
Rupiah Menunggu BI dan Trump
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 December 2019 08:13

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah hari ini. Berbagai penantian membuat investor merasa tidak pasti sehingga memilih menahan diri.
Pada Kamis (19/12/2019), US$ 1 setara dengan Rp 13.970 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dengan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya alias stagnan.
Namun seiring perjalanan pasar, rupiah terpeleset ke zona merah. Pada pukul 08:12 WIB, US$ 1 dihargai Rp 13.980 di mana rupiah melemah 0,07%.
Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,11% di hadapan dolar AS. Padahal mata uang Tanah Air nyaris seharian melemah, baru balik arah ke zona hijau jelang penutupan pasar.
Hari ini, sepertinya pencapaian tersebut agak sulit terulang. Pertama, rupiah rasanya mulai terlalu kuat. Dalam sebulan terakhir, apresiasi rupiah tercatat 0,71%. Kalau dilihat sejak awal tahun, bahkan penguatan rupiah mencapai nyaris 3%!
Oleh karena itu, sangat wajar jika rupiah mengalami koreksi. Tidak masalah, justru koreksi itu sehat dan menghindarkan rupiah dari risiko penggelembungan nilai aset (asset bubble).
Selain itu, investor tentu punya hasrat untuk mencairkan cuan. Keuntungan yang sudah didapat dari memegang rupiah suatu saat pasti dicairkan. Tekanan jual akan membuat rupiah cenderung melemah.
Kedua, investor juga menantikan hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG) BI edisi Desember 2019. Gubernur Perry Warjiyo dan kolega dijadwalkan mengumumkan hasil RDG pada pukul 14:00 WIB nanti, yang ditunggu tentu suku bunga acuan.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan suku bunga acuan masih akan bertahan di 5%. Begitu pula dengan konsensus yang dihimpun dua kantor berita asing, Reuters dan Bloomberg.
Melihat laju inflasi yang 'santai' sementara ada kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, memang ada ruang untuk menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate lebih lanjut. Namun yang menjadi masalah dalam perekonomian Indonesia bukan di sisi permintaan, melainkan permintaan memang sedang lesu. Walau suku bunga sudah turun, kalau permintaan belum kuat ya sama saja bohong.
Jadi, BI rasanya akan menunggu dulu. BI akan memonitor sejauh mana penurunan suku bunga acuan yang sudah terjadi empat kali sejak awal tahun plus penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) terhadap perekonomian.
Pada Kamis (19/12/2019), US$ 1 setara dengan Rp 13.970 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dengan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya alias stagnan.
Namun seiring perjalanan pasar, rupiah terpeleset ke zona merah. Pada pukul 08:12 WIB, US$ 1 dihargai Rp 13.980 di mana rupiah melemah 0,07%.
Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,11% di hadapan dolar AS. Padahal mata uang Tanah Air nyaris seharian melemah, baru balik arah ke zona hijau jelang penutupan pasar.
Hari ini, sepertinya pencapaian tersebut agak sulit terulang. Pertama, rupiah rasanya mulai terlalu kuat. Dalam sebulan terakhir, apresiasi rupiah tercatat 0,71%. Kalau dilihat sejak awal tahun, bahkan penguatan rupiah mencapai nyaris 3%!
Oleh karena itu, sangat wajar jika rupiah mengalami koreksi. Tidak masalah, justru koreksi itu sehat dan menghindarkan rupiah dari risiko penggelembungan nilai aset (asset bubble).
Selain itu, investor tentu punya hasrat untuk mencairkan cuan. Keuntungan yang sudah didapat dari memegang rupiah suatu saat pasti dicairkan. Tekanan jual akan membuat rupiah cenderung melemah.
Kedua, investor juga menantikan hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG) BI edisi Desember 2019. Gubernur Perry Warjiyo dan kolega dijadwalkan mengumumkan hasil RDG pada pukul 14:00 WIB nanti, yang ditunggu tentu suku bunga acuan.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan suku bunga acuan masih akan bertahan di 5%. Begitu pula dengan konsensus yang dihimpun dua kantor berita asing, Reuters dan Bloomberg.
Melihat laju inflasi yang 'santai' sementara ada kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, memang ada ruang untuk menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate lebih lanjut. Namun yang menjadi masalah dalam perekonomian Indonesia bukan di sisi permintaan, melainkan permintaan memang sedang lesu. Walau suku bunga sudah turun, kalau permintaan belum kuat ya sama saja bohong.
Jadi, BI rasanya akan menunggu dulu. BI akan memonitor sejauh mana penurunan suku bunga acuan yang sudah terjadi empat kali sejak awal tahun plus penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) terhadap perekonomian.
Next Page
Politik AS Gaduh, Trump Terancam Lengser
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular