Benarkah Pertumbuhan Ekonomi RI Meyakinkan? IHSG Melesat 1,3%

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 November 2019 16:33
Benarkah Pertumbuhan Ekonomi RI Meyakinkan? IHSG Melesat 1,3%
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan kedua di pekan ini, Selasa (5/11/2019), di zona hijau.

Pada pembukaan perdagangan, IHSG menguat 0,39% ke level 6.204,44. Per akhir sesi satu, apresiasi IHSG sudah bertambah lebar menjadi 0,63% ke level 6.218,95. Per akhir sesi dua, IHSG kembali memperlebar penguatannya menjadi 1,36% ke level 6.264,15.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendongkrak kinerja IHSG di antaranya: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (+3,37%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+4,73%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+1,35%), PT Astra International Tbk/ASII (+2,99%), dan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (+6,57%).

Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang sedang kompak melaju di zona hijau: indeks Nikkei melejit 1,76%, indeks Shanghai naik 0,54%, indeks Hang Seng menguat 0,49%, indeks Straits Times terapresiasi 0,35%, dan indeks Kospi bertambah 0,58%.

Asa damai dagang AS-China yang kian terasa menjadi faktor yang memantik aksi beli di bursa saham Benua Kuning.

Bloomberg melaporkan bahwa China kini tengah melakukan kajian terkait dengan lokasi-lokasi di AS yang berpotensi dijadikan tempat bagi Presiden China Xi Jinping untuk meneken kesepakatan dagang tahap satu dengan Presiden AS Donald Trump. Pemberitaan tersebut menngutip sumber-sumber yang mengetahui tentang perkembangan negosiasi dagang AS-China.

Sumber-sumber tersebut menyebutkan bahwa Beijing berharap penandatanganan kesepakatan dagang tahap satu di AS akan menjadi bagian dari kunjungan kenegaraan Xi, namun pihak Beijing juga membuka opsi bagi Xi untuk menyambangi AS tanpa label kunjungan kenegaraan.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross optimistis bahwa kesepakatan dagang tahap satu antara AS dan China akan bisa diteken pada bulan ini juga. Sementara itu, Trump sebelumnya sudah mengungkapkan bahwa jika kedua negara benar berhasil menyepakati kesepakatan dagang tahap satu, penandatanganan akan digelar di AS.

"Pertama-tama, saya ingin meneken kesepakatan dagang," kata Trump di Gedung Putih kala berbicara di hadapan reporter, Minggu (3/11/2019), seperti dilansir dari Bloomberg.

"Lokasi penandatangan kesepakatan dagang, untuk saya, sangatlah mudah (untuk ditentukan)."

Untuk diketahui, pada awalnya AS dan China berencana untuk meneken kesepakatan dagang tahap satu di Chile, kala Trump bertemu dengan Xi di sela-sela gelaran KTT APEC. Namun, rencana tersebut kemudian dipertanyakan menyusul keputusan Chile untuk membatalkan gelaran tersebut, seiring dengan aksi demonstrasi yang tak kunjung padam di sana.

Wajar jika pelaku pasar begitu mengapresiasi potensi ditekennya kesepakatan dagang tahap satu antara AS dan China.

Pasalnya, hingga saat ini kedua negara telah mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk impor dari masing-masing negara senilai ratusan miliar. Bahkan, AS telah bersikap lebih keras dengan memblokir perusahaan-perusahaan asal China dari melakukan bisnis dengan AS.

Pada Mei 2019, Trump mendeklarasikan kondisi darurat nasional di sektor teknologi melalui sebuah perintah eksekutif. Dengan aturan itu, Menteri Perdagangan Wilbur Ross menjadi memiliki wewenang untuk memblokir transaksi dalam bidang teknologi informasi atau komunikasi yang menimbulkan risiko bagi keamanan nasional AS.

Bersamaan kebijakan ini, Huawei Technologies dan 68 entitas yang terafiliasi dengan Huawei Technologies dimasukkan ke dalam daftar perusahaan yang dilarang membeli perangkat dan komponen dari perusahaan AS tanpa persetujuan pemerintah.

Dalam keterangan resmi yang diperoleh CNBC Indonesia dari halaman Federal Register, pemerintah AS beralasan bahwa terdapat dasar yang cukup untuk mengambil kesimpulan bahwa Huawei telah terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan keamanan nasional atau arah kebijakan luar negeri dari AS.

Bukan hanya keamanan nasional, Hak Asasi Manusia (HAM) juga dijadikan alasan oleh pihak AS untuk memblokir perusahaan asal China dalam upayanya untuk memenangkan perang dagang. Per tanggal 9 Oktober 2019, AS resmi memasukkan 28 entitas asal China ke dalam daftar hitam, di mana sebanyak delapan di antaranya merupakan perusahaan teknologi raksasa asal China.

Dimasukkan delapan perusahaan teknologi raksasa asal China tersebut membuat mereka tak bisa melakukan bisnis dengan perusahaan asal AS tanpa adanya lisensi khusus. AS beralasan bahwa kedelapan perusahaan tersebut terlibat dalam pelanggaran HAM terhadap kaum Muslim di Xinjiang, China.

Jika AS dan China benar bisa meneken kesepakatan dagang tahap satu, ada peluang bea masuk tambahan yang kini sudah diterapkan dan pemblokiran terhadap perusahaan-perusahaan asal China bisa dicabut. Jika ini yang terjadi, roda perekonomian kedua negara, beserta dunia, bisa dipacu untuk berputar lebih kencang.

Dari dalam negeri, sentimen positif bagi pasar saham datang dari rilis angka pertumbuhan ekonomi.

Sepanjang kuartal III-2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,02% secara tahunan (year-on-year/YoY). Capaian tersebut sama persis dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia, namun lebih tinggi ketimbang konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg yang hanya sebesar 5%.

Respons awal dari pelaku pasar saham tanah air terhadap rilis angka pertumbuhan ekonomi adalah negatif. IHSG sempat menipiskan penguatannya menjadi 0,36% ke level 6.202,8, pasca sebelumnya menguat 0,39% sebelum angka pertumbuhan ekonomi dirilis.

Namun kemudian, IHSG justru memperlebar penguatannya dengan signifikan hingga mengakhiri hari dengan apresiasi sebesar 1,36%.

Pelaku pasar saham tanah air tampak lega terhadap fakta bahwa perekonomian Indonesia masih mampu tumbuh di atas 5%.

Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan, jauh di bawah konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,19%. Pada kuartal II-2019, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan, sama persis dengan konsensus. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,06% YoY.

Angka pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan pertama tahun ini sedikit berada di atas capaian periode yang sama tahun sebelumnya (kuartal I-2018) yang sebesar 5,06%. Sementara untuk periode kuartal-II 2019, pertumbuhan ekonomi jauh lebih rendah jika dibandingkan capaian kuartal II-2018 yang mencapai 5,27%. 

Pada kuartal III-2019, angka pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02% tersebut lantas berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Capaian tersebut juga jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.

Walaupun terbilang lemah, seperti yang sudah disebutkan di atas, pelaku pasar mengapresiasi fakta bahwa perekonomian Indonesia masih mampu tumbuh di atas 5%. Pasalnya, sebelum angka pertumbuhan ekonomi dirilis, ada kekhawatiran yang besar bahwa perekonomian Indonesia tak akan mampu tumbuh mencapai 5%.

Berbicara mengenai angka pertumbuhan ekonomi, pastilah kita berbicara mengenai konsumsi rumah tangga. Maklum, lebih dari 50% perekonomian Indonesia dibentuk oleh konsumsi rumah tangga. Pada tahun 2018, konsumsi rumah tangga menyumbang sebesar 55,7% dari total perekonomian Indonesia.

Ada indikasi yang kuat bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada dalam posisi yang lemah. Pada pekan lalu, BPS mengumumkan bahwa pada Oktober 2019 terjadi inflasi sebesar 0,02% secara bulanan (month-on-month/MoM), sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,13%. 

"Hasil pantauan BPS di 82 kota terjadi inflasi 0,02%. Untuk inflasi tahun kalender Januari-Oktober 2019 mencapai 2,22% dan year-on-year 3,13%," kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi persnya, Jumat (1/11/2019).

Inflasi pada bulan lalu berada di posisi yang lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan adanya inflasi sebesar 0,12% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan sebesar 3,23%.

Lantas, lagi-lagi inflasi berada di bawah ekspektasi. Untuk periode September 2019, BPS mencatat terjadi deflasi sebesar 0,27% secara bulanan, lebih dalam dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang memproyeksikan deflasi sebesar 0,15% saja.

Untuk diketahui, jika ditotal untuk periode kuartal III-2019, Indonesia membukukan inflasi sebesar 0,16% saja. Inflasi pada kuartal III-2019 berada jauh di bawah rata-rata inflasi kuartal III dalam empat tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mencapai 0,62%.

Lebih lanjut, indikasi lemahnya daya beli masyarakat Indonesia juga datang dari kinerja penjualan barang-barang ritel yang lesu. Sudah sedari bulan Mei, pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3% YoY.

Pada kuartal III-2019, konsumsi rumah tangga masih mampu untuk tumbuh di atas level 5% secara tahunan, tepatnya 5,01%.

Dengan perekonomian yang masih mampu tumbuh di kisaran 5% pada periode kuartal III-2019, ada harapan yang besar bahwa angka pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan tahun 2019 juga akan berada di atas 5%. 

Sebelumnya, rilis angka pertumbuhan ekonomi jelas membuat pelaku pasar saham tanah air gemetar. Dalam tiga hari perdagangan sebelum hari ini, IHSG selalu mengakhiri hari di zona merah.

Kini, angka pertumbuhan ekonomi yang relatif oke berbalik menjadi sentimen positif bagi pasar saham dan membuat IHSG melejit.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular