Pernah Kehilangan Bank, untuk Apa Grup Salim Caplok Bank Ina?

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
16 January 2020 10:03
Bank Ina berencana menambah modal dan mengembangkan perbankan digital
Foto: Bank INA Perdana (Ist)
Jakarta, CNBC Indonesia - Grup Salim resmi menjadi pemegang saham pengendali PT Bank Ina Perdana (BINA). Anthoni Salim yang juga Direktur Utama PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), resmi menjadi ultimate shareholder atau pemegang saham pengendali terakhir (PSPT) Bank Inabersama pemilik Bali United, Pieter Tanuri.

Hal itu terungkap dalam keterbukaan informasi Bank Ina Perdana yang dipublikasikan pada 10 Januari 2020 yang disampaikan Direktur Utama Bank Ina Daniel Budirahayu dan Direktur Kepatuhan Bank Ina Wardoyo.

Terjadi perubahan struktur kepemilikan saham Bank Ina di mana perusahaan Grup Salim, PT Indolife Pensiontama menjadi pemegang saham pengendali, dari sebelumnya hanya dipegang oleh PT Philadel Terra Lestari milik Pieter.

Sebelumnya, Pieter Tanuri sebelumnya menjual PT Multistrada Arah Sarana Tbk (MASA) dan memiliki Bali United yang juga tercatat di BEI dengan nama PT Bali Bintang Sejahtera Tbk (BOLA).

"Tidak ada dampak kejadian, informasi, atau fakta material tersebut terhadap kegiatan operasional, hukum, kondisi keuangan, atau kelangsungan usaha emiten," tulis manajemen Bank Ina.

Untuk keperluan apa Bank Ina Perdana itu didirikan?

Setelah dicaplok Grup Salim, Bank Ina Perdana mengungkapkan rencan akan meningkatkan status menjadi bank BUKU (bank umum kelompok usaha) III dengan modal inti Rp 5 triliun hingga di bawah Rp 30 triliun. Ada dua cara yang akan ditempuh perseroan untuk meningkatkan status perseroan.

Direktur Utama Bank Ina Perdana Daniel Budirahayu menyampaikan hal tersebut dalam wawancara dengan CNBC Indonesia pada September 2019. Rencana untuk jadi bank BUKU III tersebut ditargetkan direalisasikan dalam kurun waktu lima tahun atau pada 2024.

"Modalnya dari mana? Selain dari organik, dari return earning yang kita tahan. Tentunya mungkin dari capital market dan injeksi dari pemegang saham," kata Daniel, pada waktu itu dalam acar Closing Bell. 

Manajemen sudah melakukan simulasi terkait penambahan modal tersebut. Skenarionya, kemungkinan dari penerbitan saham baru (rights issue) dan injeksi dari pemegang saham eksisting langsung.

"Kemungkinannya bisa kombinasi, dari capital market dan pemegang saham. Atau seluruhnya dari pemegang saham," tambah Daniel.

Bank Ina juga sedang mengajukan diri ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menjadi bank devisa.

Berdasarkan peraturan OJK, untuk menjadi bank devisa, dalam 3 tahun berturut-turut harus punya good corporate governance (GCG) yang baik.

"Untuk menjadi bank devisa, kalau kita sudah ajukan sekarang. Mungkin tahun depanlah [2020] bisa diwujudkan," tambah Daniel.

Untuk meningkatkan kinerja pendapatan dari Bank Ina, Daniel menjelaskan, akan memanfaatkan jaringan bisnis Grup Salim. Salah satu bisnis model yang sedang dikembangkan Bank Ina melalui platform digital.

Layanan perbankan digital tersebut akan digunakan untuk menyalurkan kredit konsumsi, payroll, pendanaan mikro, dan transaksi.

"Dengan digital platform yang sedang kita siapkan ini, kita mengharapkan nanti akan menjadi bank dengan transaction payment-nya kuat. Kita akan mendapatkan fee base-nya," jelas Daniel. 

[Gambas:Video CNBC]


Berdasarkan pemegang saham per September 2019, saham Bank Ina dipegang oleh OCBC Securities Pte Ltd (Client A/C) 28,99%, Philadel Terra Lestari 20%. Infolife 17,25%, Liontrust S/A NS Asean Financial Fund 18,29%, DBS Bank Ltd S/A LTSL AS Trustee of NS Financial Fund 10,49%, dan publik 0,98%.

Pada Januari 2017, Grup Salim mewujudkan niatnya membeli saham Bank Ina Perdana. Grup Salim membeli 29,02% saham Bank Ina lewat NS Financials Fund sebesar 10,58% saham dan melalui NS Asean Financial Fund sebesar 18,44%.


(hps/hps) Next Article Cerita Salim Kehilangan Bank, Sekarang Punya Lagi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular