Jatuh 0,7% Dalam Sepekan, IHSG Jadi yang Terburuk di Asia

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
02 November 2019 11:05
Jatuh 0,7% Dalam Sepekan, IHSG Jadi yang Terburuk di Asia
Foto: Gedung Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencetak imbal hasil negatif secara mingguan pada perdagangan di pekan ini. Sepanjang pekan ini, indeks saham acuan di Indonesia tersebut terkoreksi 0,7%, dari level 6.252,35 ke level 6.207,19.

Walau tak signifikan, koreksi yang sebesar 0,7% tersebut sudah cukup untuk menempatkan IHSG sebagai indeks saham dengan kinerja terburuk di kawasan Asia. Pasalnya, tak ada satupun indeks saham di kawasan Asia yang mencetak koreksi sepanjang pekan ini.

Bursa saham Benua Kuning menguat menyusul keputusan The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS untuk memangkas tingkat suku bunga acuan pada pekan ini.

Pasca menggelar pertemuan selama dua hari, The Fed memutuskan untuk memangkas federal funds rate sebesar 25 bps ke rentang 1,5%-1,75%. Lemahnya pertumbuhan ekonomi global dan rendahnya tingkat inflasi menjadi faktor yang mendasari keputusan tersebut.

Keputusan The Fed untuk memangkas tingkat suku bunga acuan sesuai dengan konsensus yang juga memperkirakan bahwa tingkat suku bunga acuan akan kembali dipangkas dengan besaran 25 bps.

Sebelum pada pekan ini, The Fed telah memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak dua kali di tahun 2019, masing-masing sebesar 25 bps, yakni pada bulan Juli dan September. Jika ditotal dengan pemangkasan pada pekan inii, federal funds rate sudah dipangkas sebesar 75 bps oleh Jerome Powell (Gubernur The Fed) dan koleganya di bank sentral.

Dengan dipangkasnya tingkat suku bunga acuan lebih lanjut, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.

Memang, ruang bagi The Fed untuk kembali memangkas tingkat suku bunga acuan terbuka lebar, seiring dengan tingkat inflasi AS yang rendah. Untuk diketahui, The Fed memiliki dua mandat yang ditetapkan oleh Kongres AS, yakni kestabilan harga (inflasi) dan tingkat penyerapan tenaga kerja yang maksimum.

Berbicara mengenai inflasi, saat ini tingkat inflasi AS berada di level yang rendah. Untuk diketahui, acuan yang digunakan oleh The Fed untuk mengukur tingkat inflasi adalah Core Personal Consumption Expenditures (PCE) price index.

Data teranyar, Core PCE price index tercatat tumbuh sebesar 1,8% secara tahunan pada Agustus 2019, masih cukup jauh di bawah target The Fed yang sebesar 2%.

Kali terakhir Core PCE price index mencapai target The Fed adalah pada Desember 2018 silam kala pertumbuhannya adalah 2%, sama persis dengan target. Selepas itu, pertumbuhan Core PCE price index selalu berada di bawah angka 2%.

Faktor domestik menjadi penyebab di balik lesunya kinerja pasar saham tanah air. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa pada bulan lalu terjadi inflasi sebesar 0,02% secara bulanan (month-on-month/MoM), sementara inflasi secara tahunan (year-on-year/YoY) berada di level 3,13%.

"Hasil pantauan BPS di 82 kota terjadi inflasi 0,02%. Untuk inflasi tahun kalender Januari-Oktober 2019 mencapai 2,22% dan year-on-year 3,13%," kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi persnya, Jumat (1/11//2019). 

Inflasi pada bulan lalu berada di posisi yang lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan adanya inflasi sebesar 0,12% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan sebesar 3,23%.

Lantas, lagi-lagi inflasi berada di bawah ekspektasi. Untuk periode September 2019, BPS mencatat terjadi deflasi sebesar 0,27% secara bulanan, lebih dalam dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang memproyeksikan deflasi sebesar 0,15% saja.

Untuk diketahui, jika ditotal untuk periode kuartal III-2019, Indonesia membukukan inflasi sebesar 0,16% saja. Inflasi pada kuartal III-2019 berada jauh di bawah rata-rata inflasi kuartal III dalam empat tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mencapai 0,62%.

Di era pemerintahan Jokowi, inflasi kuartal III-2019 yang hanya sebesar 0,16% merupakan inflasi kuartal III terendah kedua, pasca pada kuartal III-2018 Indonesia hanya mencatatkan inflasi sebesar 0,05%.

Dengan inflasi yang terus saja berada di bawah ekspektasi, timbul kekhawatiran bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada dalam tekanan.

Apalagi, indikasi lemahnya daya beli masyarakat Indonesia juga datang dari kinerja penjualan barang-barang ritel yang lesu. Sudah sedari bulan Mei, pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3% YoY.

Merespons adanya indikasi yang kuat bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada dalam tekanan, saham-saham konsumer pun dilego pelaku pasar. Dalam dua perdagangan terakhir di pekan ini (Kamis & Jumat, 31 Oktober & 1 November), jika ditotal indeks sektor barang konsumsi melemah sebesar 1%.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular