
Iklim Bisnis Jerman Membaik, Euro Tetap Saja Melempem
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
25 November 2019 19:53

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar euro kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (25/11/19), melanjutkan penurunan tiga hari beruntun sebelumnya. Pada pukul 19:36 WIB, euro diperdagangkan di level US$ 1,1012, melemah 0,09% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Data yang dirilis hari ini oleh institusi Ifo menunjukkan pelaku usaha melihat dalam enam bulan ke depan perekonomian Jerman akan sedikit membaik. Angka iklim bisnis untuk enam bulan ke depan yang dirilis Ifo sebesar 95, lebih baik dari bulan lalu di level 94,7.
Data yang dirilis oleh Ifo juga menunjukkan iklim bisnis saat ini juga sedikit lebih baik dari bulan lalu, yang tercermin dari kenaikan angka indeks dari 97,8 menjadi 97,9.
Meski demikian, data tersebut belum mampu mendongkrak kinerja euro. Mata uang 19 negara ini masih tertekan akibat rilis data aktivitas bisnis (manufaktur dan jasa) yang berkebalikan. Indeks yang dirilis oleh Markit ini menunjukkan sektor manufaktur mulai membaik, tetapi sektor jasa kini justru mengalami pelemahan.
Jerman misalnya, negara dengan nilai ekonomi terbesar di Eropa, sektor manufakturnya membaik cukup signifikan di bulan ini. Indeks Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis Markit menunjukkan angka 43,8 pada bulan November, lebih baik dari bulan sebelumnya 42,1. Tetapi indeks sektor jasa justru menurun menjadi 51,3 dari sebelumnya 51,6.
Indeks dari Markit ini menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawah 50 berarti kontraksi atau penurunan aktivitas, sementara di atas 50 menunjukkan ekspansi atau aktivitas yang meningkat.
Pola seperti itu terjadi di zona euro secara keseluruhan, indeks aktivitas manufaktur di bulan ini naik menjadi 46,6 dari sebelumnya 45,9, sementara sektor jasa melambat menjadi 51,5 dari sebelumnya 52,2. Alhasil indeks komposit (gabungan manufaktur dan jasa) zona euro turun menjadi 50,3 dari sebelumnya 50,6.
Selain kondisi ekonomi riil yang belum membaik, euro juga melemah akibat pernyataan bos baru European Central Bank (ECB) Christine Lagarde Jumat (22/11/19) lalu.
Dalam pidato perdananya, mantan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) ini memang belum banyak menyinggung mengenai kebijakan moneter yang akan ECB di bawah kepemimpinannya. Lagarde hanya memastikan ECB akan tetap melanjutkan perannya dalam mendukung perekonomian.
Kepastian yang diberikan Lagarde diinterpretasikan oleh pasar sebagai sikap mendukung digelontorkannya stimulus moneter berupa program pembelian aset (obligasi dan surat berharga) atau yang dikenal dengan Quantitative Easing (QE).
Bulan ini ECB mengaktifkan lagi QE senilai 20 miliar euro per bulan. Program ini sudah dihentikan akhir tahun lalu saat kondisi ekonomi blok 19 negara membaik. Kini dengan kondisi ekonomi memburuk, berdasarkan pengumuman ECB September lalu, QE diaktifkan lagi kali ini tanpa batas waktu, yang berarti akan terus dilakukan sampai ekonomi membaik.
QE menyebabkan pasar dibanjiri likuiditas yang besar, hal inilah yang membuat nilai tukar euro mengalami pelemahan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Ekonomi AS Makin Terpuruk, Euro Berbalik Menguat 0,5%
Data yang dirilis hari ini oleh institusi Ifo menunjukkan pelaku usaha melihat dalam enam bulan ke depan perekonomian Jerman akan sedikit membaik. Angka iklim bisnis untuk enam bulan ke depan yang dirilis Ifo sebesar 95, lebih baik dari bulan lalu di level 94,7.
Data yang dirilis oleh Ifo juga menunjukkan iklim bisnis saat ini juga sedikit lebih baik dari bulan lalu, yang tercermin dari kenaikan angka indeks dari 97,8 menjadi 97,9.
Meski demikian, data tersebut belum mampu mendongkrak kinerja euro. Mata uang 19 negara ini masih tertekan akibat rilis data aktivitas bisnis (manufaktur dan jasa) yang berkebalikan. Indeks yang dirilis oleh Markit ini menunjukkan sektor manufaktur mulai membaik, tetapi sektor jasa kini justru mengalami pelemahan.
Jerman misalnya, negara dengan nilai ekonomi terbesar di Eropa, sektor manufakturnya membaik cukup signifikan di bulan ini. Indeks Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis Markit menunjukkan angka 43,8 pada bulan November, lebih baik dari bulan sebelumnya 42,1. Tetapi indeks sektor jasa justru menurun menjadi 51,3 dari sebelumnya 51,6.
Indeks dari Markit ini menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawah 50 berarti kontraksi atau penurunan aktivitas, sementara di atas 50 menunjukkan ekspansi atau aktivitas yang meningkat.
Pola seperti itu terjadi di zona euro secara keseluruhan, indeks aktivitas manufaktur di bulan ini naik menjadi 46,6 dari sebelumnya 45,9, sementara sektor jasa melambat menjadi 51,5 dari sebelumnya 52,2. Alhasil indeks komposit (gabungan manufaktur dan jasa) zona euro turun menjadi 50,3 dari sebelumnya 50,6.
Selain kondisi ekonomi riil yang belum membaik, euro juga melemah akibat pernyataan bos baru European Central Bank (ECB) Christine Lagarde Jumat (22/11/19) lalu.
Dalam pidato perdananya, mantan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) ini memang belum banyak menyinggung mengenai kebijakan moneter yang akan ECB di bawah kepemimpinannya. Lagarde hanya memastikan ECB akan tetap melanjutkan perannya dalam mendukung perekonomian.
Kepastian yang diberikan Lagarde diinterpretasikan oleh pasar sebagai sikap mendukung digelontorkannya stimulus moneter berupa program pembelian aset (obligasi dan surat berharga) atau yang dikenal dengan Quantitative Easing (QE).
Bulan ini ECB mengaktifkan lagi QE senilai 20 miliar euro per bulan. Program ini sudah dihentikan akhir tahun lalu saat kondisi ekonomi blok 19 negara membaik. Kini dengan kondisi ekonomi memburuk, berdasarkan pengumuman ECB September lalu, QE diaktifkan lagi kali ini tanpa batas waktu, yang berarti akan terus dilakukan sampai ekonomi membaik.
QE menyebabkan pasar dibanjiri likuiditas yang besar, hal inilah yang membuat nilai tukar euro mengalami pelemahan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Ekonomi AS Makin Terpuruk, Euro Berbalik Menguat 0,5%
Most Popular