Hong Kong Resesi, Beratkah Dampaknya ke RI?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
04 February 2020 14:26
Hong Kong Resesi, Beratkah Dampaknya ke RI?
Foto: Demo Hong Kong (REUTERS/Tyrone Siu)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar kurang mengenakan bagi perekonomian global datang dari Hong Kong.

Kemarin, Senin (3/2/2020), Hong Kong merilis pembacaan awal atas angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal IV-2019. Sepanjang tiga bulan terakhir tahun 2019, perekonomian Hong Kong tercatat tumbuh negatif alias terkontraksi sebesar 0,4% secara kuartalan.

Lantas, perekonomian Hong Kong masih berkurang di jurang resesi. Melansir Investopedia, resesi sendiri merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.


Pada kuartal II-2019, perekonomian Hong Kong tercatat terkontraksi sebesar 0,5% secara kuartalan, disusul oleh kontraksi sebesar 3,2% pada kuartal III-2019.

Gelombang demonstrasi yang berkepanjangan menjadi faktor utama yang menempatkan Hong Kong ke dalam jurang resesi.

Seperti yang diketahui, Hong Kong menjadi bahasan panas dalam beberapa waktu terakhir, baik oleh masyarakat umum, maupun juga pelaku pasar keuangan dunia. Dalam beberapa waktu terakhir, aksi demonstrasi besar-besaran terjadi di sana, melibatkan jutaan orang dan begitu banyak tetesan darah.


Aksi demonstrasi di Hong Kong pada awalnya dipicu oleh sebuah rancangan undang-undang (RUU) terkait ekstradisi yang diperkenalkan oleh Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam.

Pada intinya, jika disahkan, RUU ini akan memberi kuasa kepada Hong Kong untuk menahan orang yang sedang berada di sana (baik itu warga negara maupun bukan) untuk kemudian dikirim dan diadili di China.

RUU ini tentu dipandang sebagai masalah besar oleh masyrakat Hong Kong, beserta juga kalangan internasional. Pasalnya, kebebasan berpendapat yang selama ini menjadi salah satu pembeda utama antara China dan Hong Kong bisa musnah karenanya.

Simpelnya, bisa saja orang di Hong Kong (sekali lagi, baik itu warga negara maupun bukan) ditangkap dan kemudian dikirim ke China untuk diadili hanya karena postingan di sosial media yang dianggap merendahkan pemerintah China.

Pada tanggal 9 Juni 2019, tak kurang dari satu juta orang turun ke jalan untuk menolak pengesahaan RUU ini. Namun, Lam tak bergeming dan tetap mendorong dilaksanakannya pemungutan suara.

Pada tanggal 12 Juni 2019, tak kurang dari 10 ribu orang berkumpul di pusat pemerintahan Hong Kong untuk kembali menggelar aksi demonstrasi. Sejatinya, aksi ini berawal dengan damai. Namun pada akhirnya, bentrokan antara demonstran dan aparat kepolisian pun tak terelakkan. Pemukulan dengan pentungan, penembakan gas air mata, hingga pencekikan pun terjadi.

[Gambas:Video CNBC]



Berdasarkan hasil investigasi dari The New York Times, aparat kepolisian Hong Kong terbukti menggunakan kekerasan untuk memukul mundur demonstran. Bahkan, demonstran yang tak membawa senjata apapun dan tak melakukan tindakan yang membahayakan aparat, harus rela tubuhnya dihantam oleh aparat kepolisian.

"Saya sedang terbaring di lantai setelah mereka membanting saya dengan keras. Saya mulai berteriak kesakitan dan saya mendorong polisi menjauh. Lalu, beberapa polisi mulai menendangi saya," demikian pengakuan dari Ng Ying-Mo yang menjadi korban kebrutalan kepolisian Hong Kong, dilansir dari The New York Times.

Walau Lam menegaskan bahwa RUU ekstradisi telah "mati", aksi demonstrasi di Hong Kong ternyata tak juga surut hingga saat ini. Kini, tuntutan para demonstran sudah meluas dari yang awalnya meminta supaya RUU ekstradisi tidak diloloskan di parlemen.

Para demonstran kini meminta dilakukannya investigasi terkait dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh polisi, bahkan mereka menuntun supaya Lam mundur dari posisinya. Lantas, apa dampak dari resesi yang terjadi di Hong Kong terhadap perekonomian Indonesia?

Kala sebuah negara mengalami resesi, khususnya jika negara itu merupakan negara dengan nilai perekonomian yang besar, maka laju perekonomian global juga akan terganggu.

Secara nilainya, perekonomian Hong Kong terbilang besar. Walaupun tak sebesar AS, Jerman, dan Inggris yang semuanya berpotensi mengalami resesi, Hong Kong jelas tak bisa dianggap sepele.

Berdasarkan World Economic Outlook edisi Oktober 2019 yang dipublikasikan oleh International Monetary Fund (IMF), Hong Kong merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar ke-34 di dunia.

Guna melihat secara lebih detil dampak dari resesi di Hong Kong terhadap Indonesia, kita bisa mencermati kontribusinya dari total ekspor Indonesia.

Sepanjang tahun 2018, data yang kami lansir dari Trade Map menunjukkan bahwa Indonesia membukukan total ekspor barang senilai US$ 180,2 miliar. Total ekspor barang ke Hong Kong pada tahun 2018 adalah senilai US$ 2,56 miliar.

Jika dihitung secara persentase, sebanyak 1,4% dari total ekspor barang Indonesia pada tahun 2018 dikirimkan ke Hong Kong.

Jadi, kontribusi Hong Kong dari total ekspor Indonesia tidaklah besar, hanya 1,4%.

Selain dari kacamata ekspor, dampak dari resesi di Hong Kong terhadap perekonomian Indonesia bisa kita nilai dari seberapa besar penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI) yang datang dari wilayah tersebut.

Ternyata, Hong Kong merupakan investor kelas kakap bagi Indonesia. Pada tahun 2018, dana segar senilai US$ 2 miliar dibawa masuk ke Indonesia oleh investor asal Hong Kong, melansir data yang dipublikasikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Nilai tersebut setara dengan 6,8% dari total realisasi PMA pada tahun 2018 yang mencapai US$ 29,3 miliar.

Pada tahun 2019, realisasi investasi dari investor asal Hong Kong meningkat menjadi US$ 2,9 miliar. Secara persentasenya, kontribusi Hong Kong dari total realisasi PMA meningkat menjadi 10,2% pada tahun 2019, dari yang sebelumnya 6,8% pada tahun 2018.

Jadi, ancaman bagi perekonomian Indonesia yang datang dari berkubangnya Hong Kong di jurang resesi benar-benar tak bisa dipandang sebelah mata oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan seluruh pembantunya di Kabinet Indonesia Maju.

Dibutuhkan langkah-langkah konkret yang harus segera dieksekusi guna meminimalisir dampak dari guncangan ekonomi di Hong Kong.

Untuk diketahui, saat ini perekonomian Indonesia sedang lesu. Pada tahun 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,17%. Namun di tahun 2019, laju perekonomian terbilang lesu.

Sepanjang kuartal III-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,02% secara tahunan. Angka pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02% tersebut lantas berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Capaian tersebut juga jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.

Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan, sementara pada kuartal II-2019 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan.

Sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2019, perekonomian Indonesia hanya mampu tumbuh sebesar 5,04% secara tahunan.

Lantas, laju perekonomian untuk keseluruhan tahun 2019 hampir mustahil untuk tumbuh menyamai capaian tahun 2018 yang sebesar 5,17%. Lebih lanjut, ancaman bagi perekonomian Indonesia tidak hanya datang dari berkubangnya Hong Kong di jurang resesi, namun juga dari meluasnya infeksi virus Corona.

Virus Corona sendiri merupakan virus yang menyerang sistem pernafasan manusia. Gejala dari paparan virus Corona meliputi batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam, seperti dilansir dari CNN International.

Berpusat di China, kasus infeksi virus Corona juga dilaporkan telah terjadi di negara-negara lain. Dilansir dari halaman resmi Center for Disease Control and Prevention (CDC), sejauh ini setidaknya sebanyak 27 negara telah mengonfirmasi terjadinya infeksi virus Corona di wilayah mereka.

China, Hong Kong, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, AS, Vietnam, Prancis, Jerman, Inggris, Nepal, dan Kanada termasuk ke dalam daftar negara yang sudah melaporkan infeksi virus Corona.

Melansir Bloomberg, hingga hari Selasa (3/2/2020) sebanyak 425 orang di China telah meninggal akibat infeksi virus Corona, dengan jumlah kasus mencapai 20.438.

Kini, korban meninggal akibat infeksi virus Corona juga ditemui di luar China, tepatnya di Filipina dan Hong Kong.

Badan Kesehatan Dunia PBB, WHO, pada akhirnya mendeklarasikan kondisi darurat internasional terkait infeksi virus Corona.

"Kekhawatiran terbesar kami adalah potensi penyebaran virus ke negara-negara dengan sistem kesehatan yang lemah," kata Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, Kamis (30/1/2020), sebagaimana dikutip dari AFP.

Ia menegaskan peningkatan status ini menjadikan penyebaran virus Corona sebagai hal darurat yang perlu diperhatikan masyarakat internasional. Meski begitu, ini bukan berarti WHO tidak percaya kepada kemampuan China dalam menangani penyebaran virus tersebut.

Tetap saja, penyebarannya yang masif menjadi fokus badan dunia ini, apalagi jika masuk ke wilayah yang penanganan kesehatannya jauh di bawah China.

"Kita semua harus bertindak bersama sekarang untuk membatasi penyebaran lebih lanjut ... Kita hanya bisa menghentikannya bersama," tegasnya lagi.

Sebagai catatan, kondisi darurat internasional sudah lima kali dideklarasikan oleh WHO sejak aturannya berlaku pada tahun 2007 silam, yakni untuk flu babi, polio, Zika, Ebola, dan kini virus Corona.

Pada hari Jumat kemarin, AS mendeklarasikan kondisi darurat nasional di bidang kesehatan sebagai respons dari terus meluasnya infeksi virus Corona.

Merespons deklarasi darurat nasional oleh pemerintahan Presiden Trump, maskapai-maskapai besar di AS yakni Delta, American, dan United menghentikan seluruh penerbangan yang menghubungkan AS dan China.

Meluasnya infeksi virus Corona datang di saat yang sangat tidak tepat, yakni kala masyarakat China tengah merayakan hari raya Tahun Baru China atau yang dikenal dengan istilah Imlek di Indonesia.

Di China, perdagangan di bursa sahamnya diliburkan mulai dari tanggal 24 Januari hingga 30 Januari guna memperingati Tahun Baru China.

Selama libur Tahun Baru China, masyarakat China biasanya kembali ke kampung halamannya, sama seperti yang dilakukan masyarakat Indonesia pada hari raya Idul Fitri. Dalam periode tersebut, konsumsi masyarakat China biasanya akan meningkat drastis.

Pemerintah China sendiri memperkirakan ada sebanyak tiga miliar perjalanan pada Tahun Baru China kali ini, naik dibandingkan tahun lalu yaitu 2,99 miliar perjalanan. Dari tiga miliar perjalanan tersebut, 2,43 miliar diperkirakan ditempuh dengan mobil, 440 juta dengan kereta api, 79 juta dengan pesawat terbang, dan 45 juta dengan kapal laut.

Pada akhir 2002 hingga tahun 2003 kala wabah SARS merebak di China, laju pertumbuhan ekonominya jelas tertekan. Pada kuartal III-2002, perekonomian China tercatat tumbuh sebesar 9,6% secara tahunan, mengutip data dari Refinitiv. Pada kuartal IV-2002 kala wabah SARS mulai merebak, pertumbuhannya melemah menjadi 9,1% saja.

Pada kuartal I-2003, pertumbuhan ekonomi China berhasil naik hingga 11,1% secara tahunan, namun diikuti oleh penurunan yang tajam pada kuartal berikutnya. Pada kuartal II-2003, perekonomian China hanya mampu tumbuh 9,1% secara tahunan. Pada dua kuartal terakhir di tahun 2003, perekonomian China tumbuh masing-masing sebesar 10% secara tahunan.

Melansir CNBC International, pasca tumbuh 12% pada tahun 2002, industri pariwisata China langsung terkontraksi pada tahun 2003 merespons merebaknya wabah SARS, menandai kontraksi pertama dalam satu dekade. Pemberitaan CNBC International tersebut mengutip publikasi riset dari Eric Lin selaku kepala riset di UBS Securities.

“Valuasi dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor pariwisata terpangkas 20%-50% dari puncaknya dalam periode Januari-Juni 2003,” tulis Lin dalam risetnya, seperti dilansir dari CNBC International.

Berbicara mengenai virus Corona, jika ternyata infeksinya merebak menjadi wabah seperti SARS, dampaknya ke perekonomian China bisa lebih besar. Pasalnya, kini perekonomian China sudah semakin tergantung kepada sektor jasa.

Melansir CNBC International, sektor jasa menyumbang sebesar 59,4% dari total produk domestik bruto (PDB) China pada tahun 2019, sementara pada tahun 2003 kala wabah SARS merambah China kontribusi dari sektor jasa hanyalah sebesar 39%.

Sejauh ini, China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di planet bumi, sementara pada tahun 2003 China bahkan tak menempati posisi lima besar. Lantas, dampak dari tekanan terhadap perekonomian China kini akan semakin terasa bagi perekonomian global, termasuk Indonesia. Riset dari Standard & Poor's (S&P) menyebutkan bahwa virus Corona akan memangkas pertumbuhan ekonomi China sekitar 1,2 persentase poin. Jadi, kalau pertumbuhan ekonomi China pada tahun ini diperkirakan berada di level 6%, maka virus Corona akan memangkasnya menjadi 4,8% saja.

Untuk diketahui, pada tahun 2019 perekonomian Negeri Panda tercatat tumbuh sebesar 6,1%, melambat signifikan dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Melansir CNBC International yang mengutip Reuters, pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 merupakan yang terlemah sejak tahun 1990.

"Pada tahun 2019, konsumsi menyumbang sekitar 3,5 persentase poin dari pertumbuhan ekonomi China yang sebesar 6,1%. Dengan perkiraan konsumsi domestik turun 10%, maka pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan berkurang sekitar 1,2 persentase poin," tulis riset S&P.

Kalau ekonomi China melambat, maka laju perekonomian Indonesia dipastikan akan tertekan. Sebab, China merupakan pasar ekspor utama bagi Indonesia.

Sepanjang tahun 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor non-migas ke China bernilai US$ 25,85 miliar atau setara dengan 16,68% dari total ekspor non-migas. China merupakan negara tujuan ekspor non-migas terbesar bagi Indonesia.

Lebih lanjut, China juga merupakan salah satu investor sektor riil terbesar di Indonesia. Menurut data yang dipublikasikan oleh BKPM, nilai PMA dari China pada tahun 2019 adalah US$ 4,7 miliar atau setara dengan 16,8% dari total PMA Indonesia pada periode tersebut.

China merupakan negara asal PMA terbesar kedua setelah Singapura yang menyuntikkan dana segar hingga US$ 6,5 miliar ke Indonesia.

Berdasarkan kajian Bank Dunia, setiap perlambatan ekonomi China sebesar 1 persentase poin, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berkurang sebesar 0,3 persentase poin.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, pemerintah mematok pertumbuhan ekonomi tahun ini berada di level 5,3%. Jika pertumbuhan ekonomi China terpangkas 1,2 poin persentase karena virus Corona, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan berkurang menjadi 4,94% saja.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Sah! Ekonomi Negatif 2 Kuartal, Hong Kong Resmi Resesi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular