Bursa Asia Merah Membara, Tren Koreksi 3 Hari IHSG Terhenti

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
23 January 2020 16:30
Bursa Asia Merah Membara, Tren Koreksi 3 Hari IHSG Terhenti
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan keempat di pekan ini, Kamis (23/1/2020), di zona hijau.

Pada pembukaan perdagangan, IHSG menguat 0,17% ke level 6.244. Per akhir sesi satu, apresiasi indeks saham acuan di Indonesia tersebut adalah sebesar 0,14% ke level 6.241,89. Per aksi sesi dua, IHSG menguat 0,25% ke level 6.249,21.

IHSG lantas sukses memutus rantai koreksi yang sudah terjadi selama tiga hari beruntun.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendongkrak kinerja IHSG di antaranya: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (+0,64%), PT Barito Pacific Tbk/BRPT (+3,02%), PT Chandra Asri Petrochemical Tbk/TPIA (+1,29%), PT Astra International Tbk/ASII (+0,71%), dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (+0,52%).

Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang justru kompak ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei turun 0,98%, indeks Shanghai terkoreksi 2,75%, indeks Hang Seng melemah 1,52%, indeks Straits Times terpangkas 0,57%, dan indeks Kospi berkurang 0,93%.

Sentimen negatif bagi bursa saham Benua Kuning datang dari penyebaran virus Corona. Virus Corona sendiri merupakan virus yang menyerang sistem pernafasan manusia. Gejala dari paparan virus Corona meliputi batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam, seperti dilansir dari CNN International.

Berpusat di China, kasus serangan virus Corona juga dilaporkan telah terjadi di negara-negara lain seperti Korea Selatan, Jepang, Taiwan, hingga Thailand, semuanya melibatkan turis China asal Wuhan.

Kini, infeksi virus Corona telah resmi menyebar ke Makau dan Hong Kong. Lagi-lagi, virus tersebut dibawa oleh orang yang baru saja mengunjungi China.

Pada hari Selasa (21/1/2020), US Centers for Disease Control and Prevention mengonfirmasi diagnosis pertama atas infeksi virus Corona di AS. Kasus ini terjadi di Seattle, di mana pengidapnya adalah seorang pria yang baru saja mengunjungi China.

Kemarin (22/1/2020), Komisi Kesehatan Nasional menggelar konferensi pers di Beijing dan menginformasikan bahwa jumlah korban meninggal akibat Virus Corona telah bertambah menjadi sembilan orang.

Per 21 Januari, terdapat 440 kasus infeksi virus Corona yang tersebar di 13 provinsi di China. Sebanyak 1.394 pasien kini berada dalam observasi medis, seperti dilansir dari Bloomberg.

Hingga kini, belum jelas seberapa parah dampak dari infeksi virus Corona, namun akselerasi infeksinya telah menyebabkan kekhawatiran bahwa wabah seperti virus severe acute respiratory syndrome (SARS) yang merebak pada akhir 2002 hingga tahun 2003 di China, akan terulang.

Meluasnya infeksi virus Corona hingga ke negara-negara lain berpotensi membuat World Health Organziation (WHO) mendeklarasikan darurat kesehatan publik internasional atau Public Health Emergency of International Concern (PHEIC).

Sebagai catatan, PHEIC merupakan deklarasi formal dari WHO terkait kejadian luar biasa yang ditetapkan sebagai risiko kesehatan bagi masyarakat negara lain dan berpotensi memerlukan respons internasional yang terkoordinasi untuk menanggulanginya.

Jika benar virus Corona menjadi wabah seperti SARS, perekonomian China bisa kian tertekan. Pasalnya, sebentar lagi masyarakat China akan merayakan hari raya Tahun Baru China atau yang dikenal dengan istilah Imlek di Indonesia.

Di China, perdagangan di bursa sahamnya akan diliburkan mulai dari tanggal 24 Januari hingga 30 Januari guna memperingati Tahun Baru China.

Selama libur Tahun Baru China, masyarakat China biasanya kembali ke kampung halamannya, sama seperti yang dilakukan masyarakat Indonesia pada hari raya Idul Fitri. Dalam periode tersebut, konsumsi masyarakat China biasanya akan meningkat drastis.

Pemerintah China sendiri memperkirakan akan ada sebanyak tiga miliar perjalanan pada Tahun Baru China kali ini, naik dibandingkan tahun lalu yaitu 2,99 miliar perjalanan. Dari tiga miliar perjalanan tersebut, 2,43 miliar diperkirakan ditempuh dengan mobil, 440 juta dengan kereta api, 79 juta dengan pesawat terbang, dan 45 juta dengan kapal laut.

Pada akhir 2002 hingga tahun 2003 kala wabah SARS merebak di China, laju pertumbuhan ekonominya jelas tertekan. Pada kuartal III-2002, perekonomian China tercatat tumbuh sebesar 9,6% secara tahunan, mengutip data dari Refinitiv. Pada kuartal IV-2002 kala wabah SARS mulai merebak, pertumbuhannya melemah menjadi 9,1% saja.

Pada kuartal I-2003, pertumbuhan ekonomi China berhasil naik hingga 11,1% secara tahunan, namun diikuti oleh penurunan yang tajam pada kuartal berikutnya. Pada kuartal II-2003, perekonomian China hanya mampu tumbuh 9,1% secara tahunan. Pada dua kuartal terakhir di tahun 2003, perekonomian China tumbuh masing-masing sebesar 10% secara tahunan.

Untuk diketahui, pada hari Senin waktu Indonesia (20/1/2020) International Monetary Fund (IMF) merilis proyeksi pertumbuhan ekonomi terbaru dalam publikasi bertajuk "World Economic Outlook Update, January 2020: Tentative Stabilization, Sluggish Recovery?".

Terkait dengan China, proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2021 dipangkas sebesar 0,1 persentase poin, walaupun proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2020 dikerek naik 0,2 persentase poin.

Walaupun proyeksi untuk tahun 2020 dinaikkan, angka pertumbuhan ekonomi China pada tahun ini masih berada di level 6%, yang berarti perekonomian Negeri Panda masih akan tumbuh melambat. Pada tahun 2019, perekonomian China diketahui tumbuh 6,1%.

Melansir CNBC International yang mengutip Reuters, pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 merupakan yang terlemah sejak tahun 1990.

IHSG sukses menghijau seiring dengan koreksi yang sudah dibukukan dalam tiga hari perdagangan sebelumnya. Dalam periode 20-22 Januari (tiga hari perdagangan), IHSG tercatat melemah 0,93%.

Kini, koreksi IHSG yang sudah lumayan dalam tersebut dimanfaatkan pelaku pasar untuk mengoleksi saham-saham di Tanah Air. Sejatinya, apresiasi IHSG bisa lebih tinggi lagi jika ada kejutan dari Bank Indonesia (BI). Pada siang hari ini, BI mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG).

Sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia, tingkat suku bunga acuan ditahan di level 5% oleh bank sentral. Lantas, empat bulan sudah BI tak memangkas 7-day reverse repo rate.

Untuk diketahui, kali terakhir BI memangkas 7-day reverse repo rate adalah pada September 2019. Di sepanjang tahun lalu, secara total BI memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 100 bps.

Jika tingkat suku bunga acuan kembali dipangkas, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan semakin terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.

Selain tak memangkas tingkat suku bunga acuan, BI juga tak mengeksuksi pelonggaran lain yang bisa mendongkrak laju perekonomian. Sekedar mengingatkan, dalam pertemuan di bulan November, walaupun tak memangkas tingkat suku bunga acuan, BI memutuskan untuk memangkas rasio Giro Wajib Minimum (GWM).

“GWM diturunkan untuk bank umum dan syariah sebesar 50 bps sehingga masing-masing menjadi 5,5% dan 4%,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Gedung BI pada bulan November.

Untuk diketahui, rasio GWM mengatur besaran Dana Pihak Ketiga (DPK) milik bank yang harus dititipkan di bank sentral. Jika rasio GWM dilonggarkan, praktis besaran dana yang harus dititipkan di bank sentral menjadi berkurang dan menambah likuiditas perbankan.

BI mengungkapkan bahwa penurunan rasio GWM yang diumumkan pada saat itu dan akan berlaku efektif pada 2 Januari 2020, akan membebaskan dana senilai Rp 24,1 triliun bagi bank umum, sementara untuk bank syariah likuiditas akan bertambah Rp 1,9 triliun.
Untuk diketahui, pada tahun 2018 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,17%. Namun di tahun 2019, laju perekonomian begitu lesu.

Sepanjang kuartal III-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,02% secara tahunan. Angka pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02% tersebut lantas berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Capaian tersebut juga jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.

Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan, sementara pada kuartal II-2019 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan.

Sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2019, perekonomian Indonesia hanya mampu tumbuh sebesar 5,04% secara tahunan.

Lantas, laju perekonomian untuk keseluruhan tahun 2019 hampir mustahil untuk tumbuh menyamai capaian tahun 2018 yang sebesar 5,17%.

Kala perekonomian sedang lesu seperti saat ini, wajar jika pelaku pasar saham Tanah Air berharap bahwa BI akan menyuntikkan stimulus moneter.

Absennya stimulus moneter dari BI membuat apresiasi IHSG menjadi relatif terbatas.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Sempat Menghijau, IHSG Akhiri Sesi Satu di Zona Merah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular