Saham Bank BUMN Babak Belur, Apa Cuma Gegara Muamalat?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
15 November 2019 06:59
Saham Bank BUMN Babak Belur, Apa Cuma Gegara Muamalat?
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga saham bank-bank milik negara, terutama masuk kategori Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) IV atau dengan modal inti di atas Rp 30 triliun terus babak belur dalam beberapa perdagangan terakhir di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Mengacu data BEI, terhitung dalam periode 28 Oktober hingga 13 November Rabu lalu, harga saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) ambruk 6,38%, saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) juga terkoreksi 6,07%, dan saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) pun anjlok 1,79%.

Pada perdagangan Kamis kemarin (14/11/2019), saham-saham bank BUMN juga masih saja dilego pelaku pasar. Per akhir perdagangan kemarin, harga saham BBNI turun 0,68% dan BBRI jatuh 0,51%. Sementara itu, harga saham BMRI ditutup flat di level Rp 6.875/saham.

Ambruknya harga saham bank-bank pelat merah ditengarai dipicu oleh kekhawatiran bahwa nama-nama bank BUMN itu dipertimbangkan untuk menyelamatkan PT Bank Muamalat Indonesia Tbk dari permasalahan keuangan yang kini sedang menerpanya.


Kekhawatiran ini kembali mencuat setelah Wakil Presiden Ma'ruf Amin beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada tanggal 28 Oktober, menemui manajemen Bank Muamalat. Dikabarkan, ada pejabat bank BUMN yang ikut dalam pertemuan tersebut.

Sebelumnya, kekhawatiran bahwa bank pelat merah akan didorong untuk menyelamatkan Bank Muamalat sudah mencuat kala ada informasi yang beredar di pasar. Setidaknya, ada dua riset dari sekuritas yang membahas mengenai hal tersebut.

Salah satu riset tersebut menyatakan bahwa bank BUMN telah mengonfirmasi untuk melakukan uji tuntas atau due dilligence dalam rangka melakukan suntikan modal ke Bank Muamalat.

Sementara itu, riset lainnya menyatakan bahwa ada kemungkinan bank BUMN akan membeli sekuritisasi dari pembiayaan bermasalah milik Bank Muamalat. Riset tersebut juga menyatakan bahwa akan menjadi preseden buruk bila bank BUMN membantu bank swasta seperti Muamalat.

Untuk diketahui, Bank Muamalat memang bukan merupakan bank BUMN melainkan bank swasta. Malahan, mayoritas kepemilikan Bank Muamalat dipegang oleh investor asing.

Melansir publikasi laporan keuangan periode semester I-2019, sebanyak 32,74% kepemilikan Bank Muamalat dikuasai oleh Islamic Development Bank (IDB), 22% dikuasai Bank Boubyan, dan 17,91% dikuasai Atwill Holdings Limited.

PAGI-Saham Bank BUMN Babak Belur, Apa Cuma Gegara Muamalat?Foto: Presiden dan Wakil Presiden RI, Joko Widodo dan Ma'ruf Amin memimpin rapat terbatas (Biro Pers Sekretariat Presiden/Lukas)



Ma'ruf Amin sendiri diketahui sempat menjabat sebagai Ketua Dewan pengawas Syariah di bank syariah pertama di Indonesia tersebut.

Saat ini, kondisi keuangan Bank Muamalat memang mengenaskan sehingga wajar jika pelaku pasar 'menghukum' saham-saham bank-bank BUMN menyusul isu bahwa mereka akan didorong untuk menyelamatkan Bank Muamalat.

Dalam periode Januari-Agustus 2019, berdasarkan laporan yang dipublikasikan perusahaan, laba bersih Bank Muamalat tercatat hanya mencapai Rp 6,57 miliar.

Padahal pada periode yang sama tahun sebelumnya (Januari-Agustus 2018), laba bersih perusahaan mencapai Rp 110,9 miliar. Dalam 8 bulan pertama tahun 2019, laba bersih perusahaan anjlok hingga 94,1% secara tahunan.

Laba bersih yang hanya senilai Rp 6,57 miliar tersebut merupakan perolehan laba bersih terendah dalam 8 bulan pertama yang pernah dicatatkan oleh Bank Muamalat, setidaknya dalam 4 tahun terakhir.



Ambruknya laba bersih perusahaan terjadi seiring dengan tekanan terhadap pos pendapatan utama perusahaan.

Dalam periode Januari-Agustus 2019, pendapatan penyaluran dana ambruk sebesar 17% menjadi Rp 1,9 triliun, dari yang sebelumnya Rp 2,3 triliun pada periode Januari-Agustus 2018.

Pendapatan penyaluran dana yang hanya senilai Rp 1,9 triliun tersebut juga merupakan perolehan terendah dalam delapan bulan pertama yang pernah dicatatkan oleh Bank Muamalat, setidaknya dalam 4 tahun terakhir.



Lebih lanjut, pendapatan setelah distribusi bagi hasil anjlok 51,5% menjadi Rp 415,6 miliar dalam periode Januari-Agustus 2019, dari yang sebelumnya Rp 857,3 miliar pada periode Januari-Agustus 2018.

Masih tingginya rasio pembiayaan bermasalah/Non-Performing Financing (NPF) menjadi faktor yang membebani kinerja keuangan perusahaan pada tahun ini.

Per akhir Juni 2019, NPF (gross) berada di level 5,41%, melonjak dari NPF per akhir Juni 2018 yang sebesar 1,65%. Untuk diketahui, NPF Bank Muamalat per akhir 2018 berada di level 3,87%.



Dengan kinerja keuangan perusahaan yang begitu buruk, suntikan modal dikhawatirkan tak akan mampu memutarbalikkan kondisi Bank Muamalat.

Suntikan modal dikhawatirkan hanya akan mampu memperpanjang nafas dari Bank Muamalat, sembari menggerogoti suntikan modal itu sendiri, yang santer diberitakan akan disalurkan oleh bank BUMN.


Kalaupun pembiayaan bermasalah dari Bank Muamalat disekuritisasi untuk kemudian dijual ke bank BUMN, hal ini juga tentu akan membawa mereka menghadapi risiko. Pasalnya, tak ada jaminan bahwa pembiayaan bermasalah tersebut bisa direstrukturisasi dan memberikan nilai tambah bagi pembelinya.

Namun, bukan hanya isu bahwa bank BUMN akan didorong untuk menyelamatkan Bank Muamalat yang membuat harga saham mereka rontok. Ada faktor lain yang ikut berkontribusi.

[Gambas:Video CNBC]

Faktor lain  dibalik aksi jual yang begitu deras menerpa saham-saham bank BUMN adalah laju perekonomian Indonesia yang begitu lesu.

Pada awal bulan ini tepatnya tanggal 5 November, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi untuk periode kuartal III-2019. Sepanjang tiga bulan ketiga tahun ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,02% secara tahunan (year-on-year/YoY).

Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan, disusul oleh pertumbuhan sebesar 5,05% secara tahunan pada kuartal II-2019.


Angka pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan pertama tahun ini sedikit berada di atas capaian periode yang sama tahun sebelumnya (kuartal I-2018) yang sebesar 5,06%. Sementara untuk periode kuartal-II 2019, pertumbuhan ekonomi jauh lebih rendah jika dibandingkan capaian kuartal II-2018 yang mencapai 5,27%.

Pada kuartal III-2019, angka pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02% tersebut lantas berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Capaian tersebut juga jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.

Lantas, secara keseluruhan laju perekonomian di sepanjang tahun 2019 terbilang mengecewakan, hampir mustahil untuk mampu tumbuh sesuai dengan target pemerintah yang sebesar 5,3%.


Ketika perekonomian begitu lesu seperti saat ini, saham-saham sektor perbankan memang menjadi salah satu yang memiliki kecenderungan untuk dilego pelaku pasar. Pasalnya, ketika aktivitas ekonomi lesu, penyaluran kredit juga akan tertekan yang pada akhirnya akan membuat pendapatan dari perbankan ikut tertekan.

Lemahnya perekonomian Indonesia kemudian diafirmasi oleh rilis publikasi Survei Penjualan Eceran (SPE) periode September 2019 oleh BI.

Untuk periode September 2019, survei BI menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel hanya tumbuh tipis sebesar 0,7% secara tahunan (year-on-year/YoY), sangat jauh di bawah capaian periode yang sama tahun lalu (September 2018) yang mencapai 4,8% YoY.

Untuk diketahui,sudah sedari bulan Mei pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3% YoY.



Dalam 9 bulan pertama tahun ini, penyaluran kredit bank-bank BUMN terbilang sudah terdampak oleh lesunya laju perekonomian.

Per akhir kuartal III-2018, penyaluran kredit BBRI, BMRI, dan BBNI tercatat meningkat masing-masing sebesar 16,5%, 13,8%, dan 15,6% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Per akhir kuartal III-2019, pertumbuhannya melambat menjadi masing-masing sebesar 11,6%, 7,8%, dan 14,7%.

Secara historis, November merupakan bulan yang kurang bersahabat bagi pasar saham tanah air.

Tim Riset CNBC Indonesia
menghitung imbal hasil IHSG secara bulanan dalam periode 10 tahun terakhir (2009-2018). Hasilnya, dalam 10 bulan November terakhir, IHSG membukukan koreksi sebanyak tujuh kali. IHSG hanya menguat tiga kali secara bulanan pada 10 bulan November terakhir.

Koreksi terparah IHSG dalam 10 bulan November terakhir terjadi pada November 2013. Kala itu, IHSG ambruk hingga 5,64% jika dibandingkan dengan posisi per akhir Oktober 2013.




Untuk diketahui, bulan November menjadi satu di antara 2 bulan yang secara rata-rata membukukan imbal hasil negatif dalam 10 tahun terakhir. Selain di bulan November, hal serupa bisa didapati di bulan Agustus.



Ketika IHSG memiliki sejarah yang kelam di bulan November, bisa ditebak saham-saham apa saja yang berkontribusi signifikan dalam menekan kinerja IHSG, yakni saham-saham sektor jasa keuangan, khususnya perbankan.

Pasalnya, sektor jasa keuangan dari tahun ke tahun selalu menjadi sektor dengan bobot terbesar dalam pembentukan IHSG. Per penutupan perdagangan kemarin, indeks sektor jasa keuangan menyumbang sebesar 33% dari total kapitalisasi pasar IHSG.


Dalam 10 bulan November terakhir, indeks sektor jasa keuangan membukukan koreksi sebanyak enam kali. Koreksi terparah indeks sektor jasa keuangan dalam 10 bulan November terakhir terjadi pada November 2013. Kala itu, indeks sektor jasa keuangan ambruk hingga 7,84% jika dibandingkan dengan posisi per akhir Oktober 2013.



Jika dirata-rata, dalam 10 bulan November terakhir, indeks sektor jasa keuangan membukukan koreksi sebesar 1,13%. Lantas, bisa disimpulkan bahwa memang biasanya saham-saham perbankan akan mendapatkan tekanan di bulan November.

TIM RISET CNBC INDONESIA

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular