
Masih Mager, Emas Sebenarnya Mau ke Mana?

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas global masih malas bergerak alias mager hingga di awal perdagangan sesi Eropa Rabu (18/12/2019), dalam dua hari terakhir logam mulia ini juga bergerak tipis.
Pada pukul 14:37 WIB, emas diperdagangkan di kisaran US$ 1.476,96/troy ons, menguat tipis 0,04% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Sejak awal pekan, emas hanya bergerak di rentang US$ 1.472,55 sampai US$ 1.480,35/troy ons.
Kesepakatan dagang fase I Amerika Serikat (AS) dengan China belum mampu menekan harga emas. Sementara meningkatnya risiko hard Brexit (keluarnya Inggris dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun) juga belum sanggup mendorong kenaikan emas.
Perang dagang AS-China memang sudah memasuki babak baru, kedua negara sudah mencapai kesepakatan dagang fase I pada Jumat (13/12/2019) lalu. Di awal pekan ini, Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, dan Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence Kudlow kompak menyatakan jika kesepakatan fase I sudah sepenuhnya selesai, sebagaimana diwartakan Reuters.
Lighthizer dalam acara Face the Nation yang ditayangkan di CBS mengungkapkan bahwa naskah kesepakatan damai dagang AS-China tinggal menunggu pemeriksaan yang sifatnya rutin saja. Tidak ada perubahan yang mendasar karena semua sudah disepakati.
Sementara Kudlow berharap Presiden Trump dan Presiden Xi Jinping dari China akan menandatangani perjanjian tersebut pada awal Januari. Selepas itu, AS-China akan memulai negosiasi damai dagang fase II.
Meski demikian, kabar bagus tersebut belum sanggup menjungkalkan harga emas.
Dalam kesepakatan dagang fase I, tambahan bea masuk produk China yang sejatinya berlaku pada 15 Desember dibatalkan, dan AS juga menurunkan sebagian bea masuk importasi produk senilai US$ 120 miliar dari sebelumnya 15% menjadi 7,5%.
Sebagai gantinya, China dikatakan berkomitmen untuk membeli barang dan jasa AS senilai US$ 200 miliar dalam kurun waktu dua tahun ke depan. Negeri Tiongkok juga akan membeli produk pertanian AS senilai US$ 32 miliar. Selain itu, China juga akan melakukan pembelian produk pertanian senilai US$ 5 miliar di luar angka-angka tersebut.
Patut diingat, AS masih menerapkan bea masuk yang tinggi, yakni 25% terhadap produk China senilai US$ 250 miliar, begitu juga dengan China yang belum mencabut atau mengurangi bea masuk importasi produk dari AS. Sehingga pada dasarnya perang dagang masih berlangsung, hanya tidak lagi tereskalasi.
Ini berarti pertumbuhan ekonomi global belum tentu juga akan mampu bangkit meski kesepakatan dagang fase I sudah ditandatangani. Pun jika akhirnya perekonomian global membaik, dikatakan tetap akan mendapatkan keuntungan.
Pasalnya, ketika pertumbuhan ekonomi global membaik mata uang utama serta emerging marke diperediksi akan menguat melawan dolar AS. Hal itu diungkapan oleh analis Goldman Sachs, Mikhail Sprogis, yang memprediksi harga emas akan ke US$ 1.600/troy ons pada tahun depan.
Ketika dolar AS melemah, emas yang dibanderol mata uang Paman Sam tersebut berpotensi naik permintaannya.
Sementara itu dari Inggris, setelah Partai Konservatif pimpinan Perdana Menteri (PM) Boris Johnson memenangi Pemilihan Umum (Pemilu), kini Johnson dikabarkan akan merevisi undang-undang keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Withdrawal Agreement Bill).
CNBC International mengutip media lokal mewartakan PM Johnson akan merevisi undang-undang tersebut yang menghalangi diperpanjangnya masa transisi keluarnya Inggris dari Uni Eropa.
Dengan singkatnya masa transisi, tentunya pembahasan perjanjian dagang harus dipercepat PM Johnson dikatakan akan melakukan pendekatan yang lebih keras di masa transisi tersebut. Hal ini memicu kekhawatiran tidak akan ada kesepakatan dagang antara Inggris dan Uni Eropa alias hard Brexit.
Kekhawatiran akan terjadinya hard Brexit yang diprediksi dapat mengancam perekonomian Inggris tersebut membuat daya tarik emas kembali meningkat.
