Rupiah yang Sedang Banyak Masalah...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 December 2019 13:03
Rupiah yang Sedang Banyak Masalah...
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mantap menapaki zona merah. Rilis data domestik sampai harga minyak dunia menjadi beban bagi mata uang Tanah Air.

Pada Senin (2/12/2019) pukul 12:25 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.121. Rupiah melemah 0,15% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.

Kala pembukaan pasar, rupiah masih stagnan di Rp 14.100/US$. Namun selepas itu, rupiah masuk zona merah dan bertahan hingga tengah hari ini.


Harap maklum, sentimen domestik dan eksternal memang sedang tidak kondusif. Dari dalam negeri, pagi tadi dirilis data Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia periode November 2019 yang berada di 48,2. Lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 47,7.

Namun PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Angka di bawah 50 berarti industriawan masih enggan melakukan ekspansi, alias masih kontraktif. PMI manufaktur Indonesia sudah lima bulan beruntun mengalami kontraksi.

"Dengan rata-rata PMI Oktober dan November yang sebesar 48, kami memperkirakan ekonomi Indonesia pada kuartal IV-2019 hanya tumbuh 4,9%. Survei kami menunjukkan permintaan terhadap produk manufaktur masih lemah. Permintaan baru dan penjualan menurun, dan dunia usaha memilih untuk mengurangi tenaga kerja serta menurunkan pembelian bahan baku. Ini memberi gambaran bahwa output ekonomi masih akan lemah dalam beberapa bulan ke depan," jelas Bernard Aw, Principal Economist di IHS Markit, dikutip dari siaran tertulis.


Kemudian pada pukul 11:00 WIB, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi pada November sebesar 0,14% month-on-month (MoM). Sementara inflasi tahunan (year-on-year/YoY) ada di 3%.

Namun yang menjadi kekhawatiran adalah inflasi inti, yang kerap digunakan sebagai indikator konsumsi. Pada November, inflasi inti berada di 3,08% YoY. Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,2% dan menjadi yang terendah sejak April. Sepertinya potret pelemahan konsumsi sudah ada di depan mata.


Data ini seakan menegaskan inflasi domestik yang rendah, karena memang konsumsi dan daya beli sedang bermasalah. Akibatnya, investor pun menjauhi rupiah.


Sentimen eksternal juga tidak membantu rupiah. Salah satunya adalah perkembangan harga minyak.

Pada pukul 12:42 WIB, harga minyak jenis brent melonjak 1,2%. Sementara light sweet melesat 1,16%.

Kenaikan harga si emas hitam terjadi setelah berembus Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) akan memperpanjang program penurunan produksi untuk mendongrak harga. OPEC dan negara-negara produsen lain yang tergabung dalam OPEC+ sepakat menurunkan produksi mencapai 1,2 juta/hari sampai Maret 2020.

OPEC+ akan mengadakan pertemuan di Wina (Austria) pada 5-6 Desember. Menteri Perminyakan Irak Thamer Ghadhban mengungkapkan, OPEC+ akan menaikkan pemotongan produksi menjadi 1,6 juta barel/hari. Pasokan minyak yang menurun membuat harga komoditas ini terangkat.

Kenaikan harga minyak bukan kabar baik bagi rupiah. Kala harga minyak naik, maka biaya impor komoditas ini bisa semakin membengkak. Akibatnya, neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) bakal tertekan. Pada kuartal III-2019, Bank Indonesia (BI) mencatat neraca migas mengalami defisit US$ 2,17 miliar.


Jika defisit transaksi neraca migas makin dalam gara-gara kenaikan impor minyak, maka rupiah akan sulit menguat. Sebab, mata uang Tanah Air kekurangan modal dari sisi ekspor-impor barang dan jasa.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular