
Sudah Menguat 'Ugal-ugalan', Rupiah Santai Dulu...
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 January 2020 08:24

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Memasuki 2020, laju pemguatan rupiah memang sudah agak 'ugal-ugalan'...
Pada Selasa (21/1/2020), US$ 1 dihargai Rp 13.630 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah tipis 0,04% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,04% setelah nyaris seharian melemah. Sejak akhir tahun lalu atau year-to-date, penguatan rupiah sudah begitu tajam, hampir menyentuh 2%.
Derasnya arus modal asing di pasar keuangan Indonesia membuat rupiah mantap menguat. Di pasar saham, investor asing telah membukukan beli bersih Rp 2,05 triliun secara year-to-date yang mengantar kapitalisasi pasar menjadi Rp 7.207 triliun.
Sementara di pasar obligasi pemerintah, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) bertambah Rp 22,29 triliun pada 31 Desember 2019 hingga 17 Januari 2020. Porsi kepemilikan asing naik dari 38,57% menjadi 39,18% dalam periode tersebut.
Belum lagi pekan lalu pemerintah menerbitkan obligasi valas berdenominasi dolar AS dan euro masing-masing US$ 2 miliar dan EUR 1 miliar. Untuk yang dolar AS, ada dua seri yang diterbitkan yaitu tenor 10 tahun (US$ 1,2 miliar) dan 30 tahun (US$ 800 juta).
"Kami melihat pembuat kebijakan masih nyaman dan sepertinya tidak ada intervensi untuk menahan laju penguatan rupiah dalam waktu dekat. Dengan prospek pertumbuhan ekonomi yang masih lambat, penguatan rupiah akan berdampak positif terhadap konsumsi rumah tangga dan kepercayaan dunia usaha," kata Helmi Arman, Ekonom Citi, dalam risetnya.
Sementara mata uang utama Asia pagi ini bergerak mixed di hadapan dolar AS. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 08:18 WIB:
Sepertinya pelaku pasar mulai mencerna rilis terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF). Dalam World Economic Outlook terbaru edisi Januari 2020, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2019 adalah 2,9%, dan akan meningkat menjadi 3,3% pada 2020 dan 3,4% pada 2021. Sedikit melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3% pada 2019, 3,4% pada 2020, dan 3,6% pada 2021.
"Revisi ke bawah tersebut sebagian besar disebabkan oleh India. Secara umum, perkiraan pemulihan pertumbuhan ekonomi global masih tidak pasti. Pemulihan ekonomi akan bergantung kepada negara-negara berkembang, sementara pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju sepertinya masih akan stabil di level yang sekarang," kata Gita Gopinath, Direktur Departemen Riset IMF, seperti dikutip dari keterangan tertulis.
Pertumbuhan ekonomi global hingga 2021 masih belum pulih sepenuhnya, masih di bawah pencapaian 2018 yaitu 3,6%. Akan tetapi, ada pertanda bahwa perlambatan ekonomi sudah menyentuh titik nadir dan siap untuk bangkit (bottoming out).
"Ada sinyal awal bahwa perlambatan di sisi manufaktur dan perdagangan mungkin akan bottoming out. Kesepakatan damai dagang AS-China Fase I, jika bertahan lama, akan mengurangi tensi perdagangan. Dampak perang dagang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dunia akan berkurang dari 0,8% menjadi 0,5% pada akhir 2020," papar Gopinath.
Oleh karena itu, lanjut Gopoinath, secara umum risiko perekonomian menurun pada 2020. Namun bukan berarti kewaspadaan bisa dikendurkan.
Menurut Gopinath, friksi dagang masih bisa terjadi antara AS dan Uni Eropa. Bahkan risiko perang dagang AS-China pun belum hilang sepenuhnya, karena kedua negara baru sampai di kesepakatan Fase I. Ditambah lagi ada risiko geopolitik dan konflik sosial yang meningkat, seperti di Timur Tengah.
"Hal yang perlu diperhatikan adalah, meski risiko pada 2020 mungkin menurun tetapi opsi kebijakan yang bisa ditempuh pun terbatas. Jadi, sangat penting bagi para pengambil kebijakan agar tidak menambah ketidakpastian," tegas Gopoinath.
Walau memberi wanti-wanti, tetapi IMF sebenarnya menyampaikan kabar gembira. Rasanya 2019 yang penuh nestapa itu adalah titik penderitaan terendah, dan 2020 ekonomi dunia bakal bangkit meski tidak sebaik perkiraan semula.
Jadi, rilis IMF ini sifatnya agak mixed bag. DI satu sisi ada kekhawatiran karena proyeksi pertumbuhan ekonomi dipangkas, tetapi di sisi lain ada harapan karena 2020 bisa lebih ketimbang 2019. Tinggal pasar ingin lebih condong ke arah mana...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Selasa (21/1/2020), US$ 1 dihargai Rp 13.630 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah tipis 0,04% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,04% setelah nyaris seharian melemah. Sejak akhir tahun lalu atau year-to-date, penguatan rupiah sudah begitu tajam, hampir menyentuh 2%.
Derasnya arus modal asing di pasar keuangan Indonesia membuat rupiah mantap menguat. Di pasar saham, investor asing telah membukukan beli bersih Rp 2,05 triliun secara year-to-date yang mengantar kapitalisasi pasar menjadi Rp 7.207 triliun.
Sementara di pasar obligasi pemerintah, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) bertambah Rp 22,29 triliun pada 31 Desember 2019 hingga 17 Januari 2020. Porsi kepemilikan asing naik dari 38,57% menjadi 39,18% dalam periode tersebut.
Belum lagi pekan lalu pemerintah menerbitkan obligasi valas berdenominasi dolar AS dan euro masing-masing US$ 2 miliar dan EUR 1 miliar. Untuk yang dolar AS, ada dua seri yang diterbitkan yaitu tenor 10 tahun (US$ 1,2 miliar) dan 30 tahun (US$ 800 juta).
"Kami melihat pembuat kebijakan masih nyaman dan sepertinya tidak ada intervensi untuk menahan laju penguatan rupiah dalam waktu dekat. Dengan prospek pertumbuhan ekonomi yang masih lambat, penguatan rupiah akan berdampak positif terhadap konsumsi rumah tangga dan kepercayaan dunia usaha," kata Helmi Arman, Ekonom Citi, dalam risetnya.
Sementara mata uang utama Asia pagi ini bergerak mixed di hadapan dolar AS. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 08:18 WIB:
Sepertinya pelaku pasar mulai mencerna rilis terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF). Dalam World Economic Outlook terbaru edisi Januari 2020, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2019 adalah 2,9%, dan akan meningkat menjadi 3,3% pada 2020 dan 3,4% pada 2021. Sedikit melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3% pada 2019, 3,4% pada 2020, dan 3,6% pada 2021.
"Revisi ke bawah tersebut sebagian besar disebabkan oleh India. Secara umum, perkiraan pemulihan pertumbuhan ekonomi global masih tidak pasti. Pemulihan ekonomi akan bergantung kepada negara-negara berkembang, sementara pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju sepertinya masih akan stabil di level yang sekarang," kata Gita Gopinath, Direktur Departemen Riset IMF, seperti dikutip dari keterangan tertulis.
![]() |
Pertumbuhan ekonomi global hingga 2021 masih belum pulih sepenuhnya, masih di bawah pencapaian 2018 yaitu 3,6%. Akan tetapi, ada pertanda bahwa perlambatan ekonomi sudah menyentuh titik nadir dan siap untuk bangkit (bottoming out).
"Ada sinyal awal bahwa perlambatan di sisi manufaktur dan perdagangan mungkin akan bottoming out. Kesepakatan damai dagang AS-China Fase I, jika bertahan lama, akan mengurangi tensi perdagangan. Dampak perang dagang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dunia akan berkurang dari 0,8% menjadi 0,5% pada akhir 2020," papar Gopinath.
Oleh karena itu, lanjut Gopoinath, secara umum risiko perekonomian menurun pada 2020. Namun bukan berarti kewaspadaan bisa dikendurkan.
Menurut Gopinath, friksi dagang masih bisa terjadi antara AS dan Uni Eropa. Bahkan risiko perang dagang AS-China pun belum hilang sepenuhnya, karena kedua negara baru sampai di kesepakatan Fase I. Ditambah lagi ada risiko geopolitik dan konflik sosial yang meningkat, seperti di Timur Tengah.
"Hal yang perlu diperhatikan adalah, meski risiko pada 2020 mungkin menurun tetapi opsi kebijakan yang bisa ditempuh pun terbatas. Jadi, sangat penting bagi para pengambil kebijakan agar tidak menambah ketidakpastian," tegas Gopoinath.
Walau memberi wanti-wanti, tetapi IMF sebenarnya menyampaikan kabar gembira. Rasanya 2019 yang penuh nestapa itu adalah titik penderitaan terendah, dan 2020 ekonomi dunia bakal bangkit meski tidak sebaik perkiraan semula.
Jadi, rilis IMF ini sifatnya agak mixed bag. DI satu sisi ada kekhawatiran karena proyeksi pertumbuhan ekonomi dipangkas, tetapi di sisi lain ada harapan karena 2020 bisa lebih ketimbang 2019. Tinggal pasar ingin lebih condong ke arah mana...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular