
Jerman Kirim Kabar Bagus, Rupiah Melemah Tipis
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
14 November 2019 17:19

Kesepakatan dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China yang belum terjadi dalam waktu dekat menjadi penekan utama rupiah.
Hubungan antara AS-China bahkan terlihat semakin merenggang setelah CNBC International melaporkan AS sedang berusaha mendapatkan konsesi yang lebih kuat dari China untuk membuat regulasi kekayaan intelektual dan menghentikan praktik transfer paksa teknologi, sebagai gantinya AS akan membatalkan bea masuk yang seharusnya berlaku mulai 15 Desember nanti.
Di sisi lain, China kini dikabarkan ragu untuk membeli produk pertanian AS, padahal pada bulan lalu Presiden Trump mengklaim Negeri Tiongkok akan membeli produk pertanian Paman Sam senilai US$ 50 miliar sebagai bagian dari kesepakatan dagang fase satu.
Tekanan juga datang dari ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell yang mengindikasikan tidak akan lagi memangkas suku bunga. The Fed sudah memangkas suku bunga tiga kali di tahun ini masing-masing 25 basis poin menjadi 1,5-1,75%.
Powell yang memberikan testimoni di hadapan Kongres AS mengatakan suku bunga saat ini sudah tepat, dan tidak akan dipangkas lagi kecuali perekonomian AS memburuk.
Tekanan bagi rupiah juga datang dari Asia, Jepang melaporkan pelambatan pertumbuhan ekonomi, begitu juga serangkaian data dari China yang mengecewakan.
Pertumbuhan ekonomi Jepang pada kuartal III-2019 tercatat 0,2% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized). Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mampu tumbuh 1,8% dan menjadi laju pertumbuhan terlemah sejak kuartal III-2018.
Pertumbuhan tersebut juga jauh di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan angka pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal III-2019 di 0,8%.
Sementara itu dari Negeri Tiongkok, produksi industri bulan Oktober hanya tumbuh 4,7% secara tahunan atau year-on-year (YoY), jauh merosot dibandingkan bulan sebelumnya 5,8%. Penjualan ritel juga bernasib sama, tumbuh 7,2% YoY, lebih rendah dari bulan September 7,8% YoY.
Sementara investasi aset tetap China pada periode Januari-Oktober 2019 tumbuh 5,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah dari periode Januari-September sebesar 5,4%.
Data-data yang dirilis pagi tadi itu memperburuk sentimen pelaku pasar yang menyulitkan rupiah untuk menguat hari ini.
Kabar bagus akhirnya datang selepas tengah hari yang membuat sentimen pelaku pasar membaik. Jerman memberikan kejutan pada hari ini, ramai-ramai diprediksi akan mengalami resesi teknikal, perekonomian Negeri Panser justru mencatat pertumbuhan.
Biro Statistik Jerman (Destatis) melaporkan produk domestik bruto (PBD) tumbuh 0,1% quarter-on-quarter (QoQ) di kuartal III-2019. Hasil survei yang dilakukan Reuters menunjukkan PDB Jerman diprediksi berkontraksi alias minus 0,1%.
Pada kuartal II-2019, PDB Jerman mengalami kontraksi 0,1%, sehingga pertumbuhan pada periode Juli-September menghindarkannya dari resesi.
Sayangnya rupiah hanya mampu memangkas pelemahan. Penyebab lain sulitnya rupiah menguat adalah rilis data neraca perdagangan Indonesia Jumat besok. Para investor masih melakukan aksi wait and see.
Neraca perdagangan Indonesia diperkirakan kembali mencatat defisit pada Oktober 2019. Bahkan bisa saja bakal lebih dalam ketimbang September.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor mengalami kontraksi alias turun 9,03% year-on-year (YoY).
Sementara impor juga diramal terkontraksi 16,02% YoY. Kemudian neraca perdagangan mengalami defisit US$ 300 juta.
Pada bulan sebelumnya, Biro Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor turun 5,74% YoY sedangkan impor turun 2,41%. Ini membuat neraca perdagangan tekor US$ 160 juta.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/tas)
Hubungan antara AS-China bahkan terlihat semakin merenggang setelah CNBC International melaporkan AS sedang berusaha mendapatkan konsesi yang lebih kuat dari China untuk membuat regulasi kekayaan intelektual dan menghentikan praktik transfer paksa teknologi, sebagai gantinya AS akan membatalkan bea masuk yang seharusnya berlaku mulai 15 Desember nanti.
Di sisi lain, China kini dikabarkan ragu untuk membeli produk pertanian AS, padahal pada bulan lalu Presiden Trump mengklaim Negeri Tiongkok akan membeli produk pertanian Paman Sam senilai US$ 50 miliar sebagai bagian dari kesepakatan dagang fase satu.
Powell yang memberikan testimoni di hadapan Kongres AS mengatakan suku bunga saat ini sudah tepat, dan tidak akan dipangkas lagi kecuali perekonomian AS memburuk.
Tekanan bagi rupiah juga datang dari Asia, Jepang melaporkan pelambatan pertumbuhan ekonomi, begitu juga serangkaian data dari China yang mengecewakan.
Pertumbuhan ekonomi Jepang pada kuartal III-2019 tercatat 0,2% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized). Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mampu tumbuh 1,8% dan menjadi laju pertumbuhan terlemah sejak kuartal III-2018.
Pertumbuhan tersebut juga jauh di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan angka pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal III-2019 di 0,8%.
Sementara itu dari Negeri Tiongkok, produksi industri bulan Oktober hanya tumbuh 4,7% secara tahunan atau year-on-year (YoY), jauh merosot dibandingkan bulan sebelumnya 5,8%. Penjualan ritel juga bernasib sama, tumbuh 7,2% YoY, lebih rendah dari bulan September 7,8% YoY.
Sementara investasi aset tetap China pada periode Januari-Oktober 2019 tumbuh 5,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah dari periode Januari-September sebesar 5,4%.
Data-data yang dirilis pagi tadi itu memperburuk sentimen pelaku pasar yang menyulitkan rupiah untuk menguat hari ini.
Kabar bagus akhirnya datang selepas tengah hari yang membuat sentimen pelaku pasar membaik. Jerman memberikan kejutan pada hari ini, ramai-ramai diprediksi akan mengalami resesi teknikal, perekonomian Negeri Panser justru mencatat pertumbuhan.
Biro Statistik Jerman (Destatis) melaporkan produk domestik bruto (PBD) tumbuh 0,1% quarter-on-quarter (QoQ) di kuartal III-2019. Hasil survei yang dilakukan Reuters menunjukkan PDB Jerman diprediksi berkontraksi alias minus 0,1%.
Pada kuartal II-2019, PDB Jerman mengalami kontraksi 0,1%, sehingga pertumbuhan pada periode Juli-September menghindarkannya dari resesi.
Sayangnya rupiah hanya mampu memangkas pelemahan. Penyebab lain sulitnya rupiah menguat adalah rilis data neraca perdagangan Indonesia Jumat besok. Para investor masih melakukan aksi wait and see.
Neraca perdagangan Indonesia diperkirakan kembali mencatat defisit pada Oktober 2019. Bahkan bisa saja bakal lebih dalam ketimbang September.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor mengalami kontraksi alias turun 9,03% year-on-year (YoY).
Sementara impor juga diramal terkontraksi 16,02% YoY. Kemudian neraca perdagangan mengalami defisit US$ 300 juta.
Pada bulan sebelumnya, Biro Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor turun 5,74% YoY sedangkan impor turun 2,41%. Ini membuat neraca perdagangan tekor US$ 160 juta.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/tas)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular