
Dolar AS Terlalu Kuat, Pakai Obat Apa Sih?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 February 2020 08:37

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Apa mau dikata, dolar AS memang sedang perkasa.
Pada Senin (10/2/2020), US$ 1 setara dengan Rp 13.670 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Namun itu tidak lama, karena kemudian rupiah meluncur ke jalur merah. Pada pukul 08:06 WIB, US$ dihargai Rp 13.685 di mana rupiah melemah 0,11%.
Tidak cuma rupiah, hampir seluruh mata uang utama Asia tidak berdaya di hadapan dolar AS. Sejauh ini hanya yen Jepang dan peso Filipina yang mampu menguat.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 08:07 WIB:
Rilis data ekonomi terbaru di Negeri Paman Sam jadi 'obat kuat' yang cespleng buat greenback. Pada Januari 2020, perekonomian AS mencetak 225.000 lapangan kerja. Jauh lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 160.000.
"Pasar tenaga kerja AS sedang 'berapi-api' di seluruh silindernya, sudah jelas perekonomian masih ekspansif. Dengan demikian, The Fed (The Federal Reserves, Bank Sentral AS) sepertinya bisa menahan suku bunga lebih lama," kata Oliver Konzeoue, FX Sales Trader di Saxo Markets yang berbasis di London, seperti dikutip dari Reuters.
Tahun lalu, The Fed menurunkan suku bunga acuan tiga kali untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Negeri Adidaya. Hasilnya lumayan, saat negara maju lainnya terpincang-pincang bahkan nyaris jatuh ke jurang resesi, ekonomi AS masih tumbuh positif meski melambat.
Memasuki 2020, ada harapan pertumbuhan ekonomi AS bakal terus positif. Pasalnya, AS dan China sudah menyepakati perjanjian damai dagang Fase I yang menjadi pintu masuk untuk mengakhiri perang dagang.
Oleh karena itu, sepertinya perekonomian AS memang sudah tidak membutuhkan stimulus berupa penurunan suku bunga acuan. Ekspansi ekonomi sudah terjadi secara natural melalui mekanisme pasar tanpa campur tangan bank sentral.
Peluang penurunan suku bunga acuan yang semakin kecil membuat dolar AS menjadi menarik untuk dikoleksi. Keuntungan berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS masih akan menguntungkan. Ini membuat pelaku pasar memburu dolar AS sehingga nilai tukarnya menguat.
Sementara dari dalam negeri, investor juga menantikan rilis data penting yaitu Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Bank Indonesia (BI) memperkirakan NPI bisa surplus pada 2019 setelah pada 2018 membukukan defisit U$ 7,13 miliar.
NPI menggambarkan arus devisa di perekonomian dalam negeri. Ketika NPI surplus, maka devisa yang masuk lebih banyak dari yang keluar. Artinya, fundamental penyokong rupiah akan lebih kuat.
Salah satu poin penting dalam perbaikan NPI adalah transaksi berjalan (current account). Memang transaksi berjalan 2019 hampir pasti masih defisit, tetapi sepertinya membaik ketimbang 2018.
Ini terlihat dari neraca perdagangan Indonesia yang pada 2019 membukukan defisit US$ 3,19 miliar. Memang masih tekor, tetapi jauh membaik dibandingkan 2018 yang minus US$ 8,69 miliar.
Investor boleh berekspekstasi ada perbaikan data NPI. Namun ini baru di atas kertas, realisasinya harus menunggu pengumuman BI. Oleh karena itu, tidak heran investor masih bersikap wait and see. Ditambah dengan aura penguatan dolar AS, sikap ini membuat rupiah susah menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Senin (10/2/2020), US$ 1 setara dengan Rp 13.670 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Namun itu tidak lama, karena kemudian rupiah meluncur ke jalur merah. Pada pukul 08:06 WIB, US$ dihargai Rp 13.685 di mana rupiah melemah 0,11%.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 08:07 WIB:
Rilis data ekonomi terbaru di Negeri Paman Sam jadi 'obat kuat' yang cespleng buat greenback. Pada Januari 2020, perekonomian AS mencetak 225.000 lapangan kerja. Jauh lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 160.000.
"Pasar tenaga kerja AS sedang 'berapi-api' di seluruh silindernya, sudah jelas perekonomian masih ekspansif. Dengan demikian, The Fed (The Federal Reserves, Bank Sentral AS) sepertinya bisa menahan suku bunga lebih lama," kata Oliver Konzeoue, FX Sales Trader di Saxo Markets yang berbasis di London, seperti dikutip dari Reuters.
Tahun lalu, The Fed menurunkan suku bunga acuan tiga kali untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Negeri Adidaya. Hasilnya lumayan, saat negara maju lainnya terpincang-pincang bahkan nyaris jatuh ke jurang resesi, ekonomi AS masih tumbuh positif meski melambat.
Memasuki 2020, ada harapan pertumbuhan ekonomi AS bakal terus positif. Pasalnya, AS dan China sudah menyepakati perjanjian damai dagang Fase I yang menjadi pintu masuk untuk mengakhiri perang dagang.
Oleh karena itu, sepertinya perekonomian AS memang sudah tidak membutuhkan stimulus berupa penurunan suku bunga acuan. Ekspansi ekonomi sudah terjadi secara natural melalui mekanisme pasar tanpa campur tangan bank sentral.
Peluang penurunan suku bunga acuan yang semakin kecil membuat dolar AS menjadi menarik untuk dikoleksi. Keuntungan berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS masih akan menguntungkan. Ini membuat pelaku pasar memburu dolar AS sehingga nilai tukarnya menguat.
Sementara dari dalam negeri, investor juga menantikan rilis data penting yaitu Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Bank Indonesia (BI) memperkirakan NPI bisa surplus pada 2019 setelah pada 2018 membukukan defisit U$ 7,13 miliar.
NPI menggambarkan arus devisa di perekonomian dalam negeri. Ketika NPI surplus, maka devisa yang masuk lebih banyak dari yang keluar. Artinya, fundamental penyokong rupiah akan lebih kuat.
Salah satu poin penting dalam perbaikan NPI adalah transaksi berjalan (current account). Memang transaksi berjalan 2019 hampir pasti masih defisit, tetapi sepertinya membaik ketimbang 2018.
Ini terlihat dari neraca perdagangan Indonesia yang pada 2019 membukukan defisit US$ 3,19 miliar. Memang masih tekor, tetapi jauh membaik dibandingkan 2018 yang minus US$ 8,69 miliar.
Investor boleh berekspekstasi ada perbaikan data NPI. Namun ini baru di atas kertas, realisasinya harus menunggu pengumuman BI. Oleh karena itu, tidak heran investor masih bersikap wait and see. Ditambah dengan aura penguatan dolar AS, sikap ini membuat rupiah susah menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular