Tensi AS-China Kembali Memanas, IHSG Bakal 6 Hari Merah

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
28 November 2019 12:27
Tensi AS-China Kembali Memanas, IHSG Bakal 6 Hari Merah
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pada awal perdagangan sesi I Bursa Efek Indonesia (BEI) hari ini (27/11/2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terlihat mencoba mencatatkan penguatan.

Namun, karena diselimuti oleh sentimen global yang penuh hawa negatif, pada akhir sesi I, IHSG tercatat melemah 0,33% ke level 6.003,26 indeks poin. Jika kondisi ini berlanjut hingga akhir perdagangan, maka IHSG telah menorehkan koreksi 6 hari beruntun, di mana pergerakan ini terakhir kali tercatat pada 20 Maret 2018.

Saham-saham yang turut menekan kinerja IHSG dari sisi nilai transaksi di antaranya PT Envy Technologies Indonesia Tbk/ENVY (-22,48%), PT Indonesia Tobacco Tbk/ITIC (-8,18%), PT Media Nusantara Tbk/MNCN (-4,09%), PT XL Axiata Tbk/EXCL (-3,24%), dan PT Bukit Asam Tbk/PTBA (-3,1%).

Kinerja bursa saham acuan Indonesia sejalan dengan rekannya di kawasan Asia yang kompak bergerak ke selatan. Indeks Straits Times melemah 0,33%, indeks Shanghai melemah 0,31%, indeks Kospi turun 0,15%, indeks Nikkei turun 0,11%, dan indeks Hang Seng terkoreksi tipis 0,05%.

Bursa saham acuan Benua Kuning mayoritas bergerak ke selatan karena keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dianggap berisiko menghidupkan kembali 'bara' yang hampir padam dari friksi dagang antara AS dengan China.

Kemarin (27/11/2019), Trump baru saja menandatangani Undang-undang (UU) penegakan hak asasi manusia dan demokrasi di Hong Kong yang diusulkan oleh Kongres AS pekan lalu. Trump juga mengesahkan UU yang melarang penjualan amunisi seperti gas air mata dan peluru karet ke polisi Hong Kong.

"Saya meneken UU ini sebagai bentuk rasa hormat kepada Presiden Xi (Jinping), China, dan rakyat Hong Kong. UU ini disahkan dengan harapan pemimpin dan perwakilan China di Hong Kong dapat mengatasi perbedaan serta menciptakan perdamaian dan kemakmuran bagi semua," kata Trump melalui keterangan tertulis yang dirilis Gedung Putih, dilansir dari CNBC International.

Beberapa jam setelah pernyataan tersebut dirilis, Kementerian Luar Negeri China langsung memberikan respon yang dengan tegas mengecam keputusan Trump dan berulang kali mengabaikan peringatan yang telah disampaikan Beijing.

"Kami menyarankan AS untuk tidak bertindak sewenang-wenang atau China harus dengan tegas melawan, dan AS harus menanggung segala konsekuensi yang dihasilkan," tulis Kementerian Luar Negeri China dalam situs resminya, merujuk pada terjemahan CNBC International.

Pihak Negeri Tiongkok juga menyampaikan bahwa Washington seharusnya tidak meremehkan komitmen China untuk menegakkan kebijakan satu negara dua sistem.

"Kami secara resmi mengatakan kepada AS dan sejumlah politisi oposisi di Hong Kong yang mengikuti jejak AS untuk tidak meremehkan tekad kami untuk melindungi kemakmuran dan stabilitas Hong Kong,

Jangan meremehkan kepercayaan kami untuk melindungi 'kebijakan satu negara, dua sistem' dan jangan meremehkan kemampuan dan strategi kami dalam melindungi kedaulatan, keselamatan, pertumbuhan, dan hak-hak negara kami," tulis pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri China.

Respon dari pihak China sudah dengan jelas menunjukkan indikasi amarah, dan apabila Beijing ngambek risiko proses negosiasi dagang terhambat sangat besar. Bisa saja AS-China gagal menyepakati perjanjian damai dagang Fase I.
Bursa saham acuan Ibu Pertiwi tidak hanya mendapat tekanan dari pesimisme hubungan dagang AS, tapi juga dari potensi penguatan dolar AS (greenback) yang mengakibatkan aset keuangan berbasis rupiah menjadi kurang menarik di hadapan investor.

Greenback berpeluang menguat ditopang oleh data pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 Negeri Paman Sam yang lebih baik dari perkiraan sebelumnya.

Pembacaan kedua angka pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 direvisi ke atas menjadi 2,1% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized). Lebih baik ketimbang pembacaan pertama yaitu 1,9% dan kuartal sebelumnya yang sebesar 2%.

Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) cabang Atlanta pun mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2019 dari 0,4% menjadi menjadi 1,7%.

"Setelah rilis data hari ini, perkiraan untuk pertumbuhan konsumsi dan investasi berubah dari 1,7% dan -3% menjadi 2% dan -1,7%. Sementara kontribusi net ekspor ke pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) naik dari -0,2 poin persentase menjadi 0,39 poin persentase," sebut The Fed Atlanta dalam keterangan tertulis.

Revisi ke atas cukup mengejutkan, dan membuat pelaku pasar lebih optimistis menghadapi kuartal IV-2019. "Kuartal IV sepertinya lebih baik," ujar Michael Feroli, Ekonom JP Morgan yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.

Belum lagi pemesanan produk tahan lama (durable goods) buatan AS naik 0,6% MoM pada Oktober. Membaik dibandingkan September yang turun 1,4%.

Data ini mendukung perkiraan pasar bahwa The Fed akan menghentikan siklus penurunan suku bunga acuan untuk sementara waktu. Mengutip CME Fedwatch, kans Federal Funds Rate bertahan di 1,5-1,75% dalam rapat The Fed 11 Desember mencapai 94,8%. Naik dari sehari sebelumnya yaitu 94,1%.

"Sudah sangat jelas, kekuatan dolar AS ditopang oleh data-data yang ada. The Fed sudah memberi sinyal bahwa siklus penurunan suku bunga sudah selesai untuk tahun ini, dan data-data yang positif memberi validasi ke arah sana," kata Alfonso Esparza, Senior Currency Analyst di OANDA yang berbasis di Toronto (Kanada), seperti dikutip dari Reuters.

Suku bunga AS yang kemungkinan besar tidak akan dipangkas, membuat greenback kembali menarik perhatian investor terutama mengingat investasi pada aset keuangan berbasis dolar termasuk safe haven.

Alhasil aset-aset keuangan berbasis rupiah menjadi sepi peminat yang aksi beli di pasar saham domestik menjadi tertekan.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular