Neraca Dagang 2019 Masih Berdarah-darah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 January 2020 12:29
Neraca Dagang 2019 Masih Berdarah-darah
Foto: The Straits Times
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekspor-impor Indonesia memang masih 'berdarah-darah' sepanjang 2019. Namun terlihat ada perbaikan, dan diharapkan terus membaik pada 2020.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor pada Desember adalah US$ 14,47 miliar. Naik 1,28% dibandingkan periode yang sama tahun lalu atau year-on-year (YoY). Sementara nilai impor pada Desember 2019 tercatat US$ 14,5 miliar, turun 5,62% YoY. Dengan begitu, neraca perdagangan membukukan defisit tipis US$ 28,2 miliar. 



Realisasi ini lebih baik ketimbang ekspektasi. Konsensus Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor masih akan mengalami kontraksi (tumbuh negatif) 1,9% secara YoY. Sementara impor juga terkontraksi 4,4% YoY dan neraca perdagangan defisit US$ 465,5 juta.

Sedangkan sepanjang 2019, total ekspor adalah US$ 167,52 miliar dan total impor US$ 170,72 miliar. Jadi neraca perdagangan sepanjang 2019 adalah US$ 3,19 miliar.

Meski neraca perdagangan 2019 masih merah, tetapi setidaknya jauh membaik ketimbang 2018. Kala itu, defisit perdagangan mencapai US$ 8,69 miliar.




Apa mau dikata, memang sulit untuk berharap kinerja perdagangan internasional bisa membaik pada 2019. Ekspor tidak bisa diandalkan seiring penurunan harga komoditas andalan Indonesia.

"(Nilai ekspor) bahan bakar mineral sepanjang 2019 itu turun 9,7%. Batu bara volume sebenarnya naik 7,05%, tetapi nilai turun 9,7% karena harga turun 34,7% YoY. Kemudian sawit, nilainya turun 13,44%. Volume naik 2,03%, harga naik 43,91% YoY, tetapi pergerakan awalnya rendah dan sekarang baru naik. Jadi sangat tergantung fluktuasi harga," papar Suhariyanto, Kepala BPS, dalam jumpa pers hari ini.


Well, 2019 memang bukan tahun yang mudah. Seperti 2018, perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China masih menjadi faktor utama yang membebani kinerja perdagangan.

"Sebetulnya yang sekarang melambat ini salah satu penyebabnya adalah persaingan antara Tiongkok dengan Amerika," ujar Kecuk, sapaan akrab Suhariyanto.

Selama sekira 18 bulan terakhir, dua kekuatan ekonomi terbesar di planet Bumi tersebut saling hambat dengan 'berbalas pantun' mengenakan bea masuk. AS mengenakan bea masuk terhadap importasi produk China senilai US$ 550 miliar. Ini dibalas oleh China dengan membebankan bea masuk terhadap impor produk AS senilai US$ 185 miliar.

Saat barang China sulit masuk ke AS gara-gara ada bea masuk dan begitu pula sebaliknya, maka dunia usaha di kedua negara tentu akan mengurangi produksi. Sepanjang 2019 terlihat bahwa pertumbuhan produksi industri di AS dan China terus melambat, bahkan AS sudah masuk ke zona kontraksi.



Ketika pengusaha di AS dan China mengurangi produksi maka permintaan bahan baku dan barang modal tentu menurun. Tentu saja termasuk permintaan dari negara lain. Inilah yang disebut dengan rantai pasok.

Dengan status sebagai dua pasar terbesar di dunia, penurunan permintaan di AS dan China tentu menyebabkan ekspor global ikut seret. Jadi tidak cuma di Indonesia, perdagangan dunia juga kedodoran pada 2019.

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperkirakan pertumbuhan perdagangan global pada 2019 hanya 1,2%. Jauh memburuk ketimbang 2018 yang mampu tumbuh 3%.

"Proyeksi yang lebih buruk ini memang mengkhawatirkan, tetapi bukan tidak terduga. Konflik perdagangan meningkatkan kadar ketidakpastian sehingga membuat dunia usaha mengurangi produksi. Ini tentunya bisa berdampak terhadap kehidupan masyarakat, karena penciptaan lapangan kerja akan terpukul. Menyelesaikan perselisihan dagang adalah kunci untuk menghindari risiko tersebut," tegas Roberto Azevedo, Direktur Jenderal WTO, sebagaimana dikutip dari siaran pers.



Namun, ada harapan badai telah berlalu. Setelah melewati 2019 yang penuh derita, mulai terlihat ada pelangi pada 2020.

Hari ini, AS-China dijadwalkan meneken perjanjian damai dagang Fase I di Gedung Putih. Dokumen setebal 86 halaman itu akan ditandatangani oleh Presiden AS Donald Trump dan Wakil Perdana Menteri China Liu He.


"Kami akan merilis dokumen dan masyarakat bisa melihat bahwa resolusi perselisihan dijabarkan dengan detail. Ini adalah perjanjian yang bisa ditegakkan," kata Steven Mnuchin, Menteri Keuangan AS, sebagaimana diwartakan Reuters.

Bahkan Washington sudah mewacanakan penurunan atau malah penghapusan bea masuk yang diterapkan selama masa perang dagang. Ini kemungkinan akan tertuang dalam perjanjian Fase II.

"Kalau Bapak Presiden ingin (kesepakatan) Fase II segera mulai dibahas, maka beliau baru akan mempertimbangkan untuk mencabut bea masuk," kata Mnuchin.


Perang dagang AS-China akhirnya akan berakhir. Perang dagang yang membuat ekonomi dunia nyaris lumpuh, bahkan menyeret sejumlah negara ke jurang resesi itu akan segera selesai.

"Dengan perjanjian dagang, itu yang ditunggu-tunggu, semoga (AS-China) betul-betul akur. Tentu akan memperbaiki irama perdagangan secara global," kata Suhariyanto.

Jadi, ke depan sepertinya kinerja perdagangan dunia akan membaik. Kalau itu terjadi, maka Indonesia tentu akan ikut merasakannya.



TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Neraca Dagang Maret 2020 Surplus US$ 740 Juta

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular