Ooo, Jadi Ini Penyebab Dolar AS Sudah Tembus Rp 14.100...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 November 2019 10:12
Ooo, Jadi Ini Penyebab Dolar AS Sudah Tembus Rp 14.100...
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah juga terdepresiasi di pasar spot, dan dolar AS sudah menembus kisaran Rp 14.100.

Pada Kamis (21/11/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.112. Rupiah melemah 0,11% dibandingkan posisi hari sebelumnya. Ini membuat rupiah melemah selama empat hari beruntun.

Di perdagangan pasar spot, nasib rupiah pun serupa. Dibuka stagnan di Rp 14.090/US$, rupiah langsung terjerumus ke zona merah.

Pada pukul 09:45 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.110 di mana rupiah melemah 0,14%. Ini adalah posisi terlemah rupiah sejak 18 Oktober.

 

Namun tidak hanya rupiah, hampir seluruh mata uang utama Asia juga melemah di hadapan greenback. Sejauh ini hanya rupee India dan yen Jepang yang mampu menguat.

Namun perlu dicatat pasar keuangan India belum dibuka sehingga rupee masih mencerminkan posisi penutupan perdagangan kemarin. Kala pasar keuangan Negeri Bollywood sudah kick-off, sangat mungkin rupee akan menyusul rupiah dkk ke jalur merah.

Won Korea Selatan menjadi mata uang terlemah di Benua Kuning, Di atas won ada ringgit Malaysia dan rupiah berada di posisi ketiga terbawah.

Berikut 'klasemen' mata uang utama Asia pada pukul 09:47 WIB:

 


Situasi eksternal memang sedang tidak kondusif. Penyebabnya apa lagi kalau bukan perkembangan hubungan AS-China.

Sepertinya asa kesepakatan damai dagang AS-China Fase I semakin pudar. Kedua negara mulai menunjukkan pesimisme bahwa kesepakatan tersebut bisa terjadi dalam waktu dekat.

Christian Whiton, Senior Fellow for Strategy and Trade di Center for the National Interest, mengatakan bahwa satu hal yang mengganjal adalah permintaan China untuk menghapus segala bentuk bea masuk yang sudah diterapkan selama perang dagang. Sebagai informasi, AS telah memberlakukan bea masuk bagi importasi produk China senilai US$ 550 miliar selama perang dagang yang berlangsung lebih dari setahun terakhir.

"Kalau pembicaraan berlangsung mulus, maka kenaikan bea masuk lebih lanjut bisa dibatalkan. Namun kalau tidak, maka AS akan kembali mengenakan bea masuk baru dan proses perundingan berlanjut sampai tahun depan," kata Whiton, dikutip dari Reuters.

Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa proses untuk mencapai kesepakatan Fase I memang berjalan lebih lambat dari perkiraan. "Saya rasa mereka belum mencapai level yang saya inginkan," tegasnya dalam kunjungan kerja di Texas, seperti diberitakan Reuters.


Dari Beijing, Bloomberg memberitakan, seperti dikutip dari Reuters, Wakil Perdana Menteri Liu He menyatakan tetap optimistis perjanjian damai dagang Fase I bisa tercapai. Namun optimisme itu disertai dengan kehati-hatian (cautiously optimistic).

Beberapa sumber menyebut Liu He menyatakan kekhawatiran tersebut dalam sebuah jamuan makan malam. Liu bingung, karena permintaan AS mulai melebar misalnya menyangkut isu penanganan demonstrasi di Hong Kong. Namun pada intinya, Liu masih yakin kesepakatan dagang dengan AS bisa terwujud, masalahnya hanya soal waktu.

Hu Xijin, redaktur di tabloid Global Times yang berafiliasi dengan pemerintah, menyebutkan bahwa hanya sedikit orang di China yang yakin kesepakatan damai dagang AS-China bisa terjadi dalam waktu dekat. "China ingin ada kesepakatan, tetapi bersiap dengan skenario terburuk yaitu perang dagang berlangsung dalam waktu lama," cuit Hu di Twitter.


Awan mendung yang menggelayuti kesepakatan dagang AS-China membuat investor mundur teratur dari aset-aset berisiko. Instrumen aman (safe haven) seperti yen atau emas menjadi buruan utama.




Situasi dalam negeri tidak banyak membantu, karena investor sedang dalam penantian pengumuman suku bunga acuan. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate ditahan di 5%. Demikian pula dengan konsensus dari Reuters dan Bloomberg.


Rapat Dewan Gubernur (RDG) kali ini mencakup kuartal III-2019. BI akan memberikan pembaruan (update) seputar kondisi ekonomi terkini dan arah ke depan.

Jadi selain suku bunga acuan, pelaku pasar juga menantikan kisi-kisi seputar pembacaan BI terhadap prospek perekonomian Tanah Air. Apakah BI akan menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 dan 2020? Apakah posisi (stance) kebijakan moneter masih akan akomodatif?

Berbagai pertanyaan itu akan menemukan jawabannya siang nanti. Selagi belum ada kejelasan, pasar memilih untuk bermain aman, belum ada aksi borong terhadap rupiah.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular