Ini Negara-negara yang Sudah 'Buang Dolar', Indonesia Bisa?

Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
01 November 2019 13:38
Ini Negara-negara yang Sudah 'Buang Dolar', Indonesia Bisa?
Jakarta, CNBC Indonesia - Berbagai negara besar di dunia, seperti Rusia dan China, ingin mengurangi ketergantungan mereka pada dolar Amerika Serikat (AS).

Salah satu caranya adalah dengan memakai mata uang lokal dalam bertransaksi di perdagangan internasional.


Alasan mereka 'membuang' dolar dari sistem keuangan mereka adalah karena AS kerap kali menggunakan akses ke sistem pembayaran dolar sebagai senjata untuk 'menghukum' negara dan individu yang melanggar undang-undang AS. Hal ini bahkan berlaku di luar Amerika Serikat juga.

Contohnya adalah apa yang terjadi pada Iran, kata Anne Korin, co-director di think tank energi dan keamanan dari Institute for Analysis of Global Security. Seperti diketahui Presiden AS Donald Trump pada 2018 lalu telah menarik negaranya keluar dari perjanjian nuklir Iran 2015. Setelahnya, Trump mengancam akan akan menghukum perusahaan domestik dan perusahaan asing, yang beroperasi di negara tersebut dan melakukan aktivitas bisnis dengan Iran.

Akibat dari hal ini, berbagai perusahaan pun banyak yang menunda atau membatalkan bisnisnya dengan Iran. Ini jelas merugikan.


Oleh karena itu, negara-negara itu semakin ingin untuk mengurangi ketergantungan dalam menggunakan dolar, kata Korin.

Berikut adalah beberapa negara besar yang mulai membuang dolar:

[Gambas:Video CNBC]



China

Perang dagang yang sedang berlangsung antara China dengan AS telah memaksa negara ini untuk mengambil berbagai langkah untuk mengurangi ketergantungan pada dolar. Memang, negara yang dipimpin Presiden Xi Jinping ini belum secara terang-terangan mengumumkan langkah ini. Namun, bank sentral negara People's Bank of China telah secara teratur mengurangi kepemilikan mereka akan surat utang pemerintah AS, US Treasuries.

Meski masih menjadi pemegang asing nomor satu dari US Treasuries, namun kepemilikannya telah berkurang hingga mencapai level terendah sejak Mei 2017 pada awal tahun ini, mengutip laporan RT.

Selain itu, China juga mencoba menginternasionalkan mata uangnya sendiri, yuan. Hal ini terbukti dari langkah pemerintah yang baru-baru ini mengambil beberapa langkah untuk menguatkan yuan, termasuk mengakumulasi cadangan emas, meluncurkan saham berjangka (futures) minyak mentah dengan denominasi yuan, dan menggunakan mata uang itu dalam perdagangan dengan mitra internasional.

China juga memiliki proyek Belt and Road, di mana negara-negara yang terlibat di dalamnya disarankan untuk menggunakan yuan sebagai alat transaksi.

Rusia

Menteri Keuangan Rusia Anton Siluanov pada awal tahun ini secara terang-terangan telah menyarankan negaranya untuk membuang kepemilikannya atas Treasury AS dan beralih ke aset yang lebih aman seperti seperti rubel, euro, dan logam mulia. Rusia masuk dalam 10 besar negara dengan kepemilikan Treasury AS terbesar.

Rusia telah melakukan beberapa upaya untuk menuju de-dolarisasi (membuang dolar) setelah dijatuhi sanksi yang terus meningkat sejak 2014 untuk beberapa masalah. Rusia juga telah mengembangkan sistem pembayaran nasional sebagai alternatif untuk SWIFT, Visa dan Mastercard setelah AS mengancam sanksi baru yang lebih keras yang akan menargetkan sistem keuangan Rusia.

Sejauh ini, Moskow telah berhasil membuang sedikit dolar dari ekspornya, menandatangani perjanjian pertukaran mata uang dengan sejumlah negara termasuk China, India dan Iran. Rusia baru-baru ini juga telah mengusulkan penggunaan euro sebagai ganti dolar AS dalam perdagangan dengan Uni Eropa.


India

India, ekonomi terbesar keenam di dunia, adalah salah satu importir barang dagangan terbesar dari Amerika Serikat. Tidak mengherankan bahwa India secara langsung dipengaruhi oleh sebagian besar konflik geopolitik global dan secara signifikan dipengaruhi oleh sanksi yang diterapkan kepada mitra dagangnya.

Seperti diketahui, AS telah menerapkan sanksi pada beberapa mitra dagang India, yaitu Rusia dan Iran. Akibat dari ini, saat melakukan pembelian pesawat tempur S-400 dari Rusia, kedua negara bertransaksi menggunakan rubel. Sementara saat membeli minyak mentah Iran, kedua negara menggunakan mata uang India rupee untuk bertransaksi setelah AS menerapkan kembali sanksi pada Iran.

Lebih lanjut, pada bulan Desember, India dan Uni Emirat Arab (UEA) menyegel perjanjian pertukaran mata uang (currency-swap agreement) untuk meningkatkan perdagangan dan investasi tanpa melibatkan mata uang ketiga. Langkah ini pun terancam membuat peran dolar dalam perdagangan global menyusut.

Turki

Awal tahun ini, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengumumkan rencana untuk mengakhiri monopoli dolar AS melalui kebijakan baru yang ditujukan untuk perdagangan non-dolar dengan mitra internasional negara itu. Kemudian, Erdogan mengumumkan bahwa negaranya sedang bersiap untuk melakukan perdagangan menggunakan mata uang nasional dengan China, Rusia dan Ukraina. Turki juga berencana untuk menggunakan uang nasional dalam melakukan transaksi perdagangan dengan Iran dan membuang dolar.

Langkah itu didorong oleh alasan politik dan ekonomi.

Seperti diketahui, hubungan Turki dan AS terus memburuk sejak kudeta militer di negara itu untuk menggulingkan Presiden Erdogan pada 2016 gagal dilakukan. Erdogan mencurigai AS terlibat dalam kudeta itu.

Selain itu, Turki berusaha untuk membuang dolar dalam upaya untuk mendukung mata uang nasionalnya, lira. Mata uang Turki ini telah kehilangan hampir setengah nilainya terhadap dolar selama setahun terakhir. Penurunan mata uang diperburuk oleh melonjaknya inflasi dan meningkatnya harga barang dan jasa.

Iran

Langkah Presiden AS Donald Trump menarik negaranya keluar dari perjanjian nuklir 2015 pada tahun 2018 lalu telah membuat Iran tidak bisa lagi berdagang secara bebas dengan berbagai negara dunia.

Keadaan itu diperparah sanksi yang kembali diberlakukan Trump untuk ekonomi Iran. Trump bahkan mengancam akan menerapkan hukuman bagi negara manapun yang melakukan transaksi dengan Iran.

Sanksi itu juga telah memaksa Iran untuk mencari alternatif terhadap dolar AS sebagai alat pembayaran untuk ekspor minyaknya. Salah satu hasilnya adalah jual beli minyak yang dilakukan dengan India pun akhirnya memakai rupee. Mereka juga menegosiasikan kesepakatan barter dengan negara tetangga Irak. Keduanya juga berencana untuk menggunakan dinar Irak untuk transaksi bersama untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS.


Indonesia sebenarnya sudah berupaya melepas ketergantungannya dari dolar AS. Bahkan Bank Indonesia, sudah bekerja sama dengan bank sentral negara lain untuk membuat Billateral Currency Swap Agreement (BCSA).

BCSA adalah fasilitas di bank sentral yang bisa digunakan oleh importir. Misalnya importir Indonesia mau membeli barang dari China, tidak perlu menyiapkan dan membayar dengan dolar AS seperti yang terjadi selama ini.

BI punya fasilitas yuan China yang bisa diakses kapan saja. Saat ini BCSA sudah dilakukan dengan sejumlah negara seperti Malaysia, Thailand, China, Filipina dan Australia.

Namun apakah aksi 'buang' dolar AS secara massal ini akan berhasil? Sejauh ini sepertinya belum.

BI mencatat penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan Indonesia dengan Malaysia dan Thailand sepanjang kuartal I-2019 setara dengan US$ 83 juta.

Padahal selama periode tersebut nilai perdagangan Indonesia dengan dua negara tersebut mencapai US$ 4,58 miliar. Penggunaan mata uang lokal masih sangat minim, tidak sampai 2%.
(sef/sef) Next Article Trump Tau Banyak Negara 'Buang Dolar', Ini yang Dilakukannya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular