China Blacklist Microsoft Cs, Wall Street Akan Terjun Bebas?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
10 December 2019 17:57
Walaupun Hanya Melemah Tipis, Tapi Pelaku Pasar Harus Berhati-hati
Foto: Wall Street (AP Photo/Richard Drew)

Merespons pemberitaan tersebut, harga saham Microsoft melemah 0,26% pada perdagangan kemarin (9/12/2019).

Untuk diketahui, walaupun kantor pemerintahan China kebanyakan menggunakan Personal Computer (PC) produksi dalam negeri seperti Lenovo, software yang digunakan tetaplah Microsoft.

Kantor pemerintahan China juga diketahui menggunakan hardware buatan Dell dan Hewlett Packard (HP) yang berasal dari Negeri Paman Sam. Sementara itu, PC rakitan Lenovo juga menggunakan prosesor Intel yang lagi-lagi berasal dari AS.

Hingga kini, China belum memiliki alternatif terhadap Windows besutan Microsoft yang merupakan operating system untuk PC paling populer di dunia. Pada tahun ini, sejatinya Huawei yang merupakan raksasa telekomunikasi asal China merilis HarmonyOS yang merupakan operating system besutannya sendiri, namun hingga kini belum jelas apakah operating system tersebut akan bisa digunakan untuk kepentingan pemerintah.

Pada penutupan perdagangan kemarin, harga saham HP jatuh 0,15%, sementara harga saham Intel melemah 0,49%.

Seiring dengan koreksi yang dialami oleh saham-saham perusahaan teknologi asal AS, Wall Street menutup perdagangan kemarin di zona merah. Pada penutupan perdagangan kemarin, indeks Dow Jones turun 0,38%, indeks S&P 500 jatuh 0,32%, dan indeks Nasdaq terkoreksi 0,4%.

Memang, koreksi yang dialami oleh saham-saham perusahaan teknologi asal AS pada perdagangan kemarin terbilang tipis saja. Jangankan 1% lebih, 0,5% pun tak sampai.

Namun, pelaku pasar tak bisa bernafas lega dulu. Pasalnya, sejauh ini pemberitaan yang ada baru menyebutkan bahwa larangan pengunaan hardware dan software buatan negara lain hanya akan berlaku bagi kantor-kantor pemerintahan China dan bukan untuk masyarakat umum alias konsumer.

Nah, yang akan menjadi masalah adalah jika pelarangan tersebut juga berlaku bagi masyarakat umum. Sudah bukan rahasia umum jika China kini berfokus ke bidang teknologi guna menjadikannya pemain nomor satu di dunia.

Sejauh ini, merek-merek besar penguasa pasar ponsel pintar di Indonesia pun banyak yang berasal dari China seperti Xiaomi, Oppo, Vivo, dan Realme.

Mengingat banyak hal sudah terjadi di antara AS dan China kala keduanya terlibat dalam perang dagang selama lebih dari satu setengah tahun, tentu bukan tak mungkin bahwa China akan secara luas melarang pengunaan hardware dan software buatan negara lain, khususnya AS.

Sekedar mengingatkan, pada Mei 2019 Trump mendeklarasikan kondisi darurat nasional di sektor teknologi melalui sebuah perintah eksekutif. Dengan aturan itu, Menteri Perdagangan Wilbur Ross menjadi memiliki wewenang untuk memblokir transaksi dalam bidang teknologi informasi atau komunikasi yang menimbulkan risiko bagi keamanan nasional AS.

Bersamaan kebijakan ini, Huawei Technologies dan 68 entitas yang terafiliasi dengan Huawei Technologies dimasukkan ke dalam daftar perusahaan yang dilarang membeli perangkat dan komponen dari perusahaan AS tanpa persetujuan pemerintah.

Kemudian pada Agustus 2019, pemerintah AS memutuskan untuk menambah daftar perusahaan yang masuk ke dalam daftar hitam, yakni sebanyak 46 perusahaan yang terafiliasi dengan Huawei Technologies. Alasannya, mereka dianggap berisiko untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan keamanan nasional atau arah kebijakan luar negeri dari AS.

Jadi, peluang bahwa China akan secara luas melarang pengunaan hardware dan software buatan AS jelas tidak bisa dikesampingkan. Langkah ini bisa jadi akan menjadi jawaban China atas ‘hukuman’ yang diberikan oleh AS kepada Huawei.

Melansir data yang dipublikasikan oleh StatCounter, Windows menguasai sebesar 32,53% dari total pangsa pasar operating system di China per November 2019. Namun, seperti yang sudah disebutkan, data tersebut merupakan data pangsa pasar operating system sehingga ikut memasukkan operating system untuk ponsel pintar.

Per November 2019, Android menguasai sebesar 51,77% dari total pangsa pasar operating system di China, sementara iOS menguasai sebesar 10,84%.

Jika operating system untuk ponsel pintar dikeluarkan dari data, menurut perhitungan Tim Riset CNBC Indonesia, Windows menguasai sebesar 87,03% dari total pangsa pasar operating system untuk PC di China per November 2019.

Bagi indeks S&P 500, saham-saham perusahaan teknologi seperti Microsoft, HP, dan Intel tentu merupakan elemen yang sangat penting, seiring dengan kapitalisasi pasarnya yang besar. Untuk diketahui, saham Dell tidak termasuk ke dalam saham yang ikut membentuk indeks S&P 500.

Per penutupan perdagangan kemarin, kapitalisasi pasar Microsoft, HP, dan Intel adalah masing-masing senilai US$ 1,15 triliun, US$ 30,33 miliar, dan US$ 245,91 miliar.

Kuatnya pengaruh saham-saham tersebut terhadap pergerakan indeks S&P 500 dibuktikan oleh analisis regresi. Data yang digunakan adalah data harian dalam periode Januari 2015-Desember 2019.



Dari grafik di atas, terlihat bahwa saham Microsoft, HP, dan Intel memiliki pengaruh yang kuat terhadap indeks S&P 500. Saham Microsoft misalnya, setiap kenaikan harga saham Microsoft sebesar 1 poin, maka indeks S&P 500 akan naik sebesar 0,631 poin. Sebaliknya, ketika harga saham Microsoft turun sebesar 1 poin, maka indeks S&P 500 akan turun sebesar 0,631 poin.

Jadi, sekali lagi, pelaku pasar saham dunia, termasuk Indonesia, patut berhati-hati. Pasalnya, ada kemungkinan bahwa langkah keras China terhadap perusahaan-perusahaan teknologi asal AS (jika benar terealisasi) akan menjadi awal keruntuhan Wall Street, yang pada akhirnya tentu akan menekan kinerja bursa saham global dengan signifikan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ank/ank)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular