
Ikuti Jejak Bursa Asia, IHSG ke Zona Merah

Dari dalam negeri, sentimen negatif bagi pasar saham datang dari rilis angka inflasi yang berada di bawah ekspektasi. Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa sepanjang bulan November terjadi inflasi sebesar 0,14% secara bulanan (month-on-month), sementara inflasi secara tahunan (year-on-year) tercatat di level 3%.
Inflasi pada bulan November berada di bawah konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia. Median dari 12 ekonom yang ikut berpartisipasi dalam pembentukan konsensus memproyeksikan tingkat inflasi secara bulanan di level 0,2%, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan berada di angka 3,065%.
Lantas, lagi-lagi inflasi Indonesia berada di bawah ekspektasi. Sebelumnya pada bulan Oktober, BPS mencatat bahwa terjadi inflasi sebesar 0,02% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,13%.
Rendahnya inflasi di tanah air lantas memberi indikasi bahwa konsumsi masyarakat Indonesia sedang berada di bawah tekanan. Apalagi, data penjualan ritel yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI) ikut mengonfirmasi lemahnya konsumsi masyarakat.
Ya, potret lemahnya konsumsi masyarakat Indonesia juga bisa didapati dari data penjualan barang-barang ritel. Sepanjang September 2019, penjualan barang-barang ritel tercatat hanya tumbuh tipis sebesar 0,7% secara tahunan (year-on-year/YoY). Capaian tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama tahun sebelumnya (September 2018) kala penjualan barang-barang ritel mampu tumbuh hingga 4,8% secara tahunan.
Sebagai catatan, sudah sedari bulan Mei pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3% YoY.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)
