Di Balik Kekesalan Jokowi Terhadap Praktik 'Goreng' Saham

Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
04 January 2020 20:40
Kekesalan itu disampaikan Jokowi saat membuka perdagangan saham di BEI, Jakarta, Kamis (2/1/2020).
Foto: @jokowi
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo meminta regulator pasar modal, yakni Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), memberantas aksi goreng saham. Permintaan itu disampaikan Jokowi saat membuka perdagangan saham di BEI, Jakarta, Kamis (2/1/2020).

"Jangan sampai ada lagi dari 100 digoreng-goreng jadi 1.000 goreng-goreng jadi 4.000. Ini menyangkut kepercayaan yang akan kita bangun," katanya.

Jokowi mengatakan, praktik goreng saham sudah menimbulkan korban dan merugikan investor. Regulator, menurut dia, harus memberikan perlindungan kepada investor. Manipulasi pasar dan transaksi keuangan yang menjurus pada fraud dan kriminal harus ditindak dengan tegas.

Jokowi mengharapkan, pasar modal Indonesia bisa menciptakan sistem transaksi yang benar-benar transparan, terpercaya, dan valid. Hal ini penting untuk meraih kepercayaan investor baik dalam maupun luar negeri.

"Yang sering memanipulasi, manipulator ya berarti sering manipulasi. Yang enggak benar dipoles-poles jadi benar. Yang 100 tadi dipoles-poles jadi 1000. Hati-hati, bersihkan dan hentikan ini," ujar Jokowi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun setuju dengan penuturan Jokowi. Sebab, pasar modal merupakan ekosistem di mana investor bisa menaruh kepercayaan.


"Sehingga mereka bisa mendapatkan harapan sesuai dengan apa yang instrumen investasi di mana mereka menempatkan investasinya," kata Sri Mulyani ketika ditemui terpisah.

"Saya rasa integritas market basisnya adalah GCG [good corporate governance], good market conduct, itu menjadi sesuatu yang sangat penting bagi pondasi pasar modal kita,. Sehingga waktu nanti pemerintah makin mendiversifikasikan instrumen investasi seperti DIRE untuk pembiayaan real estate dan infrastruktur, dia bisa menjadi instrumen yang menjadi pilihan masyarakat untuk berinvestasi," papar Sri Mulyani.

Lantas, apa penyebab praktik goreng saham muncul?

Pengamat pasar modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy mengatakan, aksi ini sudah dimulai dari masa penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) dilakukan. Ketika saham sudah dicatatkan di bursa, 'bandar' tinggal bermain dengan harga saham, bisa dengan memberikan rumor positif terhadap saham.

"Caranya mulai dari saat IPO dengan persentase kecil saja terutama untuk investor publik atau investor yang bukan dalam kelompoknya. Ini agar memudahkan cornering," kata Budi kepada CNBC Indonesia, Kamis (2/1/2019).

"Pas listing di pasar sekunder, mereka membeli dengan menggunakan banyak akun di perusahaan sekuritas berbeda, mengembuskan positive rumors tentang saham itu, dan berusaha membuat harga saham ARA [auto reject atas/ARA]. Ini diulangi sampai beberapa kali. Pas harga sudah di atas, mereka melakukan repo," terangnya.

Menurut Budi, praktik ini umumnya terjadi pada saham-saham dengan kapitalisasi pasar kecil (small cap) dan saham-saham yang memiliki tingkat free float yang rendah.

Lalu, bagaimana untuk menumpas praktik seperti ini?



Masih menurut Budi, upaya goreng saham ini bisa dihentikan oleh otoritas dengan cara meningkatkan jumlah minimal kepemilikan publik saat penawaran umum. Adapun saat ini, menurut aturan yang berlaku, untuk perusahaan yang akan melakukan IPO minimal harus melepas sebanyak 7,5% sahamnya ke publik.

Cara lainnya adalah meningkatkan jumlah pihak yang wajib membeli saham dalam masa penawaran umum.

"Minimum free float atau yang dijual di pasar harus besar, jangan hanya beberapa persen saja dan mesti ratusan pihak (dulu 300 dan sekarang akan dinaikkan lagi)," imbuh dia.

Adapun saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menggodok aturan mengenai penjatahan bagi investor ritel dan institusi terhadap saham yang sedang ditawarkan.

Berdasarkan draft Rancangan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) tentang Pelaksanaan Penawaran Awal, Penawaran, Penjatahan dan Distribusi Efek Bersifat Ekuitas, Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk Secara Elektronis, nantinya investor ritel dan institusi akan mendapatkan jatah masing-masing dengan harga yang wajar ketika efek tersebut diterbitkan.

Adapun OJK juga akan membatasi jumlah pemesanan yang dapat dilakukan oleh investor ritel dengan nilai maksimal sebesar Rp 100 juta/investor.

Dalam draft surat edaran ini, OJK menggolongkan perusahaan yang melakukan IPO dalam lima kelompok berdasarkan nilai penawaran umum (proceed) yang diperoleh perusahaan dalam aksi korporasi ini.

Pengelompokkan emiten ini ditujukan untuk mengatur alokasi efek saham yang akan dijatahkan untuk investor ritel.

Golongan I diwajibkan paling sedikit investor ritel mendapatkan jatah sebesar 15% dari penawaran umum, sedang golongan II jatah investor ritel paling sedikit 10% dari total efek yang ditawarkan atau minimal senilai Rp 15 miliar dari total nilai efek.

Di golongan III, jatah minimal yang dapat diperoleh oleh investor ritel adalah sebesar 7,5% atau senilai Rp 25 miliar. Golongan IV mendapatkan penjatahan untuk ritel sebesar 5% dari jumlah efek atau minimal senilai Rp 37,50 miliar.

Terakhir, emiten jumbo di golongan V wajib menjatahkan untuk investor ritel sebesar 2,5% dari jumlah efek atau paling sedikit Rp 50 miliar.

Meski demikian, belum jelas kapan belum dapat dipastikan SE OJK ini akan ditetapkan dan mulai diterapkan. Beberapa waktu lalu OJK telah meminta tanggapan kepada masyarakat terkait dengan draft tersebut.

[Gambas:Video CNBC]


(miq/miq) Next Article Pernyataan Lengkap Jokowi Berantas 'Penggoreng' Pasar Saham

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular