Ekonomi China Terlemah Sejak 1990, Bursa Asia Tetap Menghijau

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
17 January 2020 17:15
Seluruh bursa saham utama kawasan Asia kompak menutup perdagangan terakhir di pekan ini, Jumat (17/1/2020), di zona hijau.
Foto: Bursa Jepang (Nikkei). (AP Photo/Eugene Hoshiko)
Jakarta, CNBC Indonesia - Seluruh bursa saham utama kawasan Asia kompak menutup perdagangan terakhir di pekan ini, Jumat (17/1/2020), di zona hijau.

Pada penutupan perdagangan, indeks Nikkei naik 0,45%, indeks Shanghai terapresiasi 0,05%, indeks Hang Seng menguat 0,6%, indeks Straits Times terkerek 0,09%, dan indeks Kospi bertambah 0,11%.

Bursa saham Asia berhasil mengekor bursa saham AS alias Wall Street yang mencetak rekor pada perdagangan kemarin, Kamis (16/1/2020).

Pada penutupan perdagangan kemarin (tadi pagi), indeks Dow Jones naik 0,92%, indeks S&P 500 menguat 0,84%, dan indeks Nasdaq Composite terapresiasi 1,06%. Ketiga indeks saham acuan di AS tersebut ditutup di level tertinggi sepanjang masa.


Rilis data ekonomi China ternyata tak menekan kinerja bursa saham Benua Kuning. Sepanjang tiga bulan terakhir tahun 2019, perekonomian China tercatat tumbuh sebesar 6% secara tahunan, sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh Reuters.

Untuk keseluruhan tahun 2019, perekonomian Negeri Panda tumbuh sebesar 6,1%, juga sesuai dengan estimasi.

Lantas, pertumbuhan ekonomi China melambat signifikan dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Melansir CNBC International yang mengutip Reuters, pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 merupakan yang terlemah sejak tahun 1990.


Walaupun pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 merupakan yang terlemah sejak tahun 1990, nyatanya hal tersebut sudah diekspektasikan oleh pelaku pasar. Seperti yang sudah disebutkan di atas, angka pertumbuhan ekonomi China untuk periode kuartal IV-2019 dan keseluruhan tahun 2019 sesuai dengan konsensus.

Lantas, pelaku pasar pun tak lagi kaget dengan perlambatan perekonomian China yang signifikan. Justru, fakta bahwa perlambatan ekonomi China tidaklah separah yang diekspektasikan menjadi faktor yang membuat pelaku pasar memburu instrumen berisiko seperti saham.

Kedepannya, ada ekspektasi yang besar bahwa perlambatan ekonomi China bisa diredam. Pasalnya, AS dan China kini telah resmi meneken kesepakatan dagang tahap satu yang akan menjadi kunci dalam meredam tekanan terhadap perekonomian China.

Seperti yang diketahui, pada hari Rabu waktu setempat (15/1/2020) AS dan China menandatangani kesepakatan dagang tahap satu di Gedung Putih, AS. Dari pihak AS, penandatanganan dilakukan langsung oleh Presiden Donald Trump, sementara pihak China mengirim Wakil Perdana Menteri Liu He.

Melansir World Economic Outlook (WEO) periode Oktober 2019 yang dipublikasikan oleh International Monetary Fund (IMF), perekonomian China diproyeksikan tumbuh sebesar 5,819% pada tahun 2020, yang berarti perlambatannya tak separah perlambatan di tahun 2019.

Ingat, proyeksi tersebut dibuat oleh IMF pada Oktober 2019 kala AS dan China belum mengumumkan dicapainya kesepakatan dagang tahap satu. Dengan kini kesepakatan dagang tahap satu sudah diteken, angka pertumbuhan ekonomi China untuk tahun 2020 tentu bisa lebih tinggi lagi.

Sejauh ini, China masih merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia. Jika perekonomian China tumbuh relatif tinggi, tentu pertumbuhan perekonomian dunia juga akan berada di level yang relatif tinggi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

[Gambas:Video CNBC]




(ank/ank) Next Article Ekonomi China Tumbuh Sesuai Ekspektasi, Bursa Asia Menghijau

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular