
Saham Bank Jeblok Karena Jokowi Minta Bunga Turun, Yakin?

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam beberapa hari terakhir, saham-saham bank, utamanya yang masuk ke dalam kategori BUKU IV, babak belur.
Pada perdagangan hari Rabu (6/11/2019), indeks sektor jasa keuangan ditutup ambruk hingga 1,6%. Pada perdagangan hari Kamis (7/11/2019), koreksinya adalah sebesar 0,96%. Pada perdagangan kemarin, Jumat (8/11/2019), barulah indeks sektor jasa keuangan menguat, namun tipis saja sebesar 0,08%.
Jika ditotal dalam periode 6 November hingga akhir sesi dua perdagangan kemarin, indeks sektor jasa keuangan sudah jatuh sebesar 2,47%. Dalam periode yang sama, harga saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) melemah 1,26%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) ambruk 7,21%, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) anjlok 1,39%, dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) terkoreksi 0,65%.
Ada beberapa pihak yang mengaitkan ambruknya saham-saham perbankan dengan permintaan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada para bankir untuk memangkas tingkat suku bunga kredit.
"Ketiga, saya mengajak untuk memikirkan secara serius untuk menurunkan suku bunga kredit," tegas Jokowi di Hotel Fairmont Jakarta dalam gelaran Indonesia Banking Expo 2019, Rabu (6/11/2019).
Menurut Jokowi, negara-negara lain sudah menurunkan tingkat suku bunga kreditnya, sementara Bank Indonesia (BI) telah menurunkan tingkat bunga acuan sebanyak empat kali pada tahun ini, yang jika ditotal mencapai 100 basis poin (bps).
Menurut Tim Riset CNBC Indonesia, mengaitkan ambruknya harga saham bank BUKU IV dengan permintaan dari Jokowi tersebut kurang masuk akal. Pasalnya, mayoritas pelaku pasar sudah tahu betul bahwa penetapan tingkat suku bunga kredit merupakan kebijakan dari masing-masing bank dan tidak bisa diutak-atik secara langsung oleh pemerintah.
Sementara itu, secara tidak langsung pun pemerintah tetap tak bisa mengintervensi suku bunga perbankan. Katakanlah, pemerintah meminta kepada BI untuk kembali memangkas tingkat suku bunga acuan supaya tingkat suku bunga kredit turun.
Memang, BI merupakan sebuah lembaga independen yang tak bisa diintervensi oleh pihak manapun, termasuk oleh presiden sendiri, terlepas dari fakta bahwa gubernur bank sentral dinominasikan oleh presiden.
Tapi, katakanlah presiden bisa mengintervensi BI dan menyuruh bank sentral untuk kembali memangkas tingkat suku bunga acuan. Apakah tingkat suku bunga kredit akan serta-merta turun? Pastinya tidak.
Seperti sudah disebutkan di atas, penetapan tingkat suku bunga kredit merupakan kebijakan dari masing-masing bank. Tingkat suku bunga kredit yang dipatok oleh perbankan dihitung dengan mempertimbangkan berbagai macam faktor seperti tingkat suku bunga acuan, biaya dana (cost of fund) yang harus ditanggung, target net interest margin (NIM) yang ingin dicapai, profil risiko dari debitur, serta kondisi perekonomian saat ini berikut dengan prospeknya.
Lebih jauh lagi, kalau pemerintah mencoba mengintervensi Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) supaya tingkat suku bunga penjaminan diturunkan lebih dalam lagi (guna memaksa suku bunga deposito dan kredit turun), hal ini justru malah bisa dibilang tak masuk akal.
Untuk diketahui, sama seperti BI, LPS juga merupakan sebuah lembaga yang independen. Tapi, katakanlah presiden bisa mengintervensi LPS.
Intervensi dengan mendorong LPS memangkas tingkat suku bunga penjaminan lebih dalam lagi menurut Tim Riset CNBC Indonesia tak masuk akal. Pasalnya, kalau dipangkas secara berlebihan, yang ada deposito yang ditawarkan oleh bank-bank di Indonesia akan menjadi tak menarik. Bisa jadi, ada aliran modal keluar yang deras meninggalkan Indonesia.
Jadi, memang mengaitkan ambruknya harga saham bank BUKU IV dengan permintaan dari Jokowi kurang masuk akal.
Salah satu faktor utama dibalik aksi jual yang begitu deras menerpa saham-saham perbankan adalah laju perekonomian Indonesia yang begitu lesu.
Pada awal pekan ini tepatnya hari Selasa (5/11/2019), Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi untuk periode kuartal III-2019. Sepanjang tiga bulan ketiga tahun ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,02% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan, disusul oleh pertumbuhan sebesar 5,05% secara tahunan pada kuartal II-2019.
Angka pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan pertama tahun ini sedikit berada di atas capaian periode yang sama tahun sebelumnya (kuartal I-2018) yang sebesar 5,06%. Sementara untuk periode kuartal-II 2019, pertumbuhan ekonomi jauh lebih rendah jika dibandingkan capaian kuartal II-2018 yang mencapai 5,27%.
Pada kuartal III-2019, angka pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02% tersebut lantas berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Capaian tersebut juga jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.
Lantas, secara keseluruhan laju perekonomian di sepanjang tahun 2019 terbilang mengecewakan, hampir mustahil untuk mampu tumbuh sesuai dengan target pemerintah yang sebesar 5,3%.
Ketika perekonomian begitu lesu seperti saat ini, saham-saham sektor perbankan memang menjadi salah satu yang memiliki kecenderungan untuk dilego pelaku pasar. Pasalnya, ketika aktivitas ekonomi lesu, penyaluran kredit juga akan tertekan yang pada akhirnya akan membuat pendapatan dari perbankan ikut tertekan.
Lemahnya perekonomian Indonesia kemudian diafirmasi oleh rilis publikasi Survei Penjualan Eceran (SPE) periode September 2019 oleh BI pada hari Rabu (6/11/2019).
Untuk periode September 2019, survei BI menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel hanya tumbuh tipis sebesar 0,7% secara tahunan (year-on-year/YoY), sangat jauh di bawah capaian periode yang sama tahun lalu (September 2018) yang mencapai 4,8% YoY.
Untuk diketahui,sudah sedari bulan Mei pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3% YoY.
Dalam sembilan bulan pertama tahun ini, penyaluran kredit bank-bank BUKU IV terbilang sudah terdampak oleh lesunya laju perekonomian. Per akhir kuartal III-2018, penyaluran kredit BBCA, BBRI, BMRI, dan BBNI tercatat meningkat masing-masing sebesar 17,3%, 16,5%, 13,8%, dan 15,6% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Per akhir kuartal III-2019, pertumbuhannya melambat menjadi masing-masing sebesar 10,9%, 11,6%, 7,8%, dan 14,7%.
Secara historis, November merupakan bulan yang kurang bersahabat bagi pasar saham tanah air.
Tim Riset CNBC Indonesia menghitung imbal hasil IHSG secara bulanan dalam periode sepuluh tahun terakhir (2009-2018). Hasilnya, dalam 10 bulan November terakhir, IHSG membukukan koreksi sebanyak tujuh kali. IHSG hanya menguat tiga kali secara bulanan pada 10 bulan November terakhir.
Koreksi terparah IHSG dalam 10 bulan November terakhir terjadi pada November 2013. Kala itu, IHSG ambruk hingga 5,64% jika dibandingkan dengan posisi per akhir Oktober 2013.
Untuk diketahui, bulan November menjadi satu di antara dua bulan yang secara rata-rata membukukan imbal hasil negatif dalam 10 tahun terakhir. Selain di bulan November, hal serupa bisa didapati di bulan Agustus.
Ketika IHSG memiliki sejarah yang kelam di bulan November, bisa ditebak saham-saham apa saja yang berkontribusi signifikan dalam menekan kinerja IHSG, yakni saham-saham sektor jasa keuangan, khususnya perbankan.
Pasalnya, sektor jasa keuangan dari tahun ke tahun selalu menjadi sektor dengan bobot terbesar dalam pembentukan IHSG. Per penutupan perdagangan kemarin, indeks sektor jasa keuangan menyumbang sebesar 33,08% dari total kapitalisasi pasar IHSG.
Dalam 10 bulan November terakhir, indeks sektor jasa keuangan membukukan koreksi sebanyak enam kali. Koreksi terparah indeks sektor jasa keuangan dalam 10 bulan November terakhir terjadi pada November 2013. Kala itu, indeks sektor jasa keuangan ambruk hingga 7,84% jika dibandingkan dengan posisi per akhir Oktober 2013.
Jika dirata-rata, dalam 10 bulan November terakhir, indeks sektor jasa keuangan membukukan koreksi sebesar 1,13%. Pada November 2019 (hingga penutupan perdagangan kemarin), indeks sektor jasa keuangan baru membukukan koreksi sebesar 0,66%.
Lantas, bisa disimpulkan bahwa memang biasanya saham-saham perbankan akan mendapatkan tekanan di bulan November. Bahkan kalau berkaca kepada sejarah, tentu masih terbuka ruang bagi saham-saham perbankan untuk kembali membukukan koreksi di sisa bulan ini.
Jadi sekali lagi, tak tepat jika ada yang mengaitkan ambruknya harga saham bank BUKU IV dengan permintaan dari Jokowi kepada para bankir untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit.
Yang benar, saham-saham perbankan dilego seiring dengan lesunya laju perekonomian yang pada akhirnya mempengaruhi performa perbankan dalam menyalurkan kredit. Selain itu, kebiasaan dari pelaku pasar yang sering melego saham-saham perbankan pada bulan November ikut berkontribusi terhadap koreksi yang kita dapati dalam beberapa hari terakhir.
Kalau ternyata ada pelaku pasar yang melego kepemilikannya atas saham-saham perbankan lantaran takut bahwa pemerintah akan mengintevensi penentuan tingkat suku bunga kredit perbankan, ya mereka salah kaprah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Selain BRI, Asing Juga Borong BCA & Cetak Rekor Harga Lagi
