Terbaik Ketiga di Asia Hari Ini, Rupiah Belum Bosan Menguat

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
20 January 2020 17:47
Terbaik Ketiga di Asia Hari Ini, Rupiah Belum Bosan Menguat
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (20/1/2020) setelah membukukan penguatan 7 pekan beruntun.

Mata uang Garuda langsung melemah tipis 0,04% ke Rp 13.635/US$ begitu perdagangan hari ini dibuka. Pelemahan rupiah bertambah menjadi 0,15% ke Rp 13.650/US$, level tersebut merupakan titik terlemah hari ini. Setelahnya, rupiah perlahan menipiskan pelemahan.

Nyaris sepanjang perdagangan rupiah berada di zona merah, baru pada menit-menit akhir, Mata Uang Garuda masuk ke zona hijau, menutup pasar di level Rp 13.625/US$ di pasar spot, melansir data Refinitiv.



Mayoritas mata uang utama Asia melemah melawan dolar AS pada hari ini. Hingga pukul 16:10 WIB, won Korea Selatan menjadi mata uang terbaik dengan penguatan 0,22%, disusul dengan baht Thailand yang menguat 0,1%. Rupiah dengan penguatan 0,04% melengkapi tiga besar terbaik hari ini. Sementara mata uang lainnya mengalami pelemahan.



Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning.




[Gambas:Video CNBC]





Sejak perdagangan tahun ini dibuka, hingga Jumat (17/1/2020) pekan lalu, rupiah sudah menguat 1,8% melawan dolar AS di pasar spot, melansir data Refinitiv. Rupiah bahkan mencapai level terkuat sejak Februari 2018.

Posisi tersebut tentunya menggoda pelaku pasar untuk mencairkan cuan, sehingga memicu aksi profit taking dan membuat rupiah melemah dan berada di zona merah nyaris sepanjang perdagangan. 

Penguatan tajam rupiah sejak awal 2020 terjadi akibat membaiknya sentimen pelaku pasar akibat kesepakatan dagang fase I AS-China yang resmi diteken pada pekan lalu. Selain itu fundamental dalam negeri juga cukup mendukung penguatan Mata Uang Garuda.


Bank Indonesia (BI) merilis data cadangan devisa Indonesia bulan Desember 2019 yang naik menjadi US$ 129,18 miliar, dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat US$ 126,63 miliar. Cadangan devisa di bulan Desember tersebut sekaligus menjadi yang tertinggi sejak Januari 2018.

"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,6 bulan impor atau 7,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," tulis BI dalam keterangannya, Rabu (8/1/2020) pekan lalu. 

Dengan cadangan devisa yang meningkat, BI akan lebih leluasa menstabilkan nilai tukar rupiah ketika mengalami gejolak, sehingga investor akan merasa nyaman menanamkan modalnya di Indonesia.



Sementara kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan realisasi ekspor selama 2019, mencapai US$ 167,53 miliar atau turun 6,94% dari 2018 lalu yang mencapai US$ 180,01 miliar. Sementara total impor selama 2019, tercatat US$ 178,72 miliar atau turun 9,53% dibandingkan di 2018 yang sebesar US$ 188,71 miliar.

Sehingga neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2019 mengalami defisit US$ 3,2 miliar.

"Angka ini jauh lebih baik dari 2018 yang defisitnya US$ 8,6 miliar," kata Kepala BPS Suhariyanto di Gedung BPS, Rabu (15/1/2020).

Selain itu BPS juga melaporkan persentase penduduk miskin pada September 2019 sebesar 9,22%, angka ini menurun 0,19% poin terhadap Maret 2019 dan menurun 0,44% poin terhadap September 2018.

Tak cuma angka kemiskinan yang turun, pada September 2019 tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio juga turun. Gini Ratio pada September 2019 sebesar 0,380, turun 0,002 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2019 yang sebesar 0,382 dan menurun 0,004 poin dibandingkan dengan Gini Ratio September 2018 yang sebesar 0,384. 



Faktor fundamental tersebut membuat rupiah mampu membukukan penguatan tujuh pekan beruntun. Rupiah kini diprediksi akan mengambil alih tahta mata uang terbaik Asia dari bath Thailand di tahun ini. Pada tahun 2019, rupiah berada di peringkat ketiga terbaik mata uang Benua Kuning, kalah dari baht Thailand dan peso Filipina. 

Rupiah yang akan menjadi raja Asia diprediksi oleh Bloomberg, bahkan sudah dinobatkan sejak awal tahun ini. Yield obligasi Indonesia yang berada di kisaran 5-8%, menjadi salah satu keuntungan yang dapat membawa aliran modal masuk Indonesia, sehingga menjadi tenaga bagi rupiah untuk menguat.

Sementara baht dan peso diprediksi akan mengalami kesulitan di tahun ini. Bank sentral Thailand sudah mengumumkan akan meredam penguatan baht, sementara peso terbebani oleh defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang membengkak.

Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) tidak mempermasalahkan penguatan rupiah. Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI, mengatakan bahwa apresiasi rupiah tidak otomatis membuat daya saing produk Indonesia di pasar ekspor tergerus.

"Rupiah yang kuat akan membantu menurunkan biaya sehingga membuat eksportir lebih efisien. Terutama yang memiliki utang dalam valas," kata Dody, seperti dikutip dari Reuters.


TIM RISET CNBC INDONESIA 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular