Rupiah Kini Terlemah Kedua di Asia, Ada Apa Gerangan?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 November 2019 10:16
Rupiah Kini Terlemah Kedua di Asia, Ada Apa Gerangan?
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Namun rupiah setia di zona merah di perdagangan pasar spot.

Pada Jumat (8/11/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.020. Rupiah menguat 0,14% dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Akan tetapi di pasar spot, rupiah juga melemah. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.017 di mana rupiah melemah 0,19%.

Kala pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,11%. Depresiasi rupiah semakin dalam dan dolar AS leluasa bergerak di kisaran Rp 14.000.


Tidak hanya rupiah, sebagian besar mata uang utama Asia juga melemah di hadapan greenback. Namun rupiah menjadi salah satu mata uang terlemah di Asia.

Ringgit Malaysia memang masih menepati posisi juru kunci di klasemen mata uang Asia. Rupiah tepat berada di atasnya, alias runner-up dari bawah.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 10:05 WIB:

 


Spekulasi soal damai dagang AS-China masih menjadi sentimen utama di pasar keuangan dunia, termasuk Asia. Kemarin, ada kabar gembira yaitu AS-China disebut sudah sepakat untuk mencabut bea masuk tambahan yang sudah dikenakan selama perang dagang lebih dari setahun terakhir. Penghapusan bea masuk tersebut menjadi salah satu poin dalam perjanjian damai dagang fase I.

Sejauh ini, AS sudah mengenakan bea masuk terhadap importasi produk China senilai US$ 550 miliar. Sementara China balas membebankan bea masuk terhadap impor produk made in the USA senilai US$ 185 miliar.

"Kedua pihak sepakat untuk membatalkan bea masuk secara bertahap. Proses negosiasi berjalan dengan sangat baik," kata Gao Feng, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China, seperti diwartakan Reuters.


Namun, hari ini pelaku pasar kembali dibuat gelisah. Reuters memberitakan penghapusan bea masuk menimbulkan pertentangan di internal pemerintahan AS. Beberapa sumber mengungkapkan bahwa terjadi penolakan terhadap rencana tersebut.

"Tidak ada kesepakatan yang spesifik soal pencabutan bea masuk. Pihak AS masih bersikap ambigu, sementara China memang sangat berharap (penghapusan bea masuk) bisa terwujud," tegas Michael Pillsbury, penasihat Presiden AS Donald Trump yang berada di luar pemerintahan.

Peter Navarro, Penasihat Perdagangan Gedung Putih, juga menegaskan bahwa belum ada kesepakatan soal penghapusan bea masuk. Dia menilai China melakukan klaim sepihak.

"Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai pencabutan bea masuk sebagai syarat ditandatanganinya perjanjian damai dagang fase I. Mereka (China) mencoba bernegosiasi di ruang publik," tegas Navarro dalam wawancara bersama Fox Business Network, seperti dikutip dari Reuters.

Akibatnya, investor kembali memasang mode bermain aman. Sebelum ada kejelasan kapan dan di mana perjanjian damai dagang AS-China ditandatangani, memang sebaiknya menahan diri dulu. Sebab sebelum ada hitam di atas putih, semua hal bisa terjadi dan begitu banyak spekulasi berseliweran.



Sementara dari dalam negeri, laju rupiah juga terbeban karena penantian terhadap data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal III-2019. Pos yang akan dicermati oleh pelaku pasar adalah transaksi berjalan (current account).

Transaksi berjalan menggambarkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Pasokan valas dari pos ini dinilai lebih stabil, lebih tahan lama, sehingga mampu menopang stabilitas nilai tukar.

Masalahnya, transaksi berjalan Indonesia terus mencatat defisit sejak 2011. Ini membuat rupiah rentan berfluktuasi cenderung melemah kala terjadi guncangan di perekonomian, sebab mata uang Tanah Air bergantung kepada pasokan devisa dari investasi portofolio di sektor keuangan (hot money) yang bisa datang dan pergi kapan saja.


Pada kuartal II-2019, defisit transaksi berjalan mencapai 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Namun pada kuartal III-2019, sepertinya defisit itu akan melandai di bawah 3% PDB.

Sebab kinerja neraca perdagangan pada kuartal III-2019 jauh membaik ketimbang kuartal sebelumnya. Net ekspor juga sudah memberikan kontribusi positif dalam pembentukan PDB kuartal III-2019 setelah kuartal sebelumnya negatif.

Jika benar transaksi berjalan Indonesia membaik pada periode Juli-September 2019, maka bisa menjadi sentimen positif bagi rupiah. Pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa, walau masih seret, tetapi tidak separah kuartal sebelumnya. Semoga sentimen ini cukup kuat untuk mengangkat rupiah dari zona merah.



TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular