflasi Desember 2019 0,34% maka inflasi 2019 secara keseluruhan 2,72%," kata Kepala BPS Suhariyanto di Gedung BPS pada awal tahun ini.

Capaian tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan inflasi secara bulanan berada di level 0,51%, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,93%.

Rilis angka inflasi yang kembali berada di bawah ekspektasi pada bulan Januari praktis menguatkan pandangan bahwa tingkat konsumsi masyarakat Indonesia sedang berada di level yang rendah.

Teranyar, pandangan bahwa tingkat konsumsi masyarakat Indonesia sedang berada di level yang rendah diafirmasi oleh rilis data penjualan barang-barang ritel. Sepanjang Desember 2019, Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa penjualan barang-barang ritel terkontraksi 0,5% secara tahunan.

Untuk periode Januari 2020, angka sementara dari BI menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel terkontraksi hingga 3,1% secara tahunan.

Mengingat lebih dari setengah perekonomian Indonesia dibentuk oleh konsumsi rumah tangga, tentu tekanan terhadap konsumsi akan berdampak signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular