Calon Dirut PLN

Usai Rudiantara, Giliran Sinthya Roesly Dikuliti Dahlan Iskan

Houtmand P Saragih & Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
28 November 2019 09:39
Usai Rudiantara, Giliran Sinthya Roesly Dikuliti Dahlan Iskan
Foto: Penandatanganan Perjanjian Kerjasama Penjaminan Kredit antara Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dengan PT Bank Permata Tbk. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Jakarta, CNBC Indonesia - "Ups, ada calon baru lagi." Demikian Dahlan Iskan membuka tulisannya yang dipublikasikan di blog pribadinya disway.id.

Dahlan tampaknya belum berhenti menyoal soal calon direktur utama (dirut) PT PLN (Persero), perusahaan setrum negara yang pernah dipimpinnya pada satu dekade lalu atau pada 2009. 

Kali ini Dahlan menyebutkan nama baru, setelah sebelumnya mengulas Rudiantara, mantan Menkominfo, sebagai calon dirut PLN. Namanya Sinthya Roesly.

Sinthya adalah Ketua Dewan Direktur merangkap Direktur Eksekutif Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank.

Setelah Rudiantara, Giliran Sinthiya Dikuliti Dahlan IskanFoto: Penandatanganan Perjanjian Kerjasama Penjaminan Kredit antara Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dengan PT Bank Permata Tbk. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Sebelum di LPEI, Sinthya merupakan Direktur Utama PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) atau PII pada periode 2009 hingga 2017. Ia rupanya berkarir di PLN cukup lama dari tahun 1993 sebelum ke PII.

Seperti apa kesan Dahlan terhadap Sinthya, berikut penuturannya yang dirangkum dari blog pribadinya:

Sinthya Lima 'i' 

Ups, ada calon baru lagi. Untuk Direktur Utama PLN yang lama kosong: Sinthya Roesly.

Mana yang lebih bagus? Rudiantara atau Sinthya? Saya harus mikir agak lama: dua-duanya sangat bagus. Untuk PLN.

Rudiantara sangat bagus --kalau ia mau turun pangkat (DI's Way:Antara Rudiantara). Sinthya sangat bagus --kalau dia masih cinta listrik.

Saya pun harus kembali memuji pada orang yang menemukan nama Sinthya Roesly ini.

Radar saya tidak sampai ke nama itu. Mungkin karena saya memang tidak pernah mikir lagi siapa harus jadi apa.

Mungkin juga karena saya melihat Sinthya sudah sangat mencintai dunia barunya: perbankan.

Dia sudah jadi banker. Sinthya sudah menjadi Dirut Bank Exim. Yang nama resminya adalah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Sejak enam tahun lalu.

Bahkan baru saja Sinthya diangkat lagi. Tiga bulan lalu. Untuk masa jabatan kedua di bank itu.

Tapi cinta pertama Sinthya memang adalah listrik.

Sinthya adalah insinyur listrik dari Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.

Ketika di PLN tugasnya di bidang yang sangat listrik: P3B. Saya sudah lupa singkatan apa itu. Orang teknik, kalau bikin singkatan, tidak mempertimbangkan sastra.

Yang saya tahu --dan ini tertancap dalam otak saya-- P3B adalah otaknya PLN.

Seluruh gardu induk adalah urusan P3B. Seluruh aliran listrik urusannya di bawah P3B. Listrik mati P3B-lah yang sering jadi tertuduh --meski padahal penyebabnya sengon.

P3B pula yang berkuasa: listrik dari pembangkit mana harus dialirkan ke mana. Kalau gardu induk A bermasalah harus dicari jalan: aliran listrik dialihkan ke mana --lewat gardu yang mana lagi.

P3B adalah guru listrik saya. Sampai saya tahu bahwa listrik itu ternyata tidak bisa disebut dengan istilah 'mengalir'. Listrik itu ternyata potongan-potongan yang dikirim per potong. Hanya saja kecepatan kirimnya begitu tinggi sehingga terlihat seperti mengalir.

Waktu itu belum begitu populer listrik jenis lain: solar cell.

Seharusnya saya sudah tahu yang seperti itu sejak SMA --kalau saja saya bukan lulusan madrasah.

Setelah berkarir matang di P3B Sinthya pindah ke bagian keuangan. Bagi Sinthya urusan keuangan itu kecil --dibanding listrik. Dengan cepat dia mendalami ilmu keuangan. Prestasinyi [artikel aslinya menggunakan 'nyi'] di bidang keuangan juga menonjol.

Menteri Keuangan pun tahu ada mutiara keuangan di PLN. Lantas diminta menjadi salah satu direktur di Bank Exim. Belakangan jadi dirutnya.

Seperti juga Rudiantara Sinthya sudah 10 tahun tidak di PLN. Dia tidak terlibat dalam intrik ataupun kubu. Dia bisa lebih jernih melihat PLN.

Maka siapa pun di antara Sinthya dan Rudiantara, PLN mendapat harapan baru.

Usia Sinthya juga ideal: 50 tahun. Begitu lulus UI, gadis Riau ini meneruskan S2 di New South Wales, Australia. Gelarnyi master of science. Masih ditambah lagi gelar MBA dari University of Melbourne.

Sinthya bisa dibilang profesional 100 persen. Tidak pernah tengok kanan-kiri.

Itulah kekuatannyi --sekaligus kelemahannyi: apakah politisi akan mendukungnyi.

Kelebihan lainnyi sebenarnya akan saya rahasiakan: 'i' - nya lima!

Jumlah 'i' itu seimbang dengan suaminyi. Yang juga sangat ganteng. Tinggi. Besar. Pintar. Sempurna sebagai lelananging jagad.

Ada satu yang disayangkan teman-teman Sinthya: mengapa anaknyi hanya satu.

Pasangan ideal-sempurna seperti itu harusnya punya anak banyak: untuk memperbaiki generasi baru Indonesia --otak maupun wajah.

(Dahlan Iskan)

Sebelumnya, mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan menuliskan sederet kiprah Rudiantara. Nama yang belakangan disebut-sebut sebagai calon kuat Dirut PLN.

Dahlan menilai, memang sulit mencari dirut baru PLN saat ini. Meski banyak orang hebat di internal PLN, namun menurutnya orang-orang tersebut belum dikenal oleh para pengambil putusan.

"Dikenal itu penting. Untuk diketahui akan bisa dipercaya atau tidak. Terutama kemampuan dan integritas mereka," kata Dahlan lewat tulisannya yang diunggah melalui Disway.id, Rabu (27/11/2019).

Selain itu, dia menegaskan, memilih dirut perusahaan sekelas PLN memang juga harus mempertimbangkan iklim kerja di dalam perseroan. Iklim tersebut juga bisa meliputi pembelahan kubu-kubu tertentu di antara internal perusahaan.

"Setidaknya Rudiantara tidak terlibat perkubuan itu. Memang ia pernah menjabat Wakil Direktur Utama PLN. Tapi itu sudah 10 tahun lalu. Sebelum ada kubu-kubuan," kata Dahlan.


Di sisi lain, dia mengakui bahwa Rudiantara bukan orang teknik, khususnya elektro. Namun, pengalaman 5 tahun sebagai Wadirut PLN membuat Rudiantara sudah sangat paham masalah PLN, bahkan sampai ke urusan teknis sekalipun.

Dengan demikian, Dahlan sampai menyebut Rudiantara sebagai 'orang dalam' PLN. Betapa tidak, Dahlan melanjutkan, di PLN Rudiantara banyak menangani energi primer.

"Yakni yang menangani pengadaan solar, batu bara, gas, dan sejenisnya. Di zaman ialah PLTGU Muara Tawar berubah total. Dari 100 persen Solar ke 100 persen gas," bebernya.

Langkah itu sekaligus menunjukkan adanya penghematan sekitar Rp 3 triliun setahun. Sayangnya, di era Dahlan menjabat Dirut PLN, Rudiantara tak masuk dalam BOD.

"Padahal, saya menilai ia mampu. Beberapa staf juga mengusulkannya. Tapi saya telanjur menghapus jabatan wadirut. Sedang untuk menjadikannya direktur saya merasa tidak sopan: menurunkan jabatannya."

Terlepas dari itu, Dahlan tetap mengaku salut pada pengambil keputusan yang menyodorkan nama Rudiantara. Ia bilang, pemilihan Rudiantara bisa menghindarkan PLN dari persoalan tarik-menarik.

"Sesekali alumni Universitas Padjadjaran Bandung menjabat Dirut PLN. Memang bukan dari fakultas tekniknya, tapi dari jurusan statistik. Tidak terlalu jauh. Pasti lebih baik dari sekadar lulusan pesantren seperti saya," Dahlan memberikan rekomendasi.

Terlebih, Dahlan menyebut, Rudiantara pernah menjadi Wadirut Semen Gresik. Pernah juga jadi CEO banyak perusahaan besar.

Dengan catatan itu, dikatakan bahwa naluri bisnis Rudiantara sangat baik. Dia mengklaim, keahlian Rudiantara di bidang keuangan juga istimewa.

"Di PLN itu titik beratnya ”hanya” pada leadership. Ahli-ahlinya luar biasa banyak. Yang lebih berat adalah masalah politiknya. Saya bisa bercerita banyak soal ini."

Ia mengaku salut dengan Menteri BUMN Erick Thohir jika benar nama Rudiantara diajukan.

"Saya justru salut kepada orang yang punya ide menempatkan mantan menteri itu ke Dirut PLN. Kok terpikir ya," kata Dahlan.

Lebih lanjut, Dahlan juga mengulas anggapan Rudiantara turun kelas dari sebelumnya Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Dahlan menilai, ejekan bahwa dari Menteri Kominfo ke Dirut PLN itu turun kelas pasti datang dari orang yang sangat sadar-kelas.

"Rudiantara tidak harus merasa turun kelas. Harus merasa naik kelas," tegas Dahlan memberikan pandangan untuk Rudiantara.

Seolah mendukung pencalonan itu, Dahlan tak merekomendasikan kepada Rudiantara untuk menolak tawaran. Dia berpendapat, dari Menteri Kominfo ke Direktur Utama PLN harusnya tidak termasuk yang bisa disindir sebagai turun pangkat.

"Memang ia kan Menteri Komunikasi dan Informatika. Tapi kan mantan. Tentu ia harus mau ditugaskan menjadi Dirut PLN," serunya.

Dahlan lantas bercerita tentang pengalamannya sebagai Dirut PLN. Kala itu, Dahlan berkesempatan melakukan kunjungan kerja ke Tiongkok.

"Kalau ke Tiongkok saya sering diperkenalkan sebagai menteri kelistrikan," urai Dahlan.

Meski menolak dipanggil menteri, namun Dahlan akhirnya mendapatkan penjelasan bahwa di Tiongkok, kelas Dirut PLN disebut sebagai menteri.

"Terserah saja," lanjut pria kelahiran Jawa Timur itu.

"PLN memang di bawah menteri. Secara struktur. Demikian juga Pertamina. Tapi dirut dua BUMN tersebut bisa dibilang tidak kalah kelas dengan menteri," katanya.

Untuk mengukur hal tersebut, Dahlan bilang perlu melihat terlebih dahulu kelas kementerian dan perusahaan BUMN-nya. Dia menegaskan bahwa banyak kementerian yang anggaran jauh di bawah PLN atau Pertamina.

Dahlan sampai memberikan ilustrasi pengalamannya sendiri ketika diangkat jadi Menteri BUMN. Kala itu, Dahlan lebih dulu menjadi Dirut PLN sebelum masuk kabinet.

"Saya yang justru pernah turun pangkat. Saat dipindahkan dari jabatan Dirut PLN menjadi Menteri BUMN," tandasnya.

Dia menambahkan, pengakuan turun pangkat ini lantaran perbedaan gaji yang diperoleh. Dirut PLN gajinya Rp 170 juta/bulan. Sedangkan Menteri BUMN gajinya Rp 19 juta/bulan.

"Untung penurunan itu tidak terasa --saya tidak pernah melihat keduanya. Dari segi ini, siapa bilang Pak Rudiantara turun pangkat," lanjutnya.

Belum lagi, PLN punya banyak proyek dengan nilai fantastis. Proyek-proyek tersebut bisa jadi sebelumnya tidak sebanding dengan yang ada di Kementerian Kominfo.

"Terlalu banyak proyek di PLN. Terlalu besar-besar nilai proyeknya. Anggaran di PLN jauh lebih besar dari kementerian Kominfo. Dari segi anggaran Rudiantara jelas naik pangkat," urai Dahlan.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular