Pak Jokowi, Rupiah Menguat 7 Pekan Beruntun nih

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
17 January 2020 17:25
Pak Jokowi, Rupiah Menguat 7 Pekan Beruntun nih
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah tipis melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (17/1/2020). Meski demikian Mata Uang Garuda masih berada di dekat level terkuat sejak Februari 2018 yang dicapai pada Kamis kemarin.

Rupiah pada hari ini mencatat pelemahan tipis 0,04% ke level Rp 13.630/US$ dibandingkan posisi penutupan kemarin. Sementara sepanjang pekan ini rupiah membukukan penguatan cukup signifikan, sebesar 0,91%. Berkat penguatan tersebut, rupiah memperpanjang rentang penguatan mingguan menjadi 7 pekan beruntun dengan total 3,33%.

Penguatan beruntun dan posisi rupiah tersebut tentunya menggoda pelaku pasar untuk mencairkan cuan, dan melakukan aksi ambil untung (profit taking) yang membuat rupiah melemah pada hari ini. Apalagi, rupiah sudah "disemprit" Presiden Joko Widodo Kamis kemarin.



"Nilai tukar rupiah kita menguat. Kalau menguatnya terlalu cepat kita harus hati-hati," kata Jokowi saat menjadi pembicara dalam Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan di Ritz Carlton, SCBD, Kamis (16/1/2020).

"Ada yang tidak senang dan ada yang senang. Eksportir pasti tidak senang karena rupiah menguat, menguat, menguat," kata Jokowi lagi.



Jika nilai tukar rupiah terus menguat, tidak hanya eksportir yang tidak senang seperti kata Jokowi, tetapi juga dapat membuat impor melonjak. Dampaknya bisa berujung pada defisit neraca dagang yang membengkak, dan tentunya memperlebar lagi defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD).

Selain rupiah, mayoritas mata uang utama Asia juga melemah pada perdagangan hari ini. Hingga pukul 16:20 WIB, baht Thailand menjadi mata uang terburuk setelah melemah 0,13%. Sementara yuan China menjadi yang terbaik dengan penguatan 0,27%.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning hari ini.




[Gambas:Video CNBC]




Kesepakatan dagang fase I AS-China menjadi salah satu faktor utama terus menguatnya rupiah. Kesepakatan tersebut sudah diteken pada hari Rabu (15/1/2020) di Washington.

Dalam kesepakatan dagang fase I, AS menurunkan bea masuk impor dari sebelumnya 15% menjadi 7,5% terhadap produk China senilai US$ 120 miliar. Sementara China akan membeli produk AS senilai 200 miliar dalam dua tahun ke depan.

Selain itu, semua mengenai bea masuk kedua negara masih sama. AS masih mengenakan bea masuk sebesar 25% terhadap produk China senilai US$ 250 miliar, sementara China mengenakan bea masuk terhadap produk AS senilai US 110 miliar.

Meski damai dagang belum terjadi sepenuhnya, tetapi risiko eskalasi perang dagang kedua negara setidaknya sudah menurun dengan kesepakatan fase I. Pertumbuhan ekonomi global diharapkan bisa bangkit di tahun ini, yang membuat risk appetite pelaku pasar meningkat. Dampaknya, rupiah terus menguat.



Selain itu data dari dalam negeri juga mendukung penguatan rupiah. Bank Indonesia (BI) merilis data cadangan devisa Indonesia bulan Desember 2019 yang naik menjadi US$ 129,18 miliar, dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat US$ 126,63 miliar. Cadangan devisa di bulan Desember tersebut sekaligus menjadi yang tertinggi sejak Januari 2018.

"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,6 bulan impor atau 7,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," tulis BI dalam keterangannya, Rabu (8/1/2020) pekan lalu. 

Dengan cadangan devisa yang meningkat, BI akan lebih leluasa menstabilkan nilai tukar rupiah ketika mengalami gejolak, sehingga investor akan merasa nyaman menanamkan modalnya di Indonesia.

Sementara kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan realisasi ekspor selama 2019, mencapai US$ 167,53 miliar atau turun 6,94% dari 2018 lalu yang mencapai US$ 180,01 miliar. Sementara total impor selama 2019, tercatat US$ 178,72 miliar atau turun 9,53% dibandingkan di 2018 yang sebesar US$ 188,71 miliar.

Sehingga neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2019 mengalami defisit US$ 3,2 miliar.

"Angka ini jauh lebih baik dari 2018 yang defisitnya US$ 8,6 miliar," kata Kepala BPS Suhariyanto di Gedung BPS, Rabu (15/1/2020).



Selain itu BPS juga melaporkan persentase penduduk miskin pada September 2019 sebesar 9,22%, angka ini menurun 0,19% poin terhadap Maret 2019 dan menurun 0,44% poin terhadap September 2018.

Tak cuma angka kemiskinan yang turun, pada September 2019 tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio juga turun. Gini Ratio pada September 2019 sebesar 0,380, turun 0,002 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2019 yang sebesar 0,382 dan menurun 0,004 poin dibandingkan dengan Gini Ratio September 2018 yang sebesar 0,384. 

Sementara pada hari ini, data ekonomi China juga masih berdampak bagus pada sentimen pelaku pasar. Ekonomi China dilaporkan tumbuh 6% di kuartal IV-2019, sama dengan pertumbuhan kuartal sebelumnya. Sepanjang tahun 2019, ekonomi China tumbuh 6,1% dan menjadi yang terendah dalam nyaris tiga dekade terakhir. 

Namun pelambatan ekonomi China bukan suatu kejutan bagi pasar, hal tersebut sudah diprediksi oleh para analis setelah perang dagang dengan AS terjadi. 

Pelaku pasar merespon data lain dari China, produksi industri dilaporkan tumbuh 6,9% year-on-year (YoY) di bulan Desember, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 6,2%. Investasi aset tetap tumbuh 5,4% naik dari bulan November 5.2%, dan penjualan ritel naik 8% di Desember. 

Data-data tersebut menunjukkan ekonomi Tiongkok kembali bergeliat di penghujung 2019, dengan kesepakatan dagang fase I sudah diteken momentum pertumbuhan bisa bertambah lagi. Pelaku pasar pun semakin happy. 

TIM RISET CNBC INDONESIA 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular