
Jatuh Nyaris 1%, Sedikit Lagi IHSG Tinggalkan Level 6.000
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 January 2020 16:34

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan keempat di pekan ini, Kamis (30/1/2020), di zona hijau.
Pada pembukaan perdagangan, IHSG naik 0,28% ke level 6.130,1. IHSG kemudian terus bergerak di zona hijau. Titik tertinggi IHSG pada perdagangan hari ini berada di level 6.130,8, mengimplikasikan kenaikan sebesar 0,29% jika dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan kemarin, Rabu (29/1/2020).
Sayang, IHSG kemudian meluncur turun hingga berada di zona merah. Per akhir sesi satu, indeks saham acuan di Indonesia tersebut terkoreksi 0,48% ke level 6.083,87. Per akhir sesi dua, IHSG jatuh 0,91% ke level 6.057,6. Sedikit lagi, IHSG akan meninggalkan level psikologis 6.000.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam menekan kinerja IHSG di antaranya: PT Astra International Tbk/ASII (-2,93%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-1,92%), PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (-2,3%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-0,66%), dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (-0,87%).
Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei turun 1,72%, indeks Hang Seng jatuh 2,62%, indeks Straits Times terkoreksi 0,5%, dan indeks Kospi melemah 1,71%.
Sebagai catatan, perdagangan di bursa saham China masih diliburkan seiring dengan libur Tahun Baru China.
Bursa saham Benua Kuning melemah pasca The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS memutuskan untuk menahan tingkat suku bunga acuan di rentang 1,5%-1,75%, sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh Refinitiv.
Di sepanjang tahun 2019, The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak tiga kali, masing-masing sebesar 25 bps, yakni pada bulan Juli, September, dan Oktober. Jika ditotal, federal funds rate sudah dipangkas sebesar 75 bps oleh Jerome Powell (Gubernur The Fed) dan koleganya di bank sentral.
Perang dagang AS-China, perlambatan ekonomi global, dan inflasi yang rendah menjadi faktor yang membuat The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps tersebut.
Jika tingkat suku bunga acuan kembali dipangkas, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan semakin terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.
Absennya pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh The Fed lantas membebani kinerja bursa saham Asia.
Lebih lanjut, bursa saham Asia diterpa tekanan jual seiring dengan meluasnya infeksi virus Corona. Virus Corona sendiri merupakan virus yang menyerang sistem pernafasan manusia. Gejala dari paparan virus Corona meliputi batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam, seperti dilansir dari CNN International.
Berpusat di China, kasus infeksi virus Corona juga dilaporkan telah terjadi di negara-negara lain. Kini, setidaknya sebanyak 18 negara telah mengonfirmasi terjadinya infeksi virus Corona di wilayah mereka.
China, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, AS, Vietnam, Prancis, Jerman, Nepal, dan Kanada termasuk ke dalam daftar negara yang sudah melaporkan infeksi virus Corona.
Melansir CNBC International, hingga kemarin sebanyak 170 orang di China telah meninggal akibat infeksi virus Corona, dengan jumlah kasus mencapai lebih dari 7.700. Padahal hingga hari Minggu (26/1/2020), jumlahnya baru mencapai 56 orang.
Ini artinya, dalam kurun waktu tiga hari jumlah korban meninggal akibat infeksi virus Corona telah bertambah tiga kali lipat lebih.
Terdapat kemungkinan bahwa infeksi virus Corona akan mewabah seperti SARS. Jika ini yang terjadi, perekonomian China bisa kian tertekan. Pasalnya, kini masyarakat China sedang merayakan hari raya Tahun Baru China atau yang dikenal dengan istilah Imlek di Indonesia.
Di China, perdagangan di bursa sahamnya akan diliburkan mulai dari tanggal 24 Januari hingga 30 Januari guna memperingati Tahun Baru China.
Selama libur Tahun Baru China, masyarakat China biasanya kembali ke kampung halamannya, sama seperti yang dilakukan masyarakat Indonesia pada hari raya Idul Fitri. Dalam periode tersebut, konsumsi masyarakat China biasanya akan meningkat drastis.
Pemerintah China sendiri memperkirakan akan ada sebanyak tiga miliar perjalanan pada Tahun Baru China kali ini, naik dibandingkan tahun lalu yaitu 2,99 miliar perjalanan. Dari tiga miliar perjalanan tersebut, 2,43 miliar diperkirakan ditempuh dengan mobil, 440 juta dengan kereta api, 79 juta dengan pesawat terbang, dan 45 juta dengan kapal laut.
Pada akhir 2002 hingga tahun 2003 kala wabah SARS merebak di China, laju pertumbuhan ekonominya jelas tertekan. Pada kuartal III-2002, perekonomian China tercatat tumbuh sebesar 9,6% secara tahunan, mengutip data dari Refinitiv. Pada kuartal IV-2002 kala wabah SARS mulai merebak, pertumbuhannya melemah menjadi 9,1% saja.
Pada kuartal I-2003, pertumbuhan ekonomi China berhasil naik hingga 11,1% secara tahunan, namun diikuti oleh penurunan yang tajam pada kuartal berikutnya. Pada kuartal II-2003, perekonomian China hanya mampu tumbuh 9,1% secara tahunan. Pada dua kuartal terakhir di tahun 2003, perekonomian China tumbuh masing-masing sebesar 10% secara tahunan.
Sejauh ini, China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di planet bumi, sementara pada tahun 2003 China bahkan tak menempati posisi lima besar. Lantas, dampak dari tekanan terhadap perekonomian China kini akan semakin terasa bagi perekonomian global. Dari dalam negeri, tekanan bagi IHSG tampak datang dari keputusan Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk melakukan pemblokiran atas 800 sub-rekening efek.
Pemblokiran tersebut dilakukan oleh Kejagung sebagai bagian dari penyelidikan dugaan korupsi di tubuh PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) Hari Setiyono mengatakan bahwa sebagian dari 800 rekening efek yang diblokir diduga merupakan nominee (pinjam nama) alias rekening atas nama. Sementara itu, sebagian lain adalah rekening efek yang merupakan atas nama tersangka dugaan korupsi di Jiwasraya.
"Nah itulah yang jadi objek permintaan keterangan dikaitkan dengan barang bukti akhirnya dilakukan pemblokiran terhadap rekening-rekening itu," ujarnya pada hari Senin (27/01/2020).
Sebelumnya, Kejagung memerintahkan agar 800 rekening efek diblokir terkait penyidikan kasus Jiwasraya. Pemblokiran tersebut kemudian dibahas bersama dalam rapat antara Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) dengan Anggota Bursa pada hari Kamis (23/1/2020). Dalam rapat tersebut, dibahas juga sekitar 1.000 sub-rekening efek yang sudah diblokir sebelumnya.
Walaupun Kejagung menepis anggapan bahwa pemblokiran tersebut juga menyasar rekening efek yang tidak terlibat Jiwasraya, ternyata tak semua pelaku pasar setuju.
Sebanyak dua orang broker sekuritas membenarkan bahwa banyak rekening efek nasabah yang diblokir. Salah satu broker yang menolak namanya diungkap menduga jumlah rekening yang diblokor dapat mencapai ratusan atau bahkan ribuan.
Salah seorang broker mengatakan langkah suspensi yang dinilai membabi buta dan cenderung tanpa perhitungan tersebut justru dapat menyulitkan nasabah yang tidak ada sangkut pautnya dengan dugaan transaksi Jiwasraya dan PT Asabri (Persero), dan akhirnya akan berdampak pada negatifnya asumsi publik terhadap investasi di pasar modal.
Pemblokiran rekening efek tentu memiliki dampak terhadap kinerja IHSG, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika berbicara mengenai dampak secara langsung, aktivitas transaksi dari rekening yang diblokir pastinya berhenti dan menekan volume serta nilai transaksi.
Jika berbicara mengenai dampak secara tidak langsung, pemblokiran rekening efek secara besar-besaran yang dilakukan oleh Kejagung, di mana hal tersebut bahkan disebut membabi-buta oleh pelaku pasar, akan membawa dampak negatif terhadap asumsi publik terhadap investasi di pasar saham Indonesia.
Bisa jadi, ada kekhawatiran bahwa pemblokiran rekening efek secara membabi buta akan semakin meluas dan mempengaruhi nasabah ritel yang memang tak ada sangkut-pautnya dengan kasus yang saat ini tengah diselidiki oleh Kejagung, sehingga mereka sudah menahan transaksi sedari saat ini.
Sebagai informasi, baik dari volume maupun nilai transaksi, terdapat penurunan yang signifikan jika dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama tahun lalu (Januari 2019).
Berasarkan data transaksi yang kami himpun dari salah satu aplikasi sekuritas yang berada di Indonesia, secara rata-rata pada Januari 2019, sebanyak 13,03 miliar unit saham ditransaksikan setiap harinya di Bursa Efek Indonesia (BEI), dengan nilai transaksi mencapai Rp 10,14 triliun.
Pada Januari 2020 (hingga penutupan perdagangan kemarin, Rabu, 29/1/2020), rata-rata volume transaksi harian di BEI anjlok menjadi 7,5 miliar unit saja, sementara nilainya turun menjadi Rp 6,32 triliun saja.
Jika dihitung secara persentase, rata-rata volume transaksi harian anjlok 42,44% secara tahunan pada Januari 2020, sementara nilai transaksi ambruk 37,67%.
Pada awal tahun, cukup banyak pihak yang mengatakan bahwa ambruknya volume dan nilai transaksi saham merupakan dampak dari masih banyaknya pelaku pasar yang berlibur. Selain itu, bencana banjir yang sempat melanda wilayah Jabodetabek pada pekan pertama Januari 2020 diyakini ikut berkontribusi dalam menekan volume dan nilai transaksi di pasar saham Indonesia.
Namun nyatanya, memasuki hari-hari perdagangan terakhir di bulan Januari, volume dan nilai transaksi masih saja loyo.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa memang lesunya perdagangan di bursa saham Tanah Air, yang pada akhirnya menekan kinerja IHSG, dipicu oleh keputusan Kejagung untuk melakukan pemblokiran terhadap 800 rekening efek.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article The Fed Tahan Bunga Acuan & Corona Mewabah, Bursa Asia Merah
Pada pembukaan perdagangan, IHSG naik 0,28% ke level 6.130,1. IHSG kemudian terus bergerak di zona hijau. Titik tertinggi IHSG pada perdagangan hari ini berada di level 6.130,8, mengimplikasikan kenaikan sebesar 0,29% jika dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan kemarin, Rabu (29/1/2020).
Sayang, IHSG kemudian meluncur turun hingga berada di zona merah. Per akhir sesi satu, indeks saham acuan di Indonesia tersebut terkoreksi 0,48% ke level 6.083,87. Per akhir sesi dua, IHSG jatuh 0,91% ke level 6.057,6. Sedikit lagi, IHSG akan meninggalkan level psikologis 6.000.
Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei turun 1,72%, indeks Hang Seng jatuh 2,62%, indeks Straits Times terkoreksi 0,5%, dan indeks Kospi melemah 1,71%.
Sebagai catatan, perdagangan di bursa saham China masih diliburkan seiring dengan libur Tahun Baru China.
Bursa saham Benua Kuning melemah pasca The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS memutuskan untuk menahan tingkat suku bunga acuan di rentang 1,5%-1,75%, sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh Refinitiv.
Di sepanjang tahun 2019, The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak tiga kali, masing-masing sebesar 25 bps, yakni pada bulan Juli, September, dan Oktober. Jika ditotal, federal funds rate sudah dipangkas sebesar 75 bps oleh Jerome Powell (Gubernur The Fed) dan koleganya di bank sentral.
Perang dagang AS-China, perlambatan ekonomi global, dan inflasi yang rendah menjadi faktor yang membuat The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps tersebut.
Jika tingkat suku bunga acuan kembali dipangkas, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan semakin terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.
Absennya pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh The Fed lantas membebani kinerja bursa saham Asia.
Lebih lanjut, bursa saham Asia diterpa tekanan jual seiring dengan meluasnya infeksi virus Corona. Virus Corona sendiri merupakan virus yang menyerang sistem pernafasan manusia. Gejala dari paparan virus Corona meliputi batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam, seperti dilansir dari CNN International.
Berpusat di China, kasus infeksi virus Corona juga dilaporkan telah terjadi di negara-negara lain. Kini, setidaknya sebanyak 18 negara telah mengonfirmasi terjadinya infeksi virus Corona di wilayah mereka.
China, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, AS, Vietnam, Prancis, Jerman, Nepal, dan Kanada termasuk ke dalam daftar negara yang sudah melaporkan infeksi virus Corona.
Melansir CNBC International, hingga kemarin sebanyak 170 orang di China telah meninggal akibat infeksi virus Corona, dengan jumlah kasus mencapai lebih dari 7.700. Padahal hingga hari Minggu (26/1/2020), jumlahnya baru mencapai 56 orang.
Ini artinya, dalam kurun waktu tiga hari jumlah korban meninggal akibat infeksi virus Corona telah bertambah tiga kali lipat lebih.
Terdapat kemungkinan bahwa infeksi virus Corona akan mewabah seperti SARS. Jika ini yang terjadi, perekonomian China bisa kian tertekan. Pasalnya, kini masyarakat China sedang merayakan hari raya Tahun Baru China atau yang dikenal dengan istilah Imlek di Indonesia.
Di China, perdagangan di bursa sahamnya akan diliburkan mulai dari tanggal 24 Januari hingga 30 Januari guna memperingati Tahun Baru China.
Selama libur Tahun Baru China, masyarakat China biasanya kembali ke kampung halamannya, sama seperti yang dilakukan masyarakat Indonesia pada hari raya Idul Fitri. Dalam periode tersebut, konsumsi masyarakat China biasanya akan meningkat drastis.
Pemerintah China sendiri memperkirakan akan ada sebanyak tiga miliar perjalanan pada Tahun Baru China kali ini, naik dibandingkan tahun lalu yaitu 2,99 miliar perjalanan. Dari tiga miliar perjalanan tersebut, 2,43 miliar diperkirakan ditempuh dengan mobil, 440 juta dengan kereta api, 79 juta dengan pesawat terbang, dan 45 juta dengan kapal laut.
Pada akhir 2002 hingga tahun 2003 kala wabah SARS merebak di China, laju pertumbuhan ekonominya jelas tertekan. Pada kuartal III-2002, perekonomian China tercatat tumbuh sebesar 9,6% secara tahunan, mengutip data dari Refinitiv. Pada kuartal IV-2002 kala wabah SARS mulai merebak, pertumbuhannya melemah menjadi 9,1% saja.
Pada kuartal I-2003, pertumbuhan ekonomi China berhasil naik hingga 11,1% secara tahunan, namun diikuti oleh penurunan yang tajam pada kuartal berikutnya. Pada kuartal II-2003, perekonomian China hanya mampu tumbuh 9,1% secara tahunan. Pada dua kuartal terakhir di tahun 2003, perekonomian China tumbuh masing-masing sebesar 10% secara tahunan.
Sejauh ini, China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di planet bumi, sementara pada tahun 2003 China bahkan tak menempati posisi lima besar. Lantas, dampak dari tekanan terhadap perekonomian China kini akan semakin terasa bagi perekonomian global. Dari dalam negeri, tekanan bagi IHSG tampak datang dari keputusan Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk melakukan pemblokiran atas 800 sub-rekening efek.
Pemblokiran tersebut dilakukan oleh Kejagung sebagai bagian dari penyelidikan dugaan korupsi di tubuh PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) Hari Setiyono mengatakan bahwa sebagian dari 800 rekening efek yang diblokir diduga merupakan nominee (pinjam nama) alias rekening atas nama. Sementara itu, sebagian lain adalah rekening efek yang merupakan atas nama tersangka dugaan korupsi di Jiwasraya.
"Nah itulah yang jadi objek permintaan keterangan dikaitkan dengan barang bukti akhirnya dilakukan pemblokiran terhadap rekening-rekening itu," ujarnya pada hari Senin (27/01/2020).
Sebelumnya, Kejagung memerintahkan agar 800 rekening efek diblokir terkait penyidikan kasus Jiwasraya. Pemblokiran tersebut kemudian dibahas bersama dalam rapat antara Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) dengan Anggota Bursa pada hari Kamis (23/1/2020). Dalam rapat tersebut, dibahas juga sekitar 1.000 sub-rekening efek yang sudah diblokir sebelumnya.
Walaupun Kejagung menepis anggapan bahwa pemblokiran tersebut juga menyasar rekening efek yang tidak terlibat Jiwasraya, ternyata tak semua pelaku pasar setuju.
Sebanyak dua orang broker sekuritas membenarkan bahwa banyak rekening efek nasabah yang diblokir. Salah satu broker yang menolak namanya diungkap menduga jumlah rekening yang diblokor dapat mencapai ratusan atau bahkan ribuan.
Salah seorang broker mengatakan langkah suspensi yang dinilai membabi buta dan cenderung tanpa perhitungan tersebut justru dapat menyulitkan nasabah yang tidak ada sangkut pautnya dengan dugaan transaksi Jiwasraya dan PT Asabri (Persero), dan akhirnya akan berdampak pada negatifnya asumsi publik terhadap investasi di pasar modal.
Pemblokiran rekening efek tentu memiliki dampak terhadap kinerja IHSG, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika berbicara mengenai dampak secara langsung, aktivitas transaksi dari rekening yang diblokir pastinya berhenti dan menekan volume serta nilai transaksi.
Jika berbicara mengenai dampak secara tidak langsung, pemblokiran rekening efek secara besar-besaran yang dilakukan oleh Kejagung, di mana hal tersebut bahkan disebut membabi-buta oleh pelaku pasar, akan membawa dampak negatif terhadap asumsi publik terhadap investasi di pasar saham Indonesia.
Bisa jadi, ada kekhawatiran bahwa pemblokiran rekening efek secara membabi buta akan semakin meluas dan mempengaruhi nasabah ritel yang memang tak ada sangkut-pautnya dengan kasus yang saat ini tengah diselidiki oleh Kejagung, sehingga mereka sudah menahan transaksi sedari saat ini.
Sebagai informasi, baik dari volume maupun nilai transaksi, terdapat penurunan yang signifikan jika dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama tahun lalu (Januari 2019).
Berasarkan data transaksi yang kami himpun dari salah satu aplikasi sekuritas yang berada di Indonesia, secara rata-rata pada Januari 2019, sebanyak 13,03 miliar unit saham ditransaksikan setiap harinya di Bursa Efek Indonesia (BEI), dengan nilai transaksi mencapai Rp 10,14 triliun.
Pada Januari 2020 (hingga penutupan perdagangan kemarin, Rabu, 29/1/2020), rata-rata volume transaksi harian di BEI anjlok menjadi 7,5 miliar unit saja, sementara nilainya turun menjadi Rp 6,32 triliun saja.
Jika dihitung secara persentase, rata-rata volume transaksi harian anjlok 42,44% secara tahunan pada Januari 2020, sementara nilai transaksi ambruk 37,67%.
Pada awal tahun, cukup banyak pihak yang mengatakan bahwa ambruknya volume dan nilai transaksi saham merupakan dampak dari masih banyaknya pelaku pasar yang berlibur. Selain itu, bencana banjir yang sempat melanda wilayah Jabodetabek pada pekan pertama Januari 2020 diyakini ikut berkontribusi dalam menekan volume dan nilai transaksi di pasar saham Indonesia.
Namun nyatanya, memasuki hari-hari perdagangan terakhir di bulan Januari, volume dan nilai transaksi masih saja loyo.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa memang lesunya perdagangan di bursa saham Tanah Air, yang pada akhirnya menekan kinerja IHSG, dipicu oleh keputusan Kejagung untuk melakukan pemblokiran terhadap 800 rekening efek.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article The Fed Tahan Bunga Acuan & Corona Mewabah, Bursa Asia Merah
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular