
Banting Tulang Seharian, IHSG Sukses Ditutup Menguat

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan ketiga di pekan ini, Rabu (20/11/2019), di zona merah.
Pada pembukaan perdagangan, IHSG melemah 0,26% ke level 6.136,25. Per akhir sesi satu, koreksi indeks saham acuan di Indonesia adalah sebesar 0,08% ke level 6.147,07.
Beruntung, IHSG berhasil membalikkan keadaan pada penutupan perdagangan sesi dua. Per akhir sesi dua, IHSG menguat 0,05% ke level 6.155,11.
Memudarnya optimisme bahwa AS dan China akan segera meneken kesepakatan dagang tahap satu menjadi faktor yang memantik aksi jual di bursa saham Benua Kuning. Kini, prospek ditekennya kesepakatan dagang tahap satu yang begitu dinanti-nantikan oleh pelaku pasar menjadi berwarna abu-abu.
CNBC International melaporkan bahwa pejabat pemerintahan China kini pesimistis terkait prospek kesepakatan dagang tahap satu. Penyebabnya, China dibuat kesal dengan pernyataan Presiden AS Donald Trump bahwa AS belum menyepakati penghapusan bea masuk tambahan yang sebelumnya dibebankan terhadap produk impor asal China. Padahal, pihak China menganggap bahwa mereka telah mencapai kesepakatan terkait dengan hal tersebut dengan AS.
Pemberitaan tersebut lantas membuat mood pelaku pasar menjadi kurang mengenakan. Untuk diketahui, sebelumnya ada perkembangan yang positif terkait negosiasi dagang AS-China.
Menurut kantor berita Xinhua, Wakil Perdana Menteri China Liu He menggelar perbincangan via sambungan telepon dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer pada akhir pekan kemarin terkait dengan kesepakatan dagang tahap satu, seperti dilansir dari CNBC International.
Xinhua melaporkan bahwa kedua belah pihak mengadakan diskusi yang konstruktif terkait dengan kekhawatiran di bidang perdagangan yang dimiliki masing-masing pihak. Kedua pihak disebut setuju untuk tetap berdialog secara intens. Xinhua juga melaporkan bahwa pembicaraan via sambungan telepon antar negosiator dagang tingkat tinggi dari AS dan China tersebut merupakan permintaan dari pihak AS.
Sejauh ini, bea masuk tambahan yang dikenakan oleh masing-masing negara terbukti sudah menghantam perekonomiannya masing-masing. Belum lama ini, pembacaan awal untuk angka pertumbuhan ekonomi AS periode kuartal III-2019 diumumkan di level 1,9% (QoQ annualized), jauh melambat dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (kuartal III-2018) yang mencapai 3,4%.
Beralih ke China, belum lama ini Beijing mengumumkan bahwa perekonomiannya hanya tumbuh di level 6% secara tahunan pada kuartal III-2019, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 6,1%, seperti dilansir dari Trading Economics. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2019 juga lebih rendah dibandingkan capaian pada kuartal II-2019 yang sebesar 6,2%.
Selain dengan penghapusan bea masuk, kesepakatan dagang tahap satu AS-China diharapkan bisa mengerek laju perekonomian keduanya lantaran ada kemungkinan bahwa kesepakatan tersebut akan membuat AS melunak terhadap perusahaan-perusahaan asal China.
Pada Mei 2019, Trump mendeklarasikan kondisi darurat nasional di sektor teknologi melalui sebuah perintah eksekutif. Dengan aturan itu, Menteri Perdagangan Wilbur Ross menjadi memiliki wewenang untuk memblokir transaksi dalam bidang teknologi informasi atau komunikasi yang menimbulkan risiko bagi keamanan nasional AS.
Bersamaan kebijakan ini, Huawei Technologies dan 68 entitas yang terafiliasi dengan Huawei Technologies dimasukkan ke dalam daftar perusahaan yang dilarang membeli perangkat dan komponen dari perusahaan AS tanpa persetujuan pemerintah.
Dalam keterangan resmi yang diperoleh CNBC Indonesia dari halaman Federal Register, pemerintah AS beralasan bahwa terdapat dasar yang cukup untuk mengambil kesimpulan bahwa Huawei telah terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan keamanan nasional atau arah kebijakan luar negeri dari AS.
Bukan hanya keamanan nasional, Hak Asasi Manusia (HAM) juga dijadikan alasan oleh pihak AS untuk memblokir perusahaan asal China dalam upayanya untuk memenangkan perang dagang. Per tanggal 9 Oktober 2019, AS resmi memasukkan 28 entitas asal China ke dalam daftar hitam, di mana sebanyak delapan di antaranya merupakan perusahaan teknologi raksasa asal China.
Dimasukkan delapan perusahaan teknologi raksasa asal China tersebut membuat merekatak bisa melakukan bisnis dengan perusahaan asal AS tanpa adanya lisensi khusus. AS beralasan bahwa kedelapan perusahaan tersebut terlibat dalam pelanggaran HAM terhadap kaum Muslim di Xinjiang, China.
Jika kesepakatan dagang tahap satu justru gagal diteken, perputaran roda perekonomian AS dan China, berikut dengan perputaran roda perekonomian dunia, akan menjadi semakin lambat.
Lebih lanjut, rilis risalah dari pertemuan The Federal Reserve (The Fed) edisi Oktober 2019 ikut menjadi faktor yang memanti aksi jual di bursa saham Asia. Risalah tersebut dijadwalkan dirilis pada dini hari nanti (21/11/2019) waktu Indonesia.
Untuk diketahui, pada bulan lalu The Fed memutuskan untuk memangkas federal funds rate sebesar 25 bps ke rentang 1,5%-1,75%. Lemahnya pertumbuhan ekonomi global dan rendahnya tingkat inflasi menjadi faktor yang mendasari keputusan tersebut. Pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada bulan lalu menandai pemangkasan yang ketiga di tahun 2019.
Namun, pasca mengumumkan tingkat suku bunga acuan pada bulan lalu, The Fed memberi sinyal bahwa mereka akan menahan diri dari memangkas tingkat suku bunga acuan lebih lanjut.
Dalam pernyataan resminya pasca memangkas tingkat suku bunga acuan pada bulan lalu, The Fed menghilangkan suatu pernyataan yang sudah mereka gunakan sejak bulan Juni yakni pernyataan bahwa pihaknya berkomitmen untuk “bertindak sebagaimana diperlukan guna mempertahankan ekspansi (ekonomi)”.
The Fed kemudian mengganti pernyataan tersebut dengan pernyataan yang lebih defensif.
“Komite akan terus memonitor implikasi dari informasi-informasi di masa depan terhadap prospek perekonomian sembari melakukan penilaian terkait dengan besaran yang tepat mengenai rentang dari federal funds rate.”
Kemudian dalam konferensi pers pasca memangkas tingkat suku bunga acuan pada bulan lalu, Powell mengungkapkan bahwa The Fed akan cenderung mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level saat ini. Dirinya mengatakan bahwa pejabat bank sentral memandang stance kebijakan moneter saat ini akan layak dipertahankan di masa depan.
Perubahan bahasa dalam pernyataan resmi The Fed, beserta dengan pernyataan yang dilontarkan Powell dalam konferensi pers, mengonfirmasi bahwa The Fed tak sedang memulai era pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang agresif.
Dalam konferensi pers pasca mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada September, Powell mengatakan bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada bulan Juli dan September sebagai “penyesuaian di pertengahan siklus/midcycle adjustment” dan bukan merupakan strategi untuk mendorong tingkat suku bunga acuan lebih rendah lagi.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 20 November 2019, probabilitas The Fed akan menahan fed fund futures di posisi saat ini (1,5%-1,75%) hingga akhir tahun mencapai 99,3%.
Dikhawatirkan, rilis risalah dari pertemuan edisi Oktober 2019 akan kembali mengonfirmasi stance The Fed yang kini cenderung hawkish.
Rilis data perdagangan internasional oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi faktor yang memantik aksi beli di pasar saham tanah air. Data ini dirilis pada hari Jumat (15/11/2019).
Sepanjang bulan lalu, BPS mencatat bahwa ekspor melemah sebesar 6,13% secara tahunan, lebih baik ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan ekspor mengalami kontraksi sebesar 9,03%. Sementara itu, impor diumumkan ambruk hingga 16,39% secara tahunan, lebih dalam dibandingkan konsensus yang memperkirakan kontraksi sebesar 16,02%.
Neraca dagang Indonesia pada bulan lalu membukukan surplus senilai US$ 160 juta, lebih baik ketimbang konsensus yang memperkirakan adanya defisit senilai US$ 300 juta.
Dengan neraca dagang yang bisa membukukan surplus di bulan Oktober, tentu ada harapan bahwa defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) akan kembali membaik di kuartal IV-2019.
Pada kuartal I-2019, BI mencatat CAD berada di level 2,51% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang CAD pada kuartal I-2018 yang berada di level 1,94% dari PDB. Kemudian pada kuartal II-2019, CAD membengkak menjadi 2,93% dari PDB. CAD pada tiga bulan kedua tahun ini juga lebih dalam ketimbang capaian pada periode yang sama tahun lalu di level 2,96% dari PDB.
Pada kuartal III-2019, CAD membaik menjadi 2,66% dari PDB, dari yang sebelumnya 3,22% pada kuartal III-2018.
Sebagai informasi, transaksi berjalan merupakan faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen Neraca Pembayaran Indonesia/NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Lebih lanjut, dengan adanya potensi bahwa CAD akan bisa ditekan, ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk kembali memangkas tingkat suku bunga acuan menjadi terbuka. Pada hari ini, BI dijadwalkan untuk memulai RDG yang akan berakhir pada hari Kamis (21/11/2019), diikuti dengan pengumuman tingkat suku bunga acuan.
Konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sejatinya memproyeksikan bahwa bank sentral akan menahan tingkat suku bunga acuan di level 5%. Namun, tetap ada harapan bahwa tingkat suku bunga acuan akan kembali dipangkas. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh pelaku pasar saham tanah air untuk melakukan aksi beli.
Untuk diketahui, dalam empat RDG sebelumnya BI selalu memangkas tingkat suku bunga acuan dengan besaran 25 basis poin (bps). Lantas jika ditotal, BI sudah memangkas tingkat suku bunga acuan hingga 100 bps dalam empat RDG tersebut.
Saat ini, perekonomian Indonesia jelas membutuhkan suntikan energi yang salah satunya bisa datang dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Belum lama ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,02% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada kuartal III-2019.
Pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan, diikuti pertumbuhan sebesar 5,05% secara tahunan pada kuartal II-2019.
Angka pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan pertama tahun ini sedikit berada di atas capaian periode yang sama tahun sebelumnya (kuartal I-2018) yang sebesar 5,06%. Sementara untuk periode kuartal-II 2019, pertumbuhan ekonomi jauh lebih rendah jika dibandingkan capaian kuartal II-2018 yang mencapai 5,27%.
Pada kuartal III-2019, angka pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02% tersebut lantas berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Capaian tersebut juga jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.
Jika tingkat suku bunga acuan dipangkas lebih lanjut oleh BI, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Besok AS-China Deal! IHSG Nyaman di Zona Hijau
