Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang tahun ini, terlepas dari berkecamuknya perang dagang AS-China, bursa saham AS alias Wall Street sukses menorehkan kinerja yang ciamik.
Terhitung sejak akhir tahun 2018 hingga penutupan perdagangan kemarin (9/12/2019), indeks Dow Jones telah menguat sebesar 19,64%, indeks S&P 500 meroket 25,1%, dan indeks Nasdaq Composite melejit 29,94%.
Apresiasi yang sudah begitu signifikan tersebut tentu patut mendapatkan perhatian pelaku pasar saham di seluruh dunia. Pasalnya, pasar saham AS merupakan kiblat dari pasar saham dunia. Ketika ada aksi ambil untung dengan intensitas yang besar di bursa saham AS, bursa saham global akan ikut mendapatkan tekanan.
Sejatinya, bulan Desember merupakan bulan yang begitu bersahabat bagi Wall Street. Dalam 18 tahun terakhir, indeks S&P 500 yang merupakan indeks saham terbaik guna merepresentasikan pergerakan pasar saham AS hanya membukukan imbal hasil negatif secara bulanan di bulan Desember sebanyak enam kali.
Namun, pergerakan Wall Street pada Desember 2018 perlu diwaspadai. Kala itu, indeks S&P 500 ambruk hingga 9,18% jika dibandingkan posisi per November 2018. Pada Desember 2018, eskalasi perang dagang AS-China membuat pelaku pasar melakukan aksi jual dengan intensitas yang begitu besar di bursa saham AS, terlepas dari fakta bahwa biasanya bulan Desember merupakan bulan yang bersahabat bagi bursa saham AS.
Wajar jika eskalasi perang dagang AS-China membuat pelaku pasar saham AS ketar-ketir. Pasalnya, sebagai negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di planet bumi, China merupakan elemen krusial bagi perekonomian AS. Nilai perdagangan serta investasi antar kedua negara begitu besar dan kehadiran perang dagang praktis mengancam laju perekonomian keduanya.
Untuk diketahui, dalam perang dagang antar dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia yang telah berlangsung selama lebih dari satu setengah tahun tersebut, AS telah mengenakan bea masuk tambahan bagi senilai lebih dari US$ 500 miliar produk impor asal China, sementara Beijing membalas dengan mengenakan bea masuk tambahan bagi produk impor asal AS senilai kurang lebih US$ 110 miliar.
Nah, kini perang dagang AS-China berpotensi kembali tereskalasi dan merontokkan Wall Street.
Financial Times melaporkan bahwa Partai Komunis China telah memerintahkan seluruh kantor pemerintahan untuk secara total menghilangkan ketergantungan terhadap perangkat keras (
hardware) dan perangkat lunak (
software) buatan negara lain dalam jangka waktu tiga tahun, seperti dilansir dari CNBC International.
Layaknya formasi di permainan sepak bola, kebijakan ini disebut dengan istilah "3-5-2". Hal ini lantaran penggantian
hardware dan
software buatan negara lain tersebut akan dilakukan secara bertahap, tepatnya 30% pada tahun 2020, 50% pada tahun 2021, dan 20% pada tahun 2022, tulis Financial Times dalam pemberitaannya.
Pemberitaan dari Financial Times tersebut mengutip sebuah publikasi dari sekuritas asal China yang bernama China Securities. Analis di China Securities memproyeksikan bahwa sebanyak 20 hingga 30 juta
hardware di China perlu untuk diganti guna memenuhi kebijakan tersebut.
Menurut China Securities, perintah untuk secara total menghilangkan ketergantungan terhadap
hardware dan
software buatan negara lain datang pada awal tahun ini. Walaupun tak ada pengumuman yang disampaikan terkait dengan kebijakan ini kepada publik, dua perusahaan keamanan siber (
cybersecurity) menginformasikan kepada Financial Times bahwa klien-klien mereka yang merupakan bagian dari pemerintah China telah menjelaskan kebijakan tersebut kepada mereka.
Jika benar adanya, keputusan pemerintah China untuk secara total menghilangkan ketergantungan terhadap
hardware dan
software buatan negara lain patut dicurigai bukan hanya karena perang dagang yang sedang berkecamuk dengan AS.
Perkembangan tersebut patut dicurigai semakin menegaskan ketidaksenangan China terhadap dukungan yang diberikan oleh Presiden AS Donald Trump terhadap demonstrasi di Hong Kong.
Belum lama ini, Trump resmi menandatangani dua RUU terkait demonstrasi di Hong Kong yang pada intinya memberikan dukungan bagi para demonstran di sana.
RUU pertama akan memberikan mandat bagi Kementerian Luar Negeri AS untuk melakukan penilaian terkait dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Hong Kong dalam mengatur wilayahnya sendiri. Jika China terlalu banyak mengintervensi Hong Kong sehingga membuat kekuasaan untuk mengatur wilayahnya sendiri menjadi lemah, status spesial yang kini diberikan oleh AS terhadap Hong Kong di bidang perdagangan bisa dicabut.
Sebagai informasi, status spesial yang dimaksud membebaskan Hong Kong dari bea masuk yang dibebankan oleh AS terhadap produk-produk impor asal China. RUU pertama tersebut juga membuka kemungkinan dikenakannya sanksi terhadap pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Hong Kong.
Sementara itu, RUU kedua akan melarang penjualan dari perlengkapan yang selama ini digunakan pihak kepolisian Hong Kong dalam menghadapi demonstran, gas air mata dan peluru karet misalnya.
Merespons pemberitaan tersebut, harga saham Microsoft melemah 0,26% pada perdagangan kemarin (9/12/2019).
Untuk diketahui, walaupun kantor pemerintahan China kebanyakan menggunakan Personal Computer (PC) produksi dalam negeri seperti Lenovo, software yang digunakan tetaplah Microsoft.
Kantor pemerintahan China juga diketahui menggunakan hardware buatan Dell dan Hewlett Packard (HP) yang berasal dari Negeri Paman Sam. Sementara itu, PC rakitan Lenovo juga menggunakan prosesor Intel yang lagi-lagi berasal dari AS.
Hingga kini, China belum memiliki alternatif terhadap Windows besutan Microsoft yang merupakan operating system untuk PC paling populer di dunia. Pada tahun ini, sejatinya Huawei yang merupakan raksasa telekomunikasi asal China merilis HarmonyOS yang merupakan operating system besutannya sendiri, namun hingga kini belum jelas apakah operating system tersebut akan bisa digunakan untuk kepentingan pemerintah.
Pada penutupan perdagangan kemarin, harga saham HP jatuh 0,15%, sementara harga saham Intel melemah 0,49%.
Seiring dengan koreksi yang dialami oleh saham-saham perusahaan teknologi asal AS, Wall Street menutup perdagangan kemarin di zona merah. Pada penutupan perdagangan kemarin, indeks Dow Jones turun 0,38%, indeks S&P 500 jatuh 0,32%, dan indeks Nasdaq terkoreksi 0,4%.
Memang, koreksi yang dialami oleh saham-saham perusahaan teknologi asal AS pada perdagangan kemarin terbilang tipis saja. Jangankan 1% lebih, 0,5% pun tak sampai.
Namun, pelaku pasar tak bisa bernafas lega dulu. Pasalnya, sejauh ini pemberitaan yang ada baru menyebutkan bahwa larangan pengunaan hardware dan software buatan negara lain hanya akan berlaku bagi kantor-kantor pemerintahan China dan bukan untuk masyarakat umum alias konsumer.
Nah, yang akan menjadi masalah adalah jika pelarangan tersebut juga berlaku bagi masyarakat umum. Sudah bukan rahasia umum jika China kini berfokus ke bidang teknologi guna menjadikannya pemain nomor satu di dunia.
Sejauh ini, merek-merek besar penguasa pasar ponsel pintar di Indonesia pun banyak yang berasal dari China seperti Xiaomi, Oppo, Vivo, dan Realme.
Mengingat banyak hal sudah terjadi di antara AS dan China kala keduanya terlibat dalam perang dagang selama lebih dari satu setengah tahun, tentu bukan tak mungkin bahwa China akan secara luas melarang pengunaan hardware dan software buatan negara lain, khususnya AS.
Sekedar mengingatkan, pada Mei 2019 Trump mendeklarasikan kondisi darurat nasional di sektor teknologi melalui sebuah perintah eksekutif. Dengan aturan itu, Menteri Perdagangan Wilbur Ross menjadi memiliki wewenang untuk memblokir transaksi dalam bidang teknologi informasi atau komunikasi yang menimbulkan risiko bagi keamanan nasional AS.
Bersamaan kebijakan ini, Huawei Technologies dan 68 entitas yang terafiliasi dengan Huawei Technologies dimasukkan ke dalam daftar perusahaan yang dilarang membeli perangkat dan komponen dari perusahaan AS tanpa persetujuan pemerintah.
Kemudian pada Agustus 2019, pemerintah AS memutuskan untuk menambah daftar perusahaan yang masuk ke dalam daftar hitam, yakni sebanyak 46 perusahaan yang terafiliasi dengan Huawei Technologies. Alasannya, mereka dianggap berisiko untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan keamanan nasional atau arah kebijakan luar negeri dari AS.
Jadi, peluang bahwa China akan secara luas melarang pengunaan hardware dan software buatan AS jelas tidak bisa dikesampingkan. Langkah ini bisa jadi akan menjadi jawaban China atas ‘hukuman’ yang diberikan oleh AS kepada Huawei.
Melansir data yang dipublikasikan oleh StatCounter, Windows menguasai sebesar 32,53% dari total pangsa pasar operating system di China per November 2019. Namun, seperti yang sudah disebutkan, data tersebut merupakan data pangsa pasar operating system sehingga ikut memasukkan operating system untuk ponsel pintar.
Per November 2019, Android menguasai sebesar 51,77% dari total pangsa pasar operating system di China, sementara iOS menguasai sebesar 10,84%.
Jika operating system untuk ponsel pintar dikeluarkan dari data, menurut perhitungan Tim Riset CNBC Indonesia, Windows menguasai sebesar 87,03% dari total pangsa pasar operating system untuk PC di China per November 2019.
Bagi indeks S&P 500, saham-saham perusahaan teknologi seperti Microsoft, HP, dan Intel tentu merupakan elemen yang sangat penting, seiring dengan kapitalisasi pasarnya yang besar. Untuk diketahui, saham Dell tidak termasuk ke dalam saham yang ikut membentuk indeks S&P 500.
Per penutupan perdagangan kemarin, kapitalisasi pasar Microsoft, HP, dan Intel adalah masing-masing senilai US$ 1,15 triliun, US$ 30,33 miliar, dan US$ 245,91 miliar.
Kuatnya pengaruh saham-saham tersebut terhadap pergerakan indeks S&P 500 dibuktikan oleh analisis regresi. Data yang digunakan adalah data harian dalam periode Januari 2015-Desember 2019.
Dari grafik di atas, terlihat bahwa saham Microsoft, HP, dan Intel memiliki pengaruh yang kuat terhadap indeks S&P 500. Saham Microsoft misalnya, setiap kenaikan harga saham Microsoft sebesar 1 poin, maka indeks S&P 500 akan naik sebesar 0,631 poin. Sebaliknya, ketika harga saham Microsoft turun sebesar 1 poin, maka indeks S&P 500 akan turun sebesar 0,631 poin.
Jadi, sekali lagi, pelaku pasar saham dunia, termasuk Indonesia, patut berhati-hati. Pasalnya, ada kemungkinan bahwa langkah keras China terhadap perusahaan-perusahaan teknologi asal AS (jika benar terealisasi) akan menjadi awal keruntuhan Wall Street, yang pada akhirnya tentu akan menekan kinerja bursa saham global dengan signifikan.
TIM RISET CNBC INDONESIA