Sudah Diobral Besar-besaran, Saatnya Pilih Saham Murah

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
20 November 2019 07:01
Sudah Diobral Besar-besaran, Saatnya Pilih Saham Murah
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja bursa saham domestik sepanjang tahun berjalan masih negatif, dimana Indeks Harga Saham Gabungan tercatat mengalami koreksi 0,68%. Kinerja negatif IHSG tersebut membuat harga saham-saham hampir dari semua sektor mengalami koreksi dan ada yang sudah jatuh dalam sementara fundamental terhitung masih bagus.

Indeks sektor keuangan merupakan salah satu indeks sektoral yang berpengaruh signifikan menentukan pergerakan IHSG karena proporsinya yang cukup besar. Saham emiten bank BUKU (bank umum kelompok usaha) IV alias bank dengan modal inti di atas Rp 30 triliun juga dikategorikan dalam indeks tersebut.

Lalu apakah saham-saham bank papan atas sudah murah dan saatnya masuk?

Untuk melihat apakah harga saham perusahaan terbilang murah (undervalued) atau mahal (overvalued), ada metode analisis fundamental yang umumnya digunakan untuk mengevaluasi harga saham adalah price to earning ratio (PER) dan price to book value ratio (PBV).


Untuk saham keuangan, dianggap PBV lebih cocok digunakan mengingat mayoritas aset-aset perbankan adalah dalam bentuk kas, surat berharga, dan tagihan, sementara sektor lain bisa memakai PER.

PBV adalah rasio yang membandingkan nilai pasar saham terhadap nilai buku per saham. Nilai PBV yang lebih rendah dibanding rerata industri lebih diminati karena menjadi indikator saham yang relatif murah, dan sebaliknya.

Merujuk pada harga penutupan perdagangan Senin kemarin dan laporan keuangan perusahaan terbaru alias per September 2019, rata-rata PBV untuk sektor perbankan ada di 2,5 kali.

Foto: CNBC Indonesia/Dwi Ayunintyas


Dari tabel di atas, terlihat bahwa dari 6 emiten bank BUKU IV, 4 emiten memiliki nilai PBV yang lebih rendah dari rerata industri dengan PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) mencatatkan perolehan PBV terendah dengan nilai 0,56 kali.

Sayangnya, meski memiliki nilai PBV yang rendah, BNGA justru membukukan imbal hasil negatif sebesar 2,58% juga dengan nilai kapitalisasi pasar terendah dibanding rekan bank BUKU IV lainnya yakni Rp 23,51 Triliun

Uniknya, walau PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menorehkan nilai PBV tertinggi, yakni 4,69 kali dan perusahaan mampu menjadi jawara dari sisi imbal hasil dan kapitalisasi pasar.


Sejak awal tahun hingga penutupan perdagangan Senin kemarin, saham BBCA mencatatkan cuan 19,85% dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp 766,43 triliun.

Lebih lanjut, di bawah ini adalah perolehan PBV, imbal hasil, dan kapitalisasi pasar emiten perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

Selain itu, saham-saham sektor barang konsumsi atau konsumer (consumer goods) juga merupakan kategori saham yang cukup diminati oleh investor. Hal ini mengingat bisnis inti perusahaan menawarkan produk yang umumnya merupakan konsumsi sehari-hari masyarakat, sehingga dari sisi fundamental (pemasukan) lebih menjanjikan.

Sayangnya, sepanjang tahun, hingga penutupan perdagangan Selasa (19/11/2019) indeks sektor konsumen membukukan imbal hasil negatif 19,50%.

Akan tetapi, tidak ada salahnya untuk tetap mengkoleksi saham-saham yang masuk kategori indeks sektor konsumer, apalagi jika horizon investasi Anda jangka panjang.

Mengacu data Bursa Efek Indonesia (BEI), dari sekitar lebih dari 70 saham yang terdaftar dalam indeks tersebut, 5 saham yang menduduki posisi teratas dari sisi kapitalisasi pasar terbesar termasuk PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), PT H M Sampoerna Tbk (HMSP), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Gudang Garam Tbk (GGRM), dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF).


Great Sale, Banyak Saham-saham Murah
[Gambas:Video CNBC]


Nah, dengan mempertimbangkan harga saham dan kinerja fundamental perusahaan, apakah saham kelima emiten tersebut masih layak dikoleksi oleh pelaku pasar?

Mari kita lihat dahulu seberapa mahal atau murah saham tersebut.

Salah satu alat ukur yang biasanya digunakan sebagai indikator oleh investor dan analis saham untuk mengevaluasi harga saham perusahaan adalah price-earning-ratio/PER.

PER adalah salah satu bentuk analisis fundamental dengan cara membagi harga saham saat ini dengan keuntungan tahunan per saham.

Perhitungan ini mengimplikasikan berapa harga yang bersedia dibayarkan oleh pasar hari ini berdasarkan perolehan pendapatan perusahaan.

Saham dikatakan relatif mahal (overvalued) ketika PER-nya lebih besar dibanding PER Industri. Sebaliknya emiten disebut relatif murah (undervalued) ketika nilai PER-nya lebih rendah dibanding PER industri. Perlu diingat, jika perusahaan mencatatkan kerugian, maka PER tidak dapat dihitung.

Foto: CNBC Indonesia/Dwi Ayunintyas


Sebagai informasi perolehan PER untuk industri consumer goods berada di level 95,04 kali. Berdasarkan angka tersebut, maka saham para jawara sektor konsumen terbilang relatif murah, dengan GGRM mencatatkan nilai PER terendah yakni 10,59 kali.

Namun, patut disayangkan bahwa saham produsen rokok tersebut sepanjang tahun ini justru bergerak ke selatan karena anjlok 36,59%.

Sementara itu, saham emiten Group Salim, yakni INDF dan anak usahanya ICBP, lebih unggul karena tidak hanya mencatatkan PER yang relatif murah, tapi harga sahamnya juga mencatatkan cuan.

Di lain pihak, di luar para jawara sektor konsumer, jika menilik kinerja keseluruhan saham yang ada di sektor konsumen, berikut adalah 5 saham dengan valuasi harga yang relatif mahal dan relatif murah:

PT Wilmar Cahaya Indonesia Tbk (CEKA) menjadi emiten dengan valuasi harga saham termurah, di mana nilai PER perusahaan produsen cokelat yang punya pabrik di Bekasi ini, senilai 5,34 kali. Terlebih lagi, sepanjang tahun ini, harga saham perusahaan mencatatkan kenaikan 40,81%. Saham CEKA pada Selasa ini (19/11/) minus 0,64% di level Rp 1.560/saham.

Sebaliknya, PT Bumi Teknokultura Unggul Tbk (BTEK) menjadi emiten dengan harga saham yang relatif paling mahal, dengan nilai PER emiten biji kakao ini mencapai 2.500 kali. Saham BTEK stagnan di level Rp 50/saham.

Demikian pilu dengan kinerja sahamperusahaan tambang di Bursa Efek Indonesia mayoritas tertekan selama tahun berjalan. Perlambatan ekonomi global menjadi salah satu katalis yang membuat harga saham tambang jatuh dan menjadi "relatif murah".

Belum lagi kondisi geopolitik yang penuh ketidakpastian tentunya akan berakibat pada penurunan permintaan komoditas yang berujung pada melemahnya harga.

Alhasil, menggelontorkan dana untuk berinvestasi dapat dikatakan lebih berisiko dibandingkan sektor lainnya mengingat prospek sektor ini cenderung volatil.

Akan tetapi, tidak ada salahnya jika pelaku pasar berani mengambil resiko dan berniat memasukkan saham emiten pertambangan dalam portofolionya. Namun, harap mencermati kinerja fundamental dan pergerakan harga saham perusahaan.

Salah satu alat ukur yang biasanya digunakan sebagai indikator oleh investor dan analis saham untuk mengevaluasi harga saham perusahaan adalah price-earning-ratio/PER.

PER adalah salah satu bentuk analisis fundamental dengan cara membagi harga saham saat ini dengan keuntungan tahunan per saham. Perhitungan ini mengimplikasikan berapa harga yang bersedia dibayarkan oleh pasar hari ini berdasarkan perolehan pendapatan perusahaan.

Saham dikatakan relatif mahal (overvalued) ketika PER-nya lebih besar dibanding PER industri. Sebaliknya emiten disebut relatif murah (undervalued) ketika nilai PER-nya lebih rendah dibanding PER industri. Perlu diingat, jika perusahaan mencatatkan kerugian, maka PER tidak dapat dihitung.

Foto: Dwi Ayuningtyas


Merujuk pada pengelompokan emiten pertambangan, Bursa Efek Indonesia membaginya dalam beberapa kategori, termasuk batu bara, minyak & gas, serta logam & mineral.

Untuk klasifikasi perusahaan tambang batu bara, emiten yang harga sahamnya relatif murah dibandingkan peer-nya adalah PT Bumi Resources Tbk (BUMI) dan PT Petrosea Tbk (PTRO) dengan perolehan PER masing-masing 3,55 kali dan 4,28 kali. Pasalnya, rerata angka PER untung emiten batu bara adalah 16,91 kali.

Tidak hanya itu, emiten penambang batu bara besar lainnya seperti PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Bayan Resources Tbk (BYAN) juga terbilang cukup terjangkau.

Sedangkan penambang batu bara yang harga sahamnya relatif mahal adalah PT Borneo Olah Sarana Sukses Tbk (BOSS) dan PT Alfa Energi Investama Tbk (FIRE) dengan nilai PER masing-masing 132,16 kali dan 110,68 kali.

Kemudian, untuk kategori perusahaan minyak dan gas, PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) dan PT Apexindo Pratama Duta Tbk (APEX) masih cocok untuk dikoleksi karena harga sahamnya undervalued. Berbeda degan PT Surya Esa Perkasa Tbk (ESSA) dan PT Super Energy Tbk (SURE) yang terbilang overvalued alias mahal.

Terakhir adalah kelompok penambang logam dan mineral. PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) memiliki harga saham yang tergolong cukup tinggi dibandingkan dengan kinerja keuangan perusahaan.

Lain halnya dengan PT Cita Mineral Investindo Tbk (CITA) dan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) yang masih sangat terjangkau.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular