
Analisis
Akhirnya Rupiah Tembus ke Bawah Rp 14.000/US$, Tapi...
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
10 December 2019 13:48

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah stagnan melawan dolar Amerika Serikat (AS) di pertengahan perdagangan Selasa (10/12/2019) padahal di awal perdagangan sudah menembus ke bawah Rp 14.000/US$.
Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung menguat 0,14% ke Rp 13.990/US$. Level tersebut menjadi yang terkuat sejak 6 November lalu. Mata Uang Garuda tidak lama di zona hijau, perlahan penguatan mulai terpangkas hingga akhirnya stagnan di Rp 14.010/US$.
Rupiah sulit untuk terus melaju di zona hijau akibat kehati-hatian pelaku pasar menanti perkembangan perundingan dagang antara AS dan China. Pekan ini bisa dikatakan menjadi penentuan apakah akan ada kesepakatan dagang antara dua raksasa ekonomi dunia tersebut.
Sejauh ini, perundingan dagang kedua negara berada di jalur yang benar. Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa sesuatu bisa terjadi terkait dengan bea masuk tambahan yang dibebankan Washington terhadap produk impor asal China.
Pernyataan itu mengindikasikan batalnya bea masuk tambahan importasi produk China yang sedianya berlaku pada 15 Desember. Penghapusan bea masuk tambahan merupakan syarat China untuk kesepakatan dagang tahap satu. China juga meminta menghapus bea masuk senilai US$ 375 miliar, dari US$ 550 miliar yang selama ini sudah dikenakan.
Sementara itu China juga memberikan kabar bagus. China memutuskan untuk memberi kelonggaran bea masuk atas sejumlah impor produk pangan asal AS seperti kedelai dan daging babi. Namun AS sampai saat ini masih berencana menaikkan lagi bea masuk importasi produk dari China pada 15 Desember jika kedua negara belum meneken kesepakatan.
Penasehat Ekonomi Presiden Trump, Larry Kudlow, mengkonfirmasi jika rencana kenaikan bea impor tersebut masih berlaku. Selain itu Kudlow juga mengatakan jika kedua belah pihak "sudah dekat" dengan kesepakatan, tetapi juga menyatakan Presiden Trump siap "meninggalkan" perundingan jika beberapa kondisi tertentu tak terpenuhi.
Meski harapan akan adanya kesepakatan dagang cukup besar, tetapi kemungkinan gagalnya perundingan kedua negara juga masih ada. Pelaku pasar mengambil sikap wait and see, belum masuk ke pasar secara agresif meski dalam beberapa hari terakhir data ekonomi dari dalam negeri dirilis cukup bagus.
Pekan lalu, Bank Indonesia (BI) merilis indeks keyakinan konsumen (IKK) bulan November yang mengalami kenaikan menjadi 124,2 dari bulan sebelumnya 118,4. Angka indeks di bulan November juga menjadi yang tertinggi dalam empat bulan terakhir.
Kemudian BI juga melaporkan cadangan devisa, per akhir November sebesar US$ 126,6 miliar, turun tipis dari posisi Oktober yaitu US$ 126,7 miliar. Penurunan tersebut masih lebih baik dari prediksi Trading Economics sebesar US$ 126,3 miliar.
Terbaru pada hari ini BI melaporkan penjualan ritel di bulan Oktober yang tumbuh 3,6% year-on-year (YoY), jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan bulan Oktober 0,7%.
Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung menguat 0,14% ke Rp 13.990/US$. Level tersebut menjadi yang terkuat sejak 6 November lalu. Mata Uang Garuda tidak lama di zona hijau, perlahan penguatan mulai terpangkas hingga akhirnya stagnan di Rp 14.010/US$.
Rupiah sulit untuk terus melaju di zona hijau akibat kehati-hatian pelaku pasar menanti perkembangan perundingan dagang antara AS dan China. Pekan ini bisa dikatakan menjadi penentuan apakah akan ada kesepakatan dagang antara dua raksasa ekonomi dunia tersebut.
Sejauh ini, perundingan dagang kedua negara berada di jalur yang benar. Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa sesuatu bisa terjadi terkait dengan bea masuk tambahan yang dibebankan Washington terhadap produk impor asal China.
Pernyataan itu mengindikasikan batalnya bea masuk tambahan importasi produk China yang sedianya berlaku pada 15 Desember. Penghapusan bea masuk tambahan merupakan syarat China untuk kesepakatan dagang tahap satu. China juga meminta menghapus bea masuk senilai US$ 375 miliar, dari US$ 550 miliar yang selama ini sudah dikenakan.
Sementara itu China juga memberikan kabar bagus. China memutuskan untuk memberi kelonggaran bea masuk atas sejumlah impor produk pangan asal AS seperti kedelai dan daging babi. Namun AS sampai saat ini masih berencana menaikkan lagi bea masuk importasi produk dari China pada 15 Desember jika kedua negara belum meneken kesepakatan.
Penasehat Ekonomi Presiden Trump, Larry Kudlow, mengkonfirmasi jika rencana kenaikan bea impor tersebut masih berlaku. Selain itu Kudlow juga mengatakan jika kedua belah pihak "sudah dekat" dengan kesepakatan, tetapi juga menyatakan Presiden Trump siap "meninggalkan" perundingan jika beberapa kondisi tertentu tak terpenuhi.
Meski harapan akan adanya kesepakatan dagang cukup besar, tetapi kemungkinan gagalnya perundingan kedua negara juga masih ada. Pelaku pasar mengambil sikap wait and see, belum masuk ke pasar secara agresif meski dalam beberapa hari terakhir data ekonomi dari dalam negeri dirilis cukup bagus.
Pekan lalu, Bank Indonesia (BI) merilis indeks keyakinan konsumen (IKK) bulan November yang mengalami kenaikan menjadi 124,2 dari bulan sebelumnya 118,4. Angka indeks di bulan November juga menjadi yang tertinggi dalam empat bulan terakhir.
Kemudian BI juga melaporkan cadangan devisa, per akhir November sebesar US$ 126,6 miliar, turun tipis dari posisi Oktober yaitu US$ 126,7 miliar. Penurunan tersebut masih lebih baik dari prediksi Trading Economics sebesar US$ 126,3 miliar.
Terbaru pada hari ini BI melaporkan penjualan ritel di bulan Oktober yang tumbuh 3,6% year-on-year (YoY), jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan bulan Oktober 0,7%.
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular