Defisit Neraca Dagang Tembus US$ 1 Miliar, IHSG Sulit Menguat

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
17 December 2019 12:31
Defisit Neraca Dagang Tembus US$ 1 Miliar, IHSG Sulit Menguat
Foto: Bursa Efek Indonesia (BEI) (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan kedua di pekan ini, Selasa (17/12/2019), di zona hijau.

Pada pembukaan perdagangan, IHSG menguat 0,19% ke level 6.223,44. IHSG kemudian terus melaju dengan nyaman di zona hijau. Titik tertinggi IHSG pada hari ini berada di level 6.233,5, mengimplikasikan kenaikan sebesar 0,35% jika dibandingkan dengan posisi pada penutupan perdagangan kemarin (16/12/2019).

Namun, IHSG kemudian berbalik arah dan terjebak di zona merah. IHSG sempat terkoreksi hingga 0,1% ke level 6.205,63. Per akhir sesi satu, IHSG memang menguat, tapi tipis saja yakni sebesar 0,02% ke level 6.212,97.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendongkrak kinerja IHSG di antaranya: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+0,94%), PT Bayan Resources Tbk/BYAN (+11,75%), PT Maha Properti Indonesia Tbk/MPRO (+12,9%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (+1,14%), dan PT Media Nusantara Citra Tbk/MNCN (+5%).

Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang justru sedang melaju di zona hijau. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei terapresiasi 0,48%, indeks Shanghai naik 0,97%, indeks Hang Seng menguat 1,12%, dan indeks Kospi bertambah 1,11%.

Bursa saham Benua Kuning menguat seiring dengan perkembangan positif terkait negosiasi dagang AS-China. Menjelang akhir pekan kemarin, AS dan China mengumumkan bahwa mereka telah berhasil mencapai kesepakatan dagang tahap satu yang sudah begitu dinanti-nantikan pelaku pasar saham dunia.

Dengan adanya kesepakatan dagang tahap satu tersebut, Presiden AS Donald Trump membatalkan rencana untuk mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal China pada tanggal 15 Desember. Untuk diketahui, nilai produk impor asal China yang akan terdampak oleh kebijakan ini sejatinya mencapai US$ 160 miliar.

Tak sampai di situ, Trump mengatakan bahwa bea masuk bagi senilai US$ 120 miliar produk impor asal China yang sebesar 15% nantinya akan dipangkas menjadi 7,5% saja sebagai bagian dari kesepakatan dagang tahap satu. Di sisi lain, China membatalkan rencana untuk mengenakan bea masuk balasan yang sedianya disiapkan guna membalas bea masuk dari AS pada hari Minggu.

Masih sebagai bagian dari kesepakatan dagang tahap satu, China akan meningkatkan pembelian produk agrikultur asal AS secara signifikan. Trump menyebut bahwa China akan segera memulai pembelian produk agrikultur asal AS yang jika ditotal akan mencapai US$ 50 miliar.

Lebih lanjut, kesepakatan dagang tahap satu AS-China juga akan membereskan komplain dari AS terkait pencurian hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi secara paksa yang sering dialami oleh perusahaan-perusahaan asal Negeri Paman Sam.

Sebagai catatan, hingga kini teks kesepakatan dagang tahap satu antara AS dan China belum ditandatangani. Menurut Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, kedua negara berencana untuk memformalisasi kesepakatan dagang tahap satu pada pekan pertama Januari 2020.

Selain karena perkembangan positif terkait negosiasi dagang AS-China, apresiasi bursa saham Benua Kuning juga ditopang oleh rilis data ekonomi China yang menggembirakan. Kemarin (16/12/2019), produksi industri di Negeri Panda periode November 2019 diumumkan naik 6,2% secara tahunan, mengalahkan konsensus yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 5% saja, seperti dilansir dari Trading Economics.

Kemudian, penjualan barang-barang ritel periode yang sama tumbuh sebesar 8%, lebih tinggi dari konsensus yang sebesar 7,6%.
Rilis data perdagangan internasional periode November 2019 yang sempat memantik aksi beli di bursa saham tanah air pada perdagangan kemarin, berikut juga pagi hari ini, kini tampak sudah berbalik menjadi sentimen negatif.

Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data perdagangan internasional periode November 2019. Sepanjang bulan lalu, BPS mencatat bahwa nilai ekspor mencapai US$ 14,01 miliar, turun 5,67% jika dibandingkan nilai pada November 2018. Kontraksi tersebut lebih dalam ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan ekspor terkontraksi atau tumbuh negatif 2,05% secara tahunan.

Sementara itu, nilai impor sepanjang November 2019 tercatat senilai US$ 15,34 miliar, turun 9,24% jika dibandingkan nilai pada November 2018. Kontraksi impor lebih tipis jika dibandingkan dengan konsensus yang memproyeksikan kontraksi hingga 13,41% secara tahunan.

Pada awalnya, pelaku pasar tampak lega melihat fakta bahwa impor Indonesia tidak terkontraksi hingga dua digit seperti yang diperkirakan para ekonom. Hal ini lantas menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi di tanah air masih relatif bergeliat.

Namun, rilis data perdagangan internasional periode November 2019 kemudian berbalik menjadi sentimen negatif. Maklum, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 1,33 miliar sepanjang bulan lalu. Defisit tersebut merupakan defisit terbesar kedua pada tahun 2019.

Sementara itu, walaupun kontraksi impor lebih tipis dari perkiraan, tetap saja kontraksi pada bulan lalu merupakan yang kelima secara beruntun. Sementara itu, kontraksi pada ekspor menandai kontraksi yang ke-13 secara beruntun.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular