Mengintip Kejelian Strategi Penerbitan Obligasi Pemerintah

Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
13 December 2019 07:02
Mengintip Kejelian Strategi Penerbitan Obligasi Pemerintah
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pembiayaan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kini sebagian besar dipenuhi oleh penerbitan olbligasi atau Surat Berharga Negara (SBN). Sesuai perkembangan, SBN tidak hanya berfungsi untuk menutup kekurangan penerimaan negara tetapi juga menjadi instrumen investasi di pasar keuangan.

Sebagaimana instrumen investasi, tentu perlu ada diversifikasi. Oleh karena itu, SBN tidak hanya diterbitkan dalam mata uang rupiah tetapi juga berdenominasi valas yaitu dolar Amerika Serikat (AS), euro, dan yen Jepang.

Data penerbitan surat utang oleh menunjukkan pemerintah sudah menerbitkan SBN secara bersih Rp 396,79 triliun, naik 48,43% dari posisi tahun lalu Rp 268,68 triliun. Penerbitan bersih atau neto adalah yang murni untuk pembiayaan defisit, menambal kekurangan penerimaan perpajakan maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Namun penerbitan SBN tidak hanya difungsikan untuk membiayai defisit. Ada pula kebutuhan manajemen utang seperti refinancing (penerbitan SBN untuk membayar yang jatuh tempo), debt switch (menukar SBN jatuh tempo dengan yang bertenor lebih panjang), dan sebagainya. Total SBN yang diterbitkan untuk segala kebutuhan adalah penerbitan kotor.

Dari sisi penerbitan kotor menunjukkan nilai Rp 800,41 triliun pada 2019. Naik 23,91% dari tahun lalu Rp 645,95 triliun. Jumlah itu berasal dari penerbitan melalui mekanisme lelang, SBN ritel, dan penawaran terbatas (private placement) baik denominasi rupiah atau valas (dolar AS, euro, yen Jepang).

Pada 2019, jumlah penerbitan itu terdiri dari obligasi yang diterbitkan melalui lelang Rp 675,59 triliun, obligasi non-tradable Rp 20,56 triliun, dan valas Rp 104,25 triliun. Khusus untuk penerbitan SBN valas, jumlahnya berasal dari SBN US$ 3,85 miliar (setara Rp 54 triliun) ditambah EUR 1,75 miliar (Rp 27,36 triliun), dan JPY 177 miliar (Rp 22,88 triliun). Dari nilai tersebut, penerbitan SBN valas memiliki porsi 13,03% dari nilai penerbitan kotor.

Menilik dari penerbitan tahun lalu, nilai penerbitan kotor mencapai Rp 645,93 triliun. Jumlah itu terdiri dari penerbitan melalui lelang Rp 512,72 triliun, non-tradable Rp 19,07 triliun, dan denominasi valas Rp 114,13 triliun. Dengan jumlah itu, maka porsi penerbitan SBN valas terhadap penerbitan kotor mencapai 17,67%.



Penurunan porsi terutama diakibatkan langkah preventif menghadapi dinamika perekonomian dan dunia keuangan global, terutama pertumbuhan ekonomi yang diprediksi turun, baik di Indonesia maupun di negara-negara seluruh dunia. Langkah hati-hati tersebut ternyata berbuah manis. Terbukti Standard and Poor's (S&P) menaikkan peringkat surat utang pemerintah Indonesia dari BBB- menjadi BBB karena pengelolaan utang yang kredibel.

Tahun ini, nilai tukar dolar AS yang menguat terhadap mata uang utama lain justru turun di hadapan rupiah. Posisi dolar terhadap mata uang lain dunia, yang biasa disebut Indeks Dolar AS, masih naik menjadi 97,13 hingga 12 Desember dibanding 96,13 pada akhir 2018. Namun, dibanding rupiah, nilai mata uang dolar AS relatif terjaga atau bahkan melemah terhadap mata uang garuda yaitu menjadi Rp 14.020/dolar AS dari US$ 14.375/dolar AS pada akhir tahun lalu.

Dengan penguatan rupiah menghadapi dolar AS tersebut, maka investor global tentu akan lebih banyak untung dari sisi keuntungan mata uang (currency gain) jika berinvestasi pada obligasi rupiah yang diterbitkan pemerintah. Setidaknya, langkah itu lebih menguntungkan dibanding berinvestasi pada obligasi valas.

Ke depannya, dengan asumsi prospek kondisi global yang lebih baik dan mata uang yang stabil maka dapat diprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi domestik akan sama besar atau bahkan membaik dari tahun ini. Asumsi itu juga termasuk memperhitungkan kondisi hubungan dagang AS-China yang lebih adem. Stabilnya ekonomi itu juga dapat diartikan suku bunga tidak akan banyak berfluktuasi, apalagi ketika bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) menunjukkan sinyal bahwa tahun depan mereka bertendensi tidak akan menurunkan suku bunga, kecuali inflasi naik drastis.

"Proyeksi kami tetap bagus, meski ada risiko di perekonomian global. Seiring perjalanan, kami menyesuaikan posisi (stance) kebijakan moneter ke arah memberikan bantalan dan semacam asuransi. Perubahan ini akan membantu perekonomian menuju outlook yang sesuai," kata Jerome 'Jay' Powell, Ketua The Fed.

Dengan pertumbuhan sisi-sisi ekonomi yang secara umum membaik itu, tentu dapat ditarik garis ke sisi stabilnya mata uang. Stabilnya mata uang dan modal pertumbuhan ekonomi Indonesia yang solid dan hampir tidak pernah turun drastis seperti halnya negara lain, tentunya dapat menggaet minat investor asing yang sedang butuh mengisi portofolionya dengan instrumen investasi dari negara berkembang, salah satunya pasar modal Indonesia.

Hasilnya, maka investor dapat mulai melihat instrumen obligasi dalam negeri lebih menarik dibandingkan dengan tahun ini. Alhasil, pemerintah juga dapat memanfaatkannya dengan menerbitkan lebih sedikit lagi obligasi denominasi valas karena SBN rupiah bakal lebih seksi di mata pelaku pasar.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular