
Analisis
Rupiah Masih Suka "Poco-Poco" di Kisaran Rp 14.000/US$
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 December 2019 12:48

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah pada perdagangan Rabu (18/12/2019). Rupiah langsung tertekan 0,04% begitu perdagangan hari ini dibuka. Setelahnya, pelemahan semakin besar hingga 0,14% ke level Rp 14.005/US$ di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Hingga tengah hari, rupiah belum sempat mencicipi zona hijau. Meski demikian, sejak awal pekan Mata Uang Garuda "bermain-main" di dekat level psikologis Rp 14.000/US$. Dalam tiga hari terakhir, pelemahan terjauh rupiah di Rp 14.015/US$ sementara penguatan terbesar di Rp 13.985/US$. Rupiah bergerak di dalam rentang itu hingga hari ini.
Berada di dekat level psikologis rupiah perlu momentum yang besar untuk menguat lebih jauh. Apalagi jika melihat posisi saat ini, secara year-to-date atau sepanjang tahun berjalan rupiah masih mencatat penguatan 2,71% melawan dolar AS.
Performa ini terbilang cukup apik mengingat kondisi ekonomi global yang dipenuhi ketidakpastian akibat perang dagang AS dengan China, pelambatan ekonomi global, serta ancaman resesi di berbagai negara.
Perang dagang AS-China memang memasuki babak baru, dengan kesepakatan dagang fase I Jumat (13/12/2019) lalu. Awal pekan ini, Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence Kudlow kompak menyatakan kesepakatan fase I sudah sepenuhnya selesai, sebagaimana diwartakan Reuters.
Lighthizer dalam acara Face the Nation yang ditayangkan di CBS mengungkapkan bahwa naskah kesepakatan damai dagang AS-China tinggal menunggu pemeriksaan yang sifatnya rutin saja. Tidak ada perubahan yang mendasar karena semua sudah disepakati.
Sementara Kudlow berharap Presiden Trump dan Presiden Xi Jinping dari China akan menandatangani perjanjian tersebut pada awal Januari. Selepas itu, AS-China akan memulai negosiasi damai dagang fase II.
Meski demikian, kabar bagus tersebut belum memberikan momentum penguatan yang cukup bagi rupiah untuk menguat.
Dalam kesepakatan dagang fase I, tambahan bea masuk produk China--yang semula dijadwalkan berlaku pada 15 Desember--dibatalkan, dan AS juga menurunkan sebagian bea masuk importasi produk senilai US$ 120 miliar dari sebelumnya 15% menjadi 7,5%.
Sebagai gantinya, China dikatakan berkomitmen untuk membeli barang dan jasa AS senilai US$ 200 miliar dalam kurun waktu dua tahun ke depan. Negeri Tiongkok juga akan membeli produk pertanian AS senilai US$ 32 miliar. Selain itu, China juga akan melakukan pembelian produk pertanian senilai US$ 5 miliar di luar angka-angka tersebut.
Patut diingat, AS masih menerapkan bea masuk yang tinggi, yakni 25% terhadap produk China senilai US$ 250 miliar, begitu juga dengan China yang belum mencabut atau mengurangi bea masuk importasi produk dari AS. Sehingga pada dasarnya perang dagang masih berlangsung, hanya tidak lagi tereskalasi.
Akibatnya, kabar bagus kesepakatan dagang fase I AS China belum memberikan momentum penguatan bagi rupiah.
Sementara itu dari dalam negeri, Sementara itu dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan kebijakan moneter pada Kamis (19/12/2019) besok, tentunya hal tersebut membuat pelaku pasar melakukan aksi wait and see yang membatasi pergerakan rupiah.
Suku bunga acuan akan diumumkan esok hari, di mana konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate bertahan di 5%.
Hingga tengah hari, rupiah belum sempat mencicipi zona hijau. Meski demikian, sejak awal pekan Mata Uang Garuda "bermain-main" di dekat level psikologis Rp 14.000/US$. Dalam tiga hari terakhir, pelemahan terjauh rupiah di Rp 14.015/US$ sementara penguatan terbesar di Rp 13.985/US$. Rupiah bergerak di dalam rentang itu hingga hari ini.
Berada di dekat level psikologis rupiah perlu momentum yang besar untuk menguat lebih jauh. Apalagi jika melihat posisi saat ini, secara year-to-date atau sepanjang tahun berjalan rupiah masih mencatat penguatan 2,71% melawan dolar AS.
Performa ini terbilang cukup apik mengingat kondisi ekonomi global yang dipenuhi ketidakpastian akibat perang dagang AS dengan China, pelambatan ekonomi global, serta ancaman resesi di berbagai negara.
Perang dagang AS-China memang memasuki babak baru, dengan kesepakatan dagang fase I Jumat (13/12/2019) lalu. Awal pekan ini, Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence Kudlow kompak menyatakan kesepakatan fase I sudah sepenuhnya selesai, sebagaimana diwartakan Reuters.
Lighthizer dalam acara Face the Nation yang ditayangkan di CBS mengungkapkan bahwa naskah kesepakatan damai dagang AS-China tinggal menunggu pemeriksaan yang sifatnya rutin saja. Tidak ada perubahan yang mendasar karena semua sudah disepakati.
Sementara Kudlow berharap Presiden Trump dan Presiden Xi Jinping dari China akan menandatangani perjanjian tersebut pada awal Januari. Selepas itu, AS-China akan memulai negosiasi damai dagang fase II.
Meski demikian, kabar bagus tersebut belum memberikan momentum penguatan yang cukup bagi rupiah untuk menguat.
Dalam kesepakatan dagang fase I, tambahan bea masuk produk China--yang semula dijadwalkan berlaku pada 15 Desember--dibatalkan, dan AS juga menurunkan sebagian bea masuk importasi produk senilai US$ 120 miliar dari sebelumnya 15% menjadi 7,5%.
Sebagai gantinya, China dikatakan berkomitmen untuk membeli barang dan jasa AS senilai US$ 200 miliar dalam kurun waktu dua tahun ke depan. Negeri Tiongkok juga akan membeli produk pertanian AS senilai US$ 32 miliar. Selain itu, China juga akan melakukan pembelian produk pertanian senilai US$ 5 miliar di luar angka-angka tersebut.
Patut diingat, AS masih menerapkan bea masuk yang tinggi, yakni 25% terhadap produk China senilai US$ 250 miliar, begitu juga dengan China yang belum mencabut atau mengurangi bea masuk importasi produk dari AS. Sehingga pada dasarnya perang dagang masih berlangsung, hanya tidak lagi tereskalasi.
Akibatnya, kabar bagus kesepakatan dagang fase I AS China belum memberikan momentum penguatan bagi rupiah.
Sementara itu dari dalam negeri, Sementara itu dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan kebijakan moneter pada Kamis (19/12/2019) besok, tentunya hal tersebut membuat pelaku pasar melakukan aksi wait and see yang membatasi pergerakan rupiah.
Suku bunga acuan akan diumumkan esok hari, di mana konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate bertahan di 5%.
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular