
Urusan Muamalat, Mending Swasta yang Selamatkan Jangan BUMN!

Dengan memperhatikan status dari Bank Muamalat yang bukan merupakan bank pelat merah melainkan bank asing, beserta dengan kinerja keuangannya yang amburadul, sudah sepatutnya pemerintah menahan diri dari mengerahkan bank-bank BUMN untuk melakukan penyelamatan.
Apalagi, bank-bank BUMN saat ini juga sedang menghadapi kesulitan tersendiri. Pada sembilan bulan pertama tahun 2019, laba bersih dari BMRI, BBRI, dan BBNI memang masih tumbuh jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yakni masing-masing sebesar 11,9%, 5,4%, dan 4,7%.
Namun, pertumbuhannya jauh menipis jika dibandingkan pertumbuhan pada periode sembilan bulan pertama tahun 2018. Pada sembilan bulan pertama tahun 2018, laba bersih BMRI melesat 20,1% secara tahunan, laba bersih BBRI melejit 14,6%, dan laba bersih BBNI melonjak 12,6%.
Menipisnya pertumbuhan laba bersih dari ketiga bank pelat merah tersebut salah satunya dipicu oleh perlambatan pertumbuhan di pos pendapatan bunga bersih/net interest income yang merupakan pos pendapatan utama mereka.
Pada sembilan bulan pertama tahun 2019, pendapatan bunga bersih dari BBRI dan BBNI tercatat tumbuh masing-masing sebesar 4,6%, dan 3,3% jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut jauh melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode sembilan bulan pertama tahun 2018.
Pada sembilan bulan pertama tahun 2018, pendapatan bunga bersih dari BBRI dan BBNI tumbuh di level 6,6% dan 10,6%.
Tercatat, hanya BMRI yang mampu membukukan kenaikan pertumbuhan pendapatan bunga bersih pada sembilan bulan pertama tahun ini, yakni menjadi 8,9%, dari yang sebelumnya 3,9% pada sembilan bulan pertama tahun 2018. Namun tetap saja, lonjakan pertumbuhan pertumbuhan pendapatan bunga bersih nyatanya tak mampu mengerek pertumbuhan laba bersih BMRI.
Tak heran jika pendapatan bunga bersih dari BBRI dan BBNI melorot. Pasalnya, marjin bunga bersih/net interest margin (NIM) dari keduanya begitu tertekan pada tahun ini. Sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2019, NIM BBRI jatuh hingga 60 basis poin (bps) jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, sementara NIM dari BBNI turun 40 bps.
Sebagai informasi, NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.
Tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, sebuah bank bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama.
Sudah marjin menipis, perbankan juga kini dihadapkan dengan kondisi perekonomian yang lesu yang membuat penyaluran kredit tertekan. Per akhir kuartal III-2018, penyaluran kredit dari BMRI, BBRI, dan BBNI tercatat tumbuh masing-masing sebesar 13,8%, 16,5%, dan 15,6% jika dibandingkan dengan posisi per akhir kuartal III-2017. Per akhir kuartal III-2019, pertumbuhannya menyusut menjadi masing-masing sebesar 7,8%, 11,6%, dan 14,7% (dibandingkan posisi per akhir kuartal III-2018).
Tak sampai disitu, perbankan kini juga dihadapkan dengan permasalahan ketatnya likuiditas. Per akhir kuartal III-2019, Loan to Deposits Ratio (LDR) BMRI tercatat berada di level 94,13%, naik dari posisi per akhir kuartal III-2018 yang sebesar 93,53%. Sementara itu, LDR dari BBRI naik menjadi 94,15%, dari sebelumnya 92,69%. Untuk BBNI, LDR naik menjadi 96,6%, dari yang sebelumnya 89%.
Kalau bank-bank BUMN dipaksa untuk menyelamatkan Bank Muamalat, masalah yang mereka hadapi akan bertambah banyak dan ujung-ujungnya, kinerja keuangannya bisa semakin tertekan.
Jika ini yang terjadi, kemampuan dari bank-bank BUMN untuk menstimulasi perekonomian Indonesia akan menjadi berkurang. Hanya karena Bank Muamalat, perekonomian Indonesia bisa menjadi korban sampingan. Pemerintah tentu tak mau hal ini terjadi kan?
(ank/ank)