Alamak! Saham Gocap Makin Banyak, Karena Bersih-bersih?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
31 January 2020 14:43
Kondisi Fundamental Juga Tak Kondusif
Foto: BI (CNBC Indonesia/Cantika Dinda)

Selain karena aksi bersih-bersih yang dilakukan Kejagung di BEI (yang pada akhirnya menyeret Benny Tjokrosaputro), faktor fundamental memang juga sedang tak kondusif bagi berbagai player lain di pasar saham untuk menjalankan aksinya.

Biasanya, untuk mengerek naik harga sebuah saham, dibutuhkan kondisi fundamental yang mendukung. Alasannya, ketika kondisi fundamental sedang mendukung, para investor ritel biasanya akan lebih mudah didorong untuk membeli saham-saham yang harganya sedang digerakkan oleh para player tersebut.

Untuk diketahui, di sepanjang tahun 2020 (hingga penutupan perdagangan kemarin) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selaku indeks saham acuan di Indonesia membukukan koreksi sebesar 3,84%.

Ada beberapa faktor fundamental yang berkontribusi dalam menekan kinerja pasar saham Tanah Air di sepanjang bulan ini. Pertama, potensi meletusnya perang dunia ketiga.

Pada awal tahun 2020, AS menembak mati petinggi pasukan militer Iran Jenderal Qassim Soleimani yang merupakan pemimpin dari Quds Force selaku satuan pasukan khusus yang dimiliki Revolutionary Guards (salah satu bagian dari pasukan bersenjata Iran). Soleimani tewas dalam serangan udara yang diluncurkan oleh AS di Baghdad.

Selain itu, Abu Mahdi al-Muhandis yang merupakan wakil komandan dari Popular Mobilization Forces selaku kelompok milisi Irak yang dibekingi oleh Iran, juga meninggal dunia.

Sebagai balasan dari pembunuhan Soleimani, Iran menembakkan misil ke dua markas militer AS di Irak. Diketahui, lebih dari selusin misil balistik diluncurkan oleh Iran ke dua markas militer AS tersebut.

"Jelas bahwa rudal ini diluncurkan dari Iran dan menargetkan setidaknya dua pangkalan militer Irak yang menampung personel militer dan koalisi AS di Al-Assad dan Irbil," kata juru bicara Pentagon pasca serangan.

Faktor kedua yang ikut berkontribusi dalam menekan kinerja pasar saham Tanah Air di bulan ini adalah meluasnya infeksi virus Corona.

Virus Corona sendiri merupakan virus yang menyerang sistem pernafasan manusia. Gejala dari paparan virus Corona meliputi batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam, seperti dilansir dari CNN International.

Berpusat di China, kasus infeksi virus Corona juga dilaporkan telah terjadi di negara-negara lain. Kini, setidaknya sebanyak 21 negara telah mengonfirmasi terjadinya infeksi virus Corona di wilayah mereka.

China, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, AS, Vietnam, Prancis, Jerman, Nepal, dan Kanada termasuk ke dalam daftar negara yang sudah melaporkan infeksi virus Corona.

Melansir CNN International, hingga kemarin sebanyak 213 orang di China telah meninggal akibat infeksi virus Corona, dengan jumlah kasus mencapai lebih dari 8.100. Padahal hingga hari Minggu (26/1/2020), jumlah korban meninggal baru mencapai 56 orang.

Badan Kesehatan Dunia PBB, WHO, pada akhirnya mendeklarasikan kondisi darurat internasional terkait infeksi virus corona.

"Kekhawatiran terbesar kami adalah potensi penyebaran virus ke negara-negara dengan sistem kesehatan yang lemah," kata Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, Kamis (30/1/2020), sebagaimana dikutip dari AFP.

Faktor ketiga yang berkontribusi dalam menekan kinerja IHSG adalah pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI). Hasil RDG diumumkan oleh BI pada hari Kamis (23/1/2020).

Sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia, tingkat suku bunga acuan ditahan di level 5% oleh bank sentral. Lantas, empat bulan sudah BI tak memangkas 7-day reverse repo rate.

Untuk diketahui, kali terakhir BI memangkas 7-day reverse repo rate adalah pada September 2019. Di sepanjang tahun lalu, secara total BI memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 100 bps.

Jika tingkat suku bunga acuan kembali dipangkas, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan semakin terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.

Selain tak memangkas tingkat suku bunga acuan, BI juga tak mengeksuksi pelonggaran lain yang bisa mendongkrak laju perekonomian. Sekedar mengingatkan, dalam pertemuan di bulan November, walaupun tak memangkas tingkat suku bunga acuan, BI memutuskan untuk memangkas Giro Wajib Minimum (GWM).

“GWM diturunkan untuk bank umum dan syariah sebesar 50 bps sehingga masing-masing menjadi 5,5% dan 4%,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Gedung BI pada bulan November.

Untuk diketahui, rasio GWM mengatur besaran Dana Pihak Ketiga (DPK) milik bank yang harus dititipkan di bank sentral. Jika rasio GWM dilonggarkan, praktis besaran dana yang harus dititipkan di bank sentral menjadi berkurang dan menambah likuiditas perbankan.

BI mengungkapkan bahwa penurunan rasio GWM yang diumumkan pada saat itu dan akan berlaku efektif pada 2 Januari 2020, akan membebaskan dana senilai Rp 24,1 triliun bagi bank umum, sementara untuk bank syariah likuiditas akan bertambah Rp 1,9 triliun.

Kala laju perekonomian sedang lesu seperti saat ini, wajar jika pelaku pasar saham Tanah Air berharap bahwa BI akan menyuntikkan stimulus moneter. Absennya stimulus moneter dari BI lantas membuat IHSG kian tertekan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ank/ank)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular