Pascamenguat 3 Hari Beruntun, IHSG Akhirnya Melemah

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
10 December 2019 16:27
Pascamenguat 3 Hari Beruntun, IHSG Akhirnya Melemah
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan kedua di pekan ini, Selasa (10/12/2019), di zona merah.

Pada pembukaan perdagangan, IHSG melemah 0,11% ke level 6.186,75. Namun, dengan cepat IHSG bisa membalikkan keadaan dengan merangsek ke zona hijau. Titik tertinggi IHSG pada hari ini berada di level 6.205,13.

Sayang, per akhir sesi satu IHSG sudah kembali berada di zona merah. Per akhir sesi satu, IHSG jatuh 0,13% ke level 6.185,95. Per akhir sesi dua, koreksi IHSG sudah bertambah dalam menjadi 0,17% ke level 6.183,51.

Koreksi IHSG pada hari ini lantas memutus rentetan apresiasi selama tiga hari beruntun.

Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei terkoreksi 0,09%, indeks Hang Seng jatuh 0,22%, dan indeks Straits Times terkoreksi 0,58%.

Perkembangan terkait perang dagang AS-China yang kurang menggembirakan menjadi faktor yang menekan kinerja bursa saham Benua Kuning.

Financial Times melaporkan bahwa Partai Komunis China telah memerintahkan seluruh kantor pemerintahan untuk secara total menghilangkan ketergantungan terhadap perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) buatan negara lain dalam jangka waktu tiga tahun, seperti dilansir dari CNBC International.

Layaknya formasi di permainan sepak bola, kebijakan ini disebut dengan istilah "3-5-2". Hal ini lantaran penggantian hardware dan software buatan negara lain tersebut akan dilakukan secara bertahap, tepatnya 30% pada tahun 2020, 50% pada tahun 2021, dan 20% pada tahun 2022, tulis Financial Times dalam pemberitaannya.

Pemberitaan dari Financial Times tersebut mengutip sebuah publikasi dari sekuritas asal China yang bernama China Securities. Analis di China Securities memproyeksikan bahwa sebanyak 20 hingga 30 juta hardware di China perlu untuk diganti guna memenuhi kebijakan tersebut.

Menurut China Securities, perintah untuk secara total menghilangkan ketergantungan terhadap hardware dan software buatan negara lain datang pada awal tahun ini. Walaupun tak ada pengumuman yang disampaikan terkait dengan kebijakan ini kepada publik, dua perusahaan keamanan siber (cybersecurity) menginformasikan kepada Financial Times bahwa klien-klien mereka yang merupakan bagian dari pemerintah China telah menjelaskan kebijakan tersebut kepada mereka.

Jika benar adanya, keputusan pemerintah China untuk secara total menghilangkan ketergantungan terhadap hardware dan software buatan negara lain patut dicurigai bukan hanya karena perang dagang yang sedang berkecamuk dengan AS.

Perkembangan tersebut patut dicurigai semakin menegaskan ketidaksenangan China terhadap dukungan yang diberikan oleh Presiden AS Donald Trump terhadap demonstrasi di Hong Kong.

Belum lama ini, Trump resmi menandatangani dua RUU terkait demonstrasi di Hong Kong yang pada intinya memberikan dukungan bagi para demonstran di sana.

RUU pertama akan memberikan mandat bagi Kementerian Luar Negeri AS untuk melakukan penilaian terkait dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Hong Kong dalam mengatur wilayahnya sendiri. Jika China terlalu banyak mengintervensi Hong Kong sehingga membuat kekuasaan untuk mengatur wilayahnya sendiri menjadi lemah, status spesial yang kini diberikan oleh AS terhadap Hong Kong di bidang perdagangan bisa dicabut.

Sebagai informasi, status spesial yang dimaksud membebaskan Hong Kong dari bea masuk yang dibebankan oleh AS terhadap produk-produk impor asal China. RUU pertama tersebut juga membuka kemungkinan dikenakannya sanksi terhadap pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Hong Kong.

Sementara itu, RUU kedua akan melarang penjualan dari perlengkapan yang selama ini digunakan pihak kepolisian Hong Kong dalam menghadapi demonstran, gas air mata dan peluru karet misalnya.

Padahal, sebelumnya optimisme pelaku pasar sempat membuncah bahwa AS dan China akan segera mampu meneken kesepakatan dagang tahap satu.

Trump sebelumnya mengatakan bahwa sesuatu bisa terjadi terkait dengan bea masuk tambahan yang dibebankan Washington terhadap produk impor asal China. Seperti yang diketahui, penghapusan bea masuk tambahan merupakan syarat dari China jika AS ingin meneken kesepakatan dagang tahap satu.

Sejauh ini AS telah mengenakan bea masuk tambahan bagi senilai lebih dari US$ 500 miliar produk impor asal China, sementara Beijing membalas dengan mengenakan bea masuk tambahan bagi produk impor asal AS senilai kurang lebih US$ 110 miliar.

Saham-saham konsumer yang sempat berkontribusi signifikan dalam mendongkrak kinerja IHSG dalam dua hari perdagangan sebelumnya kini tak lagi bertaji. Pada perdagangan hari Jumat (6/12/2019), indeks sektor barang konsumsi menguat sebesar 0,96%, diikuti apresiasi sebesar 0,3% pada perdagangan kemarin, Senin (9/12/2019).

Per akhir sesi dua perdagangan hari ini, indeks sektor barang konsumsi tercatat melemah sebesar 0,68%.

Saham-saham konsumer diburu pelaku pasar pada hari Jumat dan Senin seiring dengan kehadiran sentimen positif yakni rilis angka Indeks Keyakinan Konsumen (IKK).

Pada hari Kamis (5/12/2019), Bank Indonesia (BI) mengumumkan bahwa IKK periode November 2019 berada di level 124,2, jauh meningkat dibandingkan IKK periode Oktober 2019 yang sebesar 118,4. IKK pada bulan lalu merupakan yang tertinggi dalam empat bulan.

Melejitnya optimisme konsumen pada bulan November disebabkan oleh kenaikan kedua komponen pembentuknya, yaitu Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IEK).

IKE pada bulan November tercatat sebesar 109,3, naik dari posisi bulan sebelumnya yang sebesar 104,8. Sementara itu, IEK pada bulan November tercatat sebesar 139,1, naik dari posisi bulan sebelumnya yang sebesar 132.

Naiknya IKK secara signifikan memberi sinyal bahwa masyarakat Indonesia akan secara signifikan meningkatkan konsumsinya menjelang libur hari raya Natal dan Tahun Baru.

Untuk diketahui, sebelumnya terdapat kekhawatiran yang besar bahwa tingkat konsumsi masyarakat Indonesia sedang berada di level yang sangat rendah. Hal ini tercermin dari rendahnya angka inflasi.

Pada awal bulan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa sepanjang bulan November terjadi inflasi sebesar 0,14% secara bulanan (month-on-month/MoM), sementara inflasi secara tahunan (year-on-year/YoY) tercatat di level 3%.

Inflasi pada bulan November berada di bawah konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia. Median dari 12 ekonom yang ikut berpartisipasi dalam pembentukan konsensus memproyeksikan tingkat inflasi secara bulanan di level 0,2%, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan berada di angka 3,065%.

Lantas, lagi-lagi inflasi Indonesia berada di bawah ekspektasi. Sebelumnya pada bulan Oktober, BPS mencatat bahwa terjadi inflasi sebesar 0,02% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,13%.

Inflasi pada bulan Oktober berada di posisi yang lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan adanya inflasi sebesar 0,12% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan sebesar 3,23%.

Lebih lanjut, indikasi bahwa konsumsi masyarakat Indonesia sedang berada di bawah tekanan juga ditunjukkan oleh publikasi data penjualan ritel oleh BI. Sepanjang September 2019, penjualan barang-barang ritel tercatat hanya tumbuh tipis sebesar 0,7% secara tahunan.

Capaian tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama tahun sebelumnya (September 2018) kala penjualan barang-barang ritel mampu tumbuh hingga 4,8% secara tahunan.

Sebagai catatan, sudah sedari bulan Mei pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3% YoY.

Sayang, kini pelaku pasar tampak memilih untuk merealisasikan keuntungan yang sudah mereka raup dari saham-saham konsumer. Apalagi, sentimen eksternal terkait perang dagang AS-China juga tak mendukung bagi pelaku pasar saham tanah air untuk melakukan aksi beli. Alhasil, langkah IHSG menjadi terbebani.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular