Neraca Dagang Cetak Surplus, IHSG Menguat 0,52%

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
15 November 2019 12:03
Neraca Dagang Cetak Surplus, IHSG Menguat 0,52%
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan terakhir di pekan ini, Jumat (15/11/2019), di zona hijau.

Pada pembukaan perdagangan, IHSG menguat 0,28% ke level 6.115,76. Per akhir sesi satu, IHSG sudah memperlebar penguatannya menjadi 0,52% ke level 6.130,46.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mengerek kinerja IHSG di antaranya: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (+3,3%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+1,82%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (+4,35%), PT Barito Pacific Tbk/BRPT (+4,88%), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (+2,74%).

Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga sedang ditransaksikan di zona hijau. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei naik 0,7%, indeks Shanghai menguat 0,03%, indeks Hang Seng terkerek 0,32%, indeks Straits Times terapresiasi 0,1%, dan indeks Kospi bertambah 1,05%.

Lolosnya perekonomian Jerman dari resesi menjadi faktor yang mengerek kinerja bursa saham Benua Kuning. Kemarin (14/11/2019), pembacaan awal atas angka pertumbuhan ekonomi Jerman periode kuartal III-2019 diumumkan di level 0,1% secara kuartalan.

Untuk diketahui, pada kuartal II-2019 perekonomian Jerman terkontraksi 0,2% secara kuartalan. Jika pada kuartal III-2019 masih terjadi kontraksi, maka Jerman akan resmi memasuki periode resesi.

Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Melansir World Economic Outlook edisi April 2019 yang dipublikasikan oleh International Monetary Fund (IMF), Jerman merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kelima di dunia. Alhasil, lolosnya Jerman dari periode resesi praktis menjadi kabar positif bagi perekonomian dunia.

Di sisi lain, kesepakatan dagang tahap satu antara AS dan China yang semakin berwarna abu-abu menjadi faktor yang membebani langkah bursa saham Asia.

Kini, hubungan AS-China di bidang perdagangan terlihat semakin renggang dan penandatanganan kesepakatan dagang tahap satu sepertinya masih belum akan terjadi dalam waktu dekat.

CNBC International melaporkan bahwa AS sedang berusaha mendapatkan konsesi yang lebih besar dari China terkait dengan perlindungan kekayaan intelektual dan penghentian praktik transfer teknologi secara paksa.

Di sisi lain, Beijing dikabarkan enggan untuk memasukkan komitmen untuk membeli produk agrikultur asal AS dalam jumlah tertentu dalam teks kesepakatan dagang tahap satu. Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengungkapkan bahwa China setuju untuk membeli produk agrikultur asal AS senilai US$ 50 miliar setiap tahunnya sebagai bagian dari kesepakatan dagang tahap satu.

Perkembangan terbaru, Beijing kembali menegaskan bahwa AS harus menghapuskan bea masuk tambahan yang sudah dibebankan terhadap produk impor asal China jika ingin kesepakatan dagang tahap satu tercapai, sebuah hal yang masih enggan disetujui oleh pihak AS.

Perkembangan tersebut lantas melengkapi kabar negatif seputar perundingan dagang AS-China. Sebelumnya, Trump menegaskan bahwa AS akan menaikkan bea masuk bagi produk impor asal China secara signifikan jika kesepakatan dagang tahap satu tak bisa diteken.

"Jika kami tak mencapai kesepakatan, kami akan secara signifikan menaikkan bea masuk tersebut," kata Trump dalam pidatonya di hadapan para peserta Economic Club of New York.

"Bea masuk akan dinaikkan dengan sangat signifikan. Hal ini akan berlaku untuk negara-negara lain yang juga memperlakukan kita dengan tidak benar," tambahnya.

Untuk diketahui, sejauh ini AS telah mengenakan bea masuk tambahan bagi senilai lebih dari US$ 500 miliar produk impor asal China, sementara Beijing membalas dengan mengenakan bea masuk tambahan bagi produk impor asal AS senilai kurang lebih US$ 110 miliar.

Dari dalam negeri, rilis data perdagangan internasional periode Oktober 2019 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi sentimen positif bagi IHSG.

Sepanjang bulan lalu, BPS mencatat bahwa ekspor melemah sebesar 6,13% secara tahunan, lebih baik ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan ekspor mengalami kontraksi sebesar 9,03%. Sementara itu, impor diumumkan ambruk hingga 16,39% secara tahunan, lebih dalam dibandingkan konsensus yang memperkirakan kontraksi sebesar 16,02%.

Neraca dagang Indonesia pada bulan lalu membukukan surplus senilai US$ 160 juta, lebih baik ketimbang konsensus yang memperkirakan adanya defisit senilai US$ 300 juta.

Pelaku pasar tampak lega terhadap fakta bahwa neraca dagang Indonesia bisa membukukan surplus. Dengan neraca dagang yang bisa membukukan surplus di bulan Oktober, ada harapan bahwa defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) akan kembali membaik di kuartal IV-2019.

Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 Bank Indonesia (BI) mencatat CAD berada di level 2,51% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang CAD pada kuartal I-2018 yang berada di level 1,94% dari PDB. Kemudian pada kuartal II-2019, CAD membengkak menjadi 2,93% dari PDB. CAD pada tiga bulan kedua tahun ini juga lebih dalam ketimbang capaian pada periode yang sama tahun lalu di level 2,96% dari PDB.

Pada kuartal III-2019, CAD membaik menjadi 2,66% dari PDB, dari yang sebelumnya 3,22% pada kuartal III-2018.

Untuk diketahui, ekspor barang merupakan salah satu komponen pembentuk transaksi berjalan, sehingga surplus di pos ini tentu akan memberikan asupan energi dalam meredam CAD.

Merespons adanya potensi bahwa CAD akan kembali bisa diredam pada kuartal-IV 2019, rupiah menguat 0,14% melawan dolar AS di pasar spot ke level Rp 14.060/dolar AS.

Sebagai informasi, transaksi berjalan merupakan faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen Neraca Pembayaran Indonesia/NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

Kinerja rupiah yang positif pada akhirnya sukses memantik aksi beli di bursa saham tanah air.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ank/ank) Next Article Besok AS-China Deal! IHSG Nyaman di Zona Hijau

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular