
Bakal Kena Blacklist China, Saham Microsoft Cs Rontok

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China semakin panas saja. Imbas dari perselisihan antar kedua negara tersebut juga menyerempet kepada perusahaan teknologi AS.
Untuk diketahui, perang dagang antar dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut telah berlangsung selama lebih dari satu setengah tahun.
Dalam periode lebih dari satu setengah tahun tersebut, AS telah mengenakan bea masuk tambahan bagi senilai lebih dari US$ 500 miliar produk impor asal China, sementara Beijing membalas dengan mengenakan bea masuk tambahan bagi produk impor asal AS senilai kurang lebih US$ 110 miliar.
Layaknya formasi di permainan sepak bola, kebijakan ini disebut dengan istilah "3-5-2". Hal ini lantaran penggantian hardware dan software buatan negara lain tersebut akan dilakukan secara bertahap, tepatnya 30% pada tahun 2020, 50% pada tahun 2021, dan 20% pada tahun 2022, tulis Financial Times dalam pemberitaannya.
Pemberitaan dari Financial Times tersebut mengutip sebuah publikasi dari sekuritas asal China yang bernama China Securities. Analis di China Securities memproyeksikan bahwa sebanyak 20 hingga 30 juta hardware di China perlu untuk diganti guna memenuhi kebijakan tersebut.
Menurut China Securities, perintah untuk secara total menghilangkan ketergantungan terhadap hardware dan software buatan negara lain tersebut datang pada awal tahun ini. Walaupun tak ada pengumuman yang disampaikan terkait dengan kebijakan ini kepada publik, dua perusahaan keamanan siber (cybersecurity) menginformasikan kepada Financial Times bahwa klien-klien mereka yang merupakan bagian dari pemerintah China telah menjelaskan kebijakan tersebut kepada mereka.
Merespons pemberitaan tersebut, harga saham Microsoft melemah 0,26% pada perdagangan kemarin (9/12/2019). Pada sesi perdagangan extended hours, harga saham perusahaan besutan Satya Nadella tersebut kembali melemah, yakni sebesar 0,01%.
Untuk diketahui, walaupun kantor pemerintahan China kebanyakan menggunakan Personal Computer (PC) produksi dalam negeri seperti Lenovo, software yang digunakan tetaplah Microsoft.
Kantor pemerintahan China juga diketahui menggunakan hardware buatan Dell dan Hewlett Packard (HP) yang berasal dari Negeri Paman Sam. Sementara itu, PC rakitan Lenovo juga menggunakan prosesor Intel yang lagi-lagi berasal dari AS.
Hingga kini, China belum memiliki alternatif terhadap Windows besutan Microsoft yang merupakan operating system untuk PC paling populer di dunia. Pada tahun ini, sejatinya Huawei yang merupakan raksasa telekomunikasi asal China merilis HarmonyOS yang merupakan operating system besutannya sendiri, namun hingga kini belum jelas apakah operating system tersebut akan bisa digunakan untuk kepentingan pemerintah.
Pada penutupan perdagangan kemarin, harga saham HP jatuh 0,13%, sementara harga saham Intel melemah 0,49%.
Seiring dengan koreksi yang dialami oleh saham-saham perusahaan teknologi asal AS, Wall Street menutup perdagangan kemarin di zona merah. Pada penutupan perdagangan kemarin, indeks Dow Jones turun 0,38%, indeks S&P 500 jatuh 0,32%, dan indeks Nasdaq terkoreksi 0,4%.
Jika benar adanya, keputusan pemerintah China untuk secara total menghilangkan ketergantungan terhadap hardware dan software buatan negara lain patut dicurigai bukan hanya karena perang dagang yang sedang berkecamuk dengan AS.
Perkembangan tersebut patut dicurigai semakin menegaskan ketidaksenangan China terhadap dukungan yang diberikan oleh Presiden AS Donald Trump terhadap demonstrasi di Hong Kong.
Belum lama ini, Trump resmi menandatangani dua RUU terkait demonstrasi di Hong Kong yang pada intinya memberikan dukungan bagi para demonstran di sana.
RUU pertama akan memberikan mandat bagi Kementerian Luar Negeri AS untuk melakukan penilaian terkait dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Hong Kong dalam mengatur wilayahnya sendiri. Jika China terlalu banyak mengintervensi Hong Kong sehingga membuat kekuasaan untuk mengatur wilayahnya sendiri menjadi lemah, status spesial yang kini diberikan oleh AS terhadap Hong Kong di bidang perdagangan bisa dicabut.
Sebagai informasi, status spesial yang dimaksud membebaskan Hong Kong dari bea masuk yang dibebankan oleh AS terhadap produk-produk impor asal China. RUU pertama tersebut juga membuka kemungkinan dikenakannya sanksi terhadap pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Hong Kong.
Sementara itu, RUU kedua akan melarang penjualan dari perlengkapan yang selama ini digunakan pihak kepolisian Hong Kong dalam menghadapi demonstran, gas air mata dan peluru karet misalnya.
China pun pada akhirnya geram dengan tindakan AS tersebut. China resmi menjatuhkan sanksi ke AS dengan membatalkan kunjungan kapal perang AS dan memberi sanksi kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO) asal negeri Paman Sam.
"Sebagai respons dari kelakuan yang tidak berdasar dari AS, pemerintah China telah memutuskan tidak memberi izin pada kapal perang AS untuk berlabuh di Hong Kong," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hau Chunying, dikutip dari AFP.
Bahkan, Global Times selaku media yang dimiliki oleh Partai Komunis China memberitakan bahwa Beijing akan segera mempublikasikan sanksi terhadap perusahaan-perusahaan asal AS, seperti dilansir dari Bloomberg. Global Times melaporkan bahwa pembahasan terkait dengan kebijakan tersebut dipercepat guna merespons dukungan yang diberikan oleh AS terhadap demonstrasi di Hong Kong.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article China Blacklist Microsoft Cs, Wall Street Akan Terjun Bebas?
