Diwarnai Ledakan di Monas, IHSG Mulai Kesulitan Menguat

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
03 December 2019 09:34
Diwarnai Ledakan di Monas, IHSG Mulai Kesulitan Menguat
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan kedua di bulan Desember, Selasa (3/12/2019), di zona merah.

Pada pembukaan perdagangan, IHSG melemah 0,17% ke level 6.119,90. Pada pukul 09:20 WIB, IHSG telah berbalik arah ke zona hijau. Indeks saham acuan di Indonesia tersebut menguat tipis 0,07% ke level 6.134,24.

IHSG terlihat mulai kesulitan untuk menguat pasca sebelumnya sudah mencetak apresiasi selama dua hari beruntun.

Kinerja IHSG pada hari ini berbanding terbalik dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang justru sedang bergerak di zona merah. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei turun 1,03%, indeks Shanghai melemah 0,44%, indeks Hang Seng jatuh 0,73%, indeks Straits Times terkoreksi 0,19%, dan indeks Kospi berkurang 0,83%.

Kesepakatan dagang AS-China yang semakin berwarna abu-abu menjadi faktor yang memantik aksi jual di bursa saham Benua Kuning. Kini, China sudah resmi menjatuhkan sanksi ke AS karena dianggap ikut campur soal demonstrasi yang terjadi di Hong Kong. Sanksi ini berlaku mulai hari Senin (2/12/2019).

China membatalkan kunjungan kapal perang AS dan memberi sanksi kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO) asal negeri Paman Sam.

"Sebagai respons dari kelakuan yang tidak berdasar dari AS, pemerintah China telah memutuskan tidak memberi izin pada kapal perang AS untuk berlabuh di Hong Kong," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hau Chunying, dikutip dari AFP.

Sebelumnya pada hari Rabu waktu setempat (27/11/2019), Trump resmi menandatangani dua RUU terkait demonstrasi di Hong Kong yang pada intinya memberikan dukungan bagi para demonstran di sana.

RUU pertama akan memberikan mandat bagi Kementerian Luar Negeri AS untuk melakukan penilaian terkait dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Hong Kong dalam mengatur wilayahnya sendiri. Jika China terlalu banyak mengintervensi Hong Kong sehingga membuat kekuasaan untuk mengatur wilayahnya sendiri menjadi lemah, status spesial yang kini diberikan oleh AS terhadap Hong Kong di bidang perdagangan bisa dicabut.

Untuk diketahui, status spesial yang dimaksud membebaskan Hong Kong dari bea masuk yang dibebankan oleh AS terhadap produk-produk impor asal China. RUU pertama tersebut juga membuka kemungkinan dikenakannya sanksi terhadap pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Hong Kong.

Sementara itu, RUU kedua akan melarang penjualan dari perlengkapan yang selama ini digunakan pihak kepolisian Hong Kong dalam menghadapi demonstran, gas air mata dan peluru karet misalnya.

Perkembangan tersebut lantas semakin membuat buram prospek ditekennya kesepakatan dagang AS-China. Pada akhir pekan kemarin, Global Times selaku media yang dimiliki oleh Partai Komunis China memberitakan bahwa prioritas utama dari Beijing adalah untuk mendorong AS menghapuskan bea masuk tambahan terhadap produk-produk impor asal China yang sudah dibebankan selama periode perang dagang kedua negara. Pemberitaan tersebut mengutip sumber-sumber yang mengetahui jalannya negosiasi dagang AS-China.

"Sumber-sumber yang mengetahui langsung jalannya negosiasi dagang AS-China memberitahu Global Times pada hari Sabtu (30/11/2019) bahwa AS harus menghapuskan bea masuk tambahan yang saat ini sudah dikenakan, bukan yang akan dikenakan, sebagai bagian dari kesepakatan (dagang tahap satu)," tulis pemberitaan Global Times, seperti dilansir dari CNBC International.

Jika kesepakatan dagang tahap satu gagal diteken, perputaran roda perekonomian AS dan China, berikut dengan perputaran roda perekonomian dunia, akan menjadi semakin lambat.

Dari dalam negeri, sentimen negatif bagi pasar saham datang dari rilis angka inflasi yang berada di bawah ekspektasi. Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa sepanjang bulan November terjadi inflasi sebesar 0,14% secara bulanan (month-on-month), sementara inflasi secara tahunan (year-on-year) tercatat di level 3%.

Inflasi pada bulan November berada di bawah konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia. Median dari 12 ekonom yang ikut berpartisipasi dalam pembentukan konsensus memproyeksikan tingkat inflasi secara bulanan di level 0,2%, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan berada di angka 3,065%.

Lantas, lagi-lagi inflasi Indonesia berada di bawah ekspektasi. Sebelumnya pada bulan Oktober, BPS mencatat bahwa terjadi inflasi sebesar 0,02% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,13%.

Inflasi pada bulan lalu berada di posisi yang lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan adanya inflasi sebesar 0,12% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan sebesar 3,23%.

Rendahnya inflasi di tanah air lantas memberi indikasi bahwa konsumsi masyarakat Indonesia sedang berada di bawah tekanan. Apalagi, data penjualan ritel yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI) ikut mengonfirmasi lemahnya konsumsi masyarakat.

Dengan melihat bursa saham Asia yang sedang berguguran, kehadiran sentimen negatif dari dalam negeri, beserta dengan apresiasi IHSG yang tipis saja, patut diwaspadai bahwa IHSG akan menutup perdagangan hari ini di zona merah.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ank/ank) Next Article Besok AS-China Deal! IHSG Nyaman di Zona Hijau

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular