Airlangga Sebut Ekonomi RI di Bawah China & India

Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
17 December 2019 11:31
Airlangga Hartarto menegaskan rasio PER saham Indonesia masih di bawah China.
Foto: Airlangga Hartarto (dok. Humas Kemenperin)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan pertumbuhan ekonomi Indonesia di antara negara-negara anggota G-20 masih positif di bawah China dan India.

Hal itu ditegaskan Airlangga saat menghadiri 
HUT Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) ke-31 di Main Hall Bursa Efek Indonesia (BEI). Airlangga sebelumnya juga pernah menjabat Ketua AEI periode 2011-2014. Hadir dalam kesempatan itu Wapres RI Ma'ruf Amin.

"Kalau kita lihat indikator yang ada pertumbuhan ekonomi Indonesia dibanding negara G-20, Indonesia masih di nomor tiga, di bawah China dan India," kata Airlangga, Selasa (17/12/2019).


Mantan Menteri Perindustrian ini menegaskan ekonomi ASEAN masih dilirik investor mengingat secara rata-rata pertumbuhannya positif dan di atas pertumbuhan rata-rata pasar modal global. "
Di ASEAN, rata-rata pertumbuhan [ekonomi] masih atas rata-rata global, maka pasar yang dilihat adalah ASEAN.

Beberapa negara anggota G-20 di antaranya Uni Eropa, AS, India, Jepang, Jerman, Korsel, Prancis, Rusia, Indonesia, Turki, Arab Saudi, Australia, dan Afrika Selatan.

BPS mencatat pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari produk domestik bruto (PDB) tumbuh 5,02% secara tahunan atau year-on-year (YoY) di kuartal III-2019. 
PDB tersebut melambat dibandingkan dengan kuartal I dan II-2019 yang tumbuh 5,07% dan 5,05%. PDB kuartal III bahkan menjadi yang terendah sejak kuartal II 2017.

Adapun PDB China hanya tumbuh 6,0 persen year-on-year pada kuartal III/2019. Capaian ini lebih rendah dari pertumbuhan pada kuartal sebelumnya sebesar 6,2 persen sekaligus menjadi laju terlemahnya dalam hampir tiga dekade. Sementara India, PDB mereka 
di kuartal II-2019, PDB tumbuh 5%.

Sebagai informasi, di pasar modal, China dan India juga memiliki tingkat rasio harga saham per laba (price earnings/PE ratio/PER) yang baik.

Adapun PE ratio (PER) adalah cerminan valuasi perusahaan yang dilihat dari pengali harga pasarnya terhadap kinerja fundamental keuangannya, dalam hal ini laba per saham (EPS). Semakin tinggi pengali PE ratio, maka harga sahamnya di pasar lebih mahal dibandingkan dengan pengali yang lebih kecil.



Berdasarkan data Tim Riset CNBC Indonesia, pada perhitungan 28 Oktober 2019, PER historis Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menjadi acuan pasar modal RI yakni sebesar 19,93 kali dan masuk deretan valuasi tertinggi di dunia, yang artinya terlalu mahal (overvalued).


JCI (Jakarta Composite Index) alias IHSG hanya kalah mahal dari indeks Nifty di bursa India 24,89 kali, DAX di Jerman 22,53 kali, dan S&P 500 di AS 20,03 kali yang baru meroket dan mencetak rekor tertinggi sepanjang masanya pada 28 Oktober.

Airlangga mengatakan ekonomi global juga mendapatkan sentimen positif dari negosiasi perang dagang fase satu yang sudah disepakati AS dan China.

Selain itu, keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit juga akan mendapatkan kepastian dengan terpilihnya kembali PM Inggris Boris Johnson.

"Tensi di Hong Kong juga akan menjadi pemicu ketidakpastian. ASEAN menjadi sangat menarik, karena di antara ketidakpastian, ASEAN adalah yang stabil," katanya.

"Kalau kita lihat, faktor utama kita adalah neraca perdagangan. Pemerintah mencoba menurunkan defisit migas melampaui B30, yang akan menghemat mendekati 10 juta kilo liter atau 6,5 juta dolar," kata Airlangga.

Adapun kontribusi bursa saham Indonesia masih 47% dari total PDB Indonesia. "Kita masih di bawah Thailand, Vietnam, Singapura jauh di atas kita bagaimana meningkatkan jumlah pemain di pasar modal."

Menakar pengaruh deal AS-China fase satu

[Gambas:Video CNBC]


(tas/tas) Next Article 42 Tahun IHSG Sudah Melonjak 6.280%, Darmin: Itu Luar Biasa

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular