
Jokowi Perintah Sikat Goreng Saham, Bagaimana Caranya?
Monica Wareza, CNBC Indonesia
03 January 2020 17:42

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo mengetahui dan secara tegas menyampaikan kekesalannya atas tindak 'goreng' saham yang kerap kali terjadi di bursa saham dalam negeri. Kekesalan Jokowi memuncak setelah praktik goreng saham tersebut sudah memakan banyak korban.
Dia menyebutkan praktik tersebut menimbulkan banyak korban dan merugikan banyak investor.
Untuk itu dia meminta kepada regulator pasar modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk membersihkan praktik tersebut.
"Jangan sampai ada lagi dari 100 digoreng-goreng jadi 1.000 goreng-goreng jadi 4.000. Ini menyangkut kepercayaan yang akan kita bangun," kata Jokowi, saat membuka perdagangan saham awal 2020 di Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (2/1/2020).
Namun sebenarnya apa penyebab munculnya saham 'gorengan' di pasar saham Indonesia?
Pengamat pasar modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy mengatakan umumnya aksi 'goreng' saham ini sudah dilakukan sejak masa penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) tersebut dilakukan. Ketika saham sudah dicatatkan di bursa, 'bandar' tinggal bermain dengan harga saham, bisa dengan memberikan rumor positif terhadap saham.
"Caranya mulai dr saat IPO dengan persentase kecil saja terutama untuk investor publik atau investor yang bukan dlm kelompoknya. Ini agar memudahkan cornering," kata Budi kepada CNBC Indonesia, Kamis (2/1/2019).
"Pas listing di pasar sekunder, mereka membeli dengan menggunakan banyak akun di perusahaan sekuritas berbeda, menghembuskan positive rumors tentang saham itu, dan berusaha membuat harga saham ARA [auto reject atas/ARA]. Ini diulangi sampai beberapa kali. Pas harga sudah di atas, mereka melakukan repo," terangnya.
Menurut Budi, praktik ini umumnya terjadi pada saham-saham dengan kapitalisasi pasar kecil (small cap) dan saham-saham yang memiliki tingkat free float yang rendah.
Lalu bagaimana untuk menumpas praktik seperti ini?
Masih menurut Budi, upaya 'goreng' saham ini bisa dihentikan oleh otoritas dengan cara meningkatkan jumlah minimal kepemilikan publik saat penawaran umum. Adapun saat ini menurut aturan yang berlaku, untuk perusahaan yang akan melakukan IPO minimal harus melepas sebanyak 7,5% sahamnya ke publik.
Cara lainnya adalah meningkatkan jumlah pihak yang wajib membeli saham dalam masa penawaran umum.
"Minimum free float atau yang dijual di pasar harus besar, jangan hanya beberapa persen saja dan mesti ratusan pihak (dulu 300 dan sekarang akan dinaikkan lagi)," imbuh dia.
Adapun saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menggodok aturan mengenai penjatahan bagi investor ritel dan institusi terhadap saham yang sedang ditawarkan.
Berdasarkan Draft Rancangan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) tentang Pelaksanaan Penawaran Awal, Penawaran, Penjatahan dan Distribusi Efek Bersifat Ekuitas, Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk Secara Elektronis ini nantinya investor ritel dan institusi akan mendapatkan jatahnya masing-masing dengan harga yang wajar ketika efek tersebut diterbitkan.
Adapun OJK juga akan membatasi jumlah pemesanan yang dapat dilakukan oleh investor ritel dengan nilai maksimal sebesar Rp 100 juta/investor.
Dalam draft surat edaran ini, OJK menggolongkan perusahaan yang melakukan IPO dalam lima kelompok berdasarkan nilai penawaran umum (proceed) yang diperoleh perusahaan dalam aksi korporasi ini.
Pengelompokkan emiten ini ditujukan untuk mengatur alokasi efek saham yang akan dijatahkan untuk investor ritel.
Golongan I diwajibkan paling sedikit investor ritel mendapatkan jatah sebesar 15% dari penawaran umum, sedang golongan II jatah investor ritel paling sedikit 10% dari total efek yang ditawarkan atau minimal senilai Rp 15 miliar dari total nilai efek.
Di golongan III, jatah minimal yang dapat diperoleh oleh investor ritel adalah sebesar 7,5% atau senilai Rp 25 miliar. Golongan IV mendapatkan penjatahan untuk ritel sebesar 5% dari jumlah efek atau minimal senilai Rp 37,50 miliar.
Terakhir, emiten jumbo di golongan V wajib menjatahkan untuk investor ritel sebesar 2,5% dari jumlah efek atau paling sedikit Rp 50 miliar.
Meski demikian, belum jelas kapan belum dapat dipastikan SEOJK ini akan ditetapkan dan mulai diterapkan. Beberapa waktu lalu OJK telah melakukan permintaan tanggapan kepada masyarakat terkait dengan draft tersebut.
CNBC Indonesia telah berusaha menghubungi pihak OJK terkait dan belum mendapatkan jawaban hingga berita ini diturunkan.
(hps/hps) Next Article Aset Capai Rp101 T, Intip Perayaan Digital 51 Tahun Bank Mega
Dia menyebutkan praktik tersebut menimbulkan banyak korban dan merugikan banyak investor.
Untuk itu dia meminta kepada regulator pasar modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk membersihkan praktik tersebut.
Namun sebenarnya apa penyebab munculnya saham 'gorengan' di pasar saham Indonesia?
Pengamat pasar modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy mengatakan umumnya aksi 'goreng' saham ini sudah dilakukan sejak masa penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) tersebut dilakukan. Ketika saham sudah dicatatkan di bursa, 'bandar' tinggal bermain dengan harga saham, bisa dengan memberikan rumor positif terhadap saham.
"Caranya mulai dr saat IPO dengan persentase kecil saja terutama untuk investor publik atau investor yang bukan dlm kelompoknya. Ini agar memudahkan cornering," kata Budi kepada CNBC Indonesia, Kamis (2/1/2019).
"Pas listing di pasar sekunder, mereka membeli dengan menggunakan banyak akun di perusahaan sekuritas berbeda, menghembuskan positive rumors tentang saham itu, dan berusaha membuat harga saham ARA [auto reject atas/ARA]. Ini diulangi sampai beberapa kali. Pas harga sudah di atas, mereka melakukan repo," terangnya.
Menurut Budi, praktik ini umumnya terjadi pada saham-saham dengan kapitalisasi pasar kecil (small cap) dan saham-saham yang memiliki tingkat free float yang rendah.
Lalu bagaimana untuk menumpas praktik seperti ini?
Masih menurut Budi, upaya 'goreng' saham ini bisa dihentikan oleh otoritas dengan cara meningkatkan jumlah minimal kepemilikan publik saat penawaran umum. Adapun saat ini menurut aturan yang berlaku, untuk perusahaan yang akan melakukan IPO minimal harus melepas sebanyak 7,5% sahamnya ke publik.
Cara lainnya adalah meningkatkan jumlah pihak yang wajib membeli saham dalam masa penawaran umum.
"Minimum free float atau yang dijual di pasar harus besar, jangan hanya beberapa persen saja dan mesti ratusan pihak (dulu 300 dan sekarang akan dinaikkan lagi)," imbuh dia.
Adapun saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menggodok aturan mengenai penjatahan bagi investor ritel dan institusi terhadap saham yang sedang ditawarkan.
Berdasarkan Draft Rancangan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) tentang Pelaksanaan Penawaran Awal, Penawaran, Penjatahan dan Distribusi Efek Bersifat Ekuitas, Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk Secara Elektronis ini nantinya investor ritel dan institusi akan mendapatkan jatahnya masing-masing dengan harga yang wajar ketika efek tersebut diterbitkan.
Adapun OJK juga akan membatasi jumlah pemesanan yang dapat dilakukan oleh investor ritel dengan nilai maksimal sebesar Rp 100 juta/investor.
Dalam draft surat edaran ini, OJK menggolongkan perusahaan yang melakukan IPO dalam lima kelompok berdasarkan nilai penawaran umum (proceed) yang diperoleh perusahaan dalam aksi korporasi ini.
![]() |
Pengelompokkan emiten ini ditujukan untuk mengatur alokasi efek saham yang akan dijatahkan untuk investor ritel.
Golongan I diwajibkan paling sedikit investor ritel mendapatkan jatah sebesar 15% dari penawaran umum, sedang golongan II jatah investor ritel paling sedikit 10% dari total efek yang ditawarkan atau minimal senilai Rp 15 miliar dari total nilai efek.
Di golongan III, jatah minimal yang dapat diperoleh oleh investor ritel adalah sebesar 7,5% atau senilai Rp 25 miliar. Golongan IV mendapatkan penjatahan untuk ritel sebesar 5% dari jumlah efek atau minimal senilai Rp 37,50 miliar.
Terakhir, emiten jumbo di golongan V wajib menjatahkan untuk investor ritel sebesar 2,5% dari jumlah efek atau paling sedikit Rp 50 miliar.
Meski demikian, belum jelas kapan belum dapat dipastikan SEOJK ini akan ditetapkan dan mulai diterapkan. Beberapa waktu lalu OJK telah melakukan permintaan tanggapan kepada masyarakat terkait dengan draft tersebut.
CNBC Indonesia telah berusaha menghubungi pihak OJK terkait dan belum mendapatkan jawaban hingga berita ini diturunkan.
(hps/hps) Next Article Aset Capai Rp101 T, Intip Perayaan Digital 51 Tahun Bank Mega
Most Popular