Skandal Jiwasraya Jadi Perhatian, Begini Kabar Terbarunya

Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
21 January 2020 08:39
Pelaku pasar tampaknya masih mencermati perkembangan dari kasus yang melanda industri asuransi nasional khususnya Jiwasraya yang punya kaitan dengan investasi.
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja bursa saham domesti pada perdagangan kemarin mengecewakan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada akhir perdagangan kemarin Senin (20/1/2020) ditutup dengan koreksi sebesar 0,74% ke level 6.245,04.

Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang justru melaju di zona hijau: indeks Nikkei terapresiasi 0,18%, indeks Shanghai naik 0,66%, dan indeks Kospi terkerek 0,54%.

Pelaku pasar tampaknya masih mencermati perkembangan dari kasus yang melanda industri asuransi nasional khususnya Jiwasraya yang punya kaitan dengan investasi di pasar saham.


Ada beberapa isu yang masih dicermati pelaku pasar pada perdagangan kemarin. Khususunya kasus Jiwasraya, dan bagaimana perkembagan beritanya, simak rangkuman berita kemarin:

1. Usai Jiwasraya, Kini Bumiputera Ditagih Klaim Rp 9,6 T
Belum habis kasus gagal bayar polis PT Asuransi Jiwasraya (Persero), giliran Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 dihadapkan pada kewajiban pembayaran klaim nasabah. Manajemen mengungkapkan potensi klaim di 2019 dan 2020 nilainya mencapai Rp 9,6 triliun.

Hingga saat ini perusahaan masih memutar otak untuk menutupi pembayaran klaim di angka tersebut, bahkan rencananya pembayaran akan dilakukan dengan mencicil kepada nasabah.

Direktur Utama AJB Bumiputera Dirman Pardosi mengatakan saat ini perusahaan masih berkutat menyelesaikan masalah likuiditas dan permodalan perusahaan untuk jangka pendek, menengah dan panjang.

"Itu bukan potensi gagal bayar. Itu potensi klaim 2020 + os claim 2019. Tidak ada yang gagal bayar. Kami punya rencana semua akan dibayar. Hanya sistemnya yang harus antri karena saat ini masih kesulitan likuiditas," kata Dirman kepada CNBC Indonesia, Senin (20/1/2020).

2. Resmi Delisting! Sayonara Borneo Lumbung Energy
Bursa Efek Indonesia (BEI) akhirnya menghapus pencatatan (delisting) saham PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk (BORN) pada Senin 20 Januari 2020 ini setelah sebelumnya saham perusahaan batu bara ini dihentikan sementara (suspensi) sejak 30 Juni 2015 atau hampir 5 tahun.

Suspensi yang cukup lama terhadap saham BORN tersebut dilakukan dengan alasan awal belum menyampaikan laporan keuangan audit dan interim, termasuk belum membayar denda.

Adi Pratomo Aryanto, Kepala Divisi Penilaian Perusahaan BEI, dan Irvan Susandy, Kadiv Pengaturan dan Operasional Perdagangan BEI mengatakan penghapusan pencatatan saham emiten ini mengacu pada Peraturan Bursa Nomor I-I tentang Penghapusan Pencatatan dan Pencatatan Kembali Saham di Bursa.

BEI bisa menghapus saham emiten dengan catatan, emiten tersebut mengalami kondisi atau peristiwa yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha emiten, baik secara finansial atas secara hukum, atau terhadap kelangsungan status emiten sebagai perusahaan terbuka, dan perusahaan tercatat tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai.

3. Dato Sri Tahir Batal Beli Saham 2 Perusahaan Bentjok
Emiten properti yang dimiliki konglomerat Dato Sri Tahir, PT Maha Properti Indonesia Tbk (MPRO) membatalkan rencananya membeli masing-masing 49,9% saham anak usaha PT Hanson International Tbk (MYRX) dan PT Rimo International Lestari Tbk (RIMO) yang dimiliki Benny Tjokrosaputra alias Bentjok.

Dalam surat bertanggal 20 Januari 2020 yang ditandatangani Direktur Utama Raymond dan Direktur dan Corporate Secretary Maha Properti Suwandy, pembatalan pembelian saham PT Mandiri Mega Jaya (MMJ) dan PT Hokindo Properti Investama (HPI) ini mempertimbangkan perkembangan bisnis properti yang masih belum meningkat.

Selain itu, adanya informasi yang beredar di publik mengenai permasalahan keuangan yang sedang dihadapi oleh Hanson International. Perkembangan terbaru, Kejaksaan Agung telah menahan lima orang tersangka dugaan korupsi Jiwasraya, salah satu di antaranya adalah Dirut PT Hanson International Tbk (MYRX) Benny Tjokrosaputro.

"Emiten khawatir hal ini dapat mempengaruhi kinerja MMJ dan HPI berikut anak perusahaannya," tulis manajemen Maha Properti, dalam keterbukaan informasi BEI, Senin (20/1/2020).

4. Terungkap! Jiwasraya & Asabri Genggam 13% Saham PP Properti
Saham-saham emiten di Bursa Efek Indonesia yang menjadi portofolio investasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan Asabri turun cukup tajam. Salah satunya adalah emiten properti PT PP Properti Tbk (PPRO).

Mengacu data BEI, harga saham PPRO sejak awal tahun hingga 20 Januari 2020 terkoreksi 16,18% ke level Rp 57 per saham. Dalam sepekan terakhir, saham PPRO minus 13,64%.

Direktur Keuangan PT PP Properti Indaryanto mengungkapkan, porsi kepemilikan saham PPRO Jiwasraya dan Asabri bila dijumlahkan mencapai 13%. Porsi kepemilikan ini belum mengalami perubahan hingga 20 Januari 2020.

"Kalau dilihat di prospektus, Jiwasraya memiliki kepemilikan 8% saham PPRO, Asabri 5%," kata Indaryanto di Jakarta, Senin (20/1/2020).

5. Skandal Jiwasraya, Ombudsman: Tata Kelola Asuransi Tak Kuat!
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menilai tata kelola industri asuransi di Indonesia tidak kuat, tercermin dari salah satu kasus yang muncul ke publik yakni gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

Anggota Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih menyampaikan hal tersebut berdasarkan penelaahan laporan gagal bayar yang sudah diketahui sejak beberapa tahun silam. Ombudsman selalu mendapatkan laporan penempatan investasi yang kacau dalam beberapa tahun terakhir yang membuat gagal bayar dana nasabah.

"Ini catatan bagi kita semua, bahwa industri asuransi kita tidak punya governance yang terlalu kuat. Fundamental rapuh, maka harus kita benahi ke depan," kata Ahmad, saat wawancara di CNBC Indonesia, Senin (20/1/2020).

6. Rupiah Menguat, Simak nih Saham-saham yang Diuntungkan
Menguatnya nilai mata tukar rupiah terhadap dolar AS yang terjadi sejak awal tahun menjadi katalis positif bagi emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Pada tiga pekan pertama tahun ini, mata uang Garuda konsisten menguat. Bila dilihat sejak awal tahun hingga 18 Januari 2020, mengacu data Refinitiv, rupiah sudah menguat 1,8% ke level Rp 13.630 per US$.

Direktur Utama CSA Institute Aria Samata Santoso berpendapat, menguatnya nilai tukar rupiah akan berdampak positif pada sektor konstruksi seperti PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA).

"Sektor konstruksi sempat diredam saat kenaikan dolar AS, tentu kali ini bisa direncanakan untuk kembali lebih agresif," kata Aria kepada CNBC Indonesia, Senin (20/1/2020).

Selain itu, sektor lainnya yang terdampak positif adalah manufaktur yang mengimpor bahan baku kimia seperti PT Kimia Farma Tbk (KAEF) karena mendapatkan bahan baku yang lebih kompetitif seiring menguatnya kurs.

[Gambas:Video CNBC]




(hps/hps) Next Article Pensiunan Jiwasraya Teriak, Belum Terima Hak Ratusan Miliar

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular