
Asing Belum Setop Jual Saham, Kabinet Jokowi Tak Menarik?

Meskipun angka negatifnya tipis-tipis dan dengan asumsi tidak ada investor lokal yang menggunakan identitas sebagai investor asing, tidaklah haram jika angka itu dianggap mencerminkan kurangnya apresiasi dari investor global dalam pemilihan menteri oleh pemerintahan baru hari ini (23/10/19).
Atau bahkan, euforia pemerintahan baru oleh presiden petahana Joko Widodo periode kedua ini kurang berkesan seperti halnya pada 5 tahun lalu pada periode pertama.
Nyatanya, aksi jual di pasar saham tahun ini memang masih terus menerus terjadi, baik sejak awal tahun maupun sejak pemilihan presiden digelar pada 17 April.
Sejak pilpres, angka transaksi investor asing hingga pelantikan presiden pada Minggu (18/10/19) dibukukan minus Rp 13,09 triliun, yang akhirnya mencerminkan aksi jual bersih pada nilai yang sama. Dari mulai Senin di awal pekan hingga hari ini pun total akumulasi nilai transaksi asing juga masih negatif Rp 131,91 miliar dan belum ada aksi beli bersih di sana.
Jika dirunut secara bulanan sejak awal Januari, investor asing baru menunjukkan ketertarikan masuk ke pasar saham pada April, ketika aksi beli bersih di pasar reguler terjadi pada periode tersebut.
Tentu aksi jual bersih investor asing baik hari ini ataupun sejak awal tahun tidak lepas juga dari banyak sentimen negatif lain seperti kinerja emiten saham yang kurang memuaskan, daya beli yang turun, perang dagang Amerika Serikat (AS)-China yang memanas sejak awal tahun, Brexit, hingga ancaman resesi global.
Padahal, perang dagang yang terjadi tampaknya membuat pasar saham domestik juga tidak rela karena pasar saham negara maju seperti Wall Street justru menunjukkan penguatan sepanjang tahun ketika koreksi tak henti-hentinya menyerang Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), indeks saham utama domestik yang memasukkan seluruh saham yang tercatat di bursa.
IHSG tercatat tidak dapat berbuat banyak dan sulit terlepas dari jerat koreksi. Baru awal pekan ini IHSG memiliki gairah dan mampu melampaui posisi akhir tahun lalu yang hanya 6.190.
Koreksi dan jual bersih asing di pasar saham itu tentu sangat bertolak belakang dengan pasar surat utang negara (SUN) yang justru membukukan aksi beli bersih secara konstan sejak awal tahun. Hingga kemarin, investor asing masih mencetak surplus Rp 146,3 triliun yang artinya dana asing lebih banyak yang masuk dibandingkan yang keluar dari pasar obligasi.
Bahkan ketika pernah ada bulan yang negatif pada April, Mei, dan Agustus, hampir tidak pernah terlihat nilai kepemilikan investor asing negatif sepanjang tahun, baik sejak periode pemilihan presiden hingga kemarin. Data kepemilikan SUN terkini yang diterbitkan Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu dapat berselang sehari hingga 3 hari ke belakang.
Pasar obligasi memang masih dibekap oleh sentimen dari penurunan suku bunga sejak awal tahun, yang merupakan senjata moneter bank sentral untuk menghadapi perlambatan ekonomi dan menggenjot aktivitas ekonomi di dalam negeri. Apalagi, tren penurunan suku bunga belum berhenti.
Wawan Hendrayana, Head of Capital Market Research PT Infovesta Utama, menilai bahwa instrumen obligasi konvensional dan surat utang syariah (sukuk) masih cukup menarik di tengah tren penurunan suku bunga. Menurut dia, instrumen obligasi masih memberikan pengembalian investasi (return) yang relatif lebih tinggi ketika tren penurunan suku bunga terjadi.
Dari sisi return instrumen obligasi, indeks IndoBex Government Total Return keluaran PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) yang menghitung keuntungan investor pada instrumen surat utang negara (SUN), menunjukkan ada potensi keuntungan investasi 11,08% hingga 4 Oktober dan sebesar 12,19% hingga hari ini.
Selain obligasi pemerintah, obligasi korporasi yang diterbitkan perusahaan BUMN dan swasta juga menunjukkan keuntungan sepanjang periode yang sama, meskipun tidak sebesar SUN. INDOBeX Corporate Total Return yang mewakili obligasi korporasi menunjukkan keuntungan dari instrumen itu mencapai 10,88% per 4 Oktober dan 11,7% per hari ini.
Wawan menambahkan bahwa return obligasi dan reksa dana berbasis obligasi, baik reksa dana pendapatan tetap maupun proteksi, masih tetap menarik hingga tahun depan, terutama karena tren penurunan suku bunga 7DRRR masih bisa terjadi.
Infovesta yang memiliki sumber data dan riset pasar modal terutama reksa dana, lanjutnya, memprediksi penurunan suku bunga acuan domestik bisa mencapai 4,5% tahun depan dari saat ini 5,25%. Dia menilai penurunan itu dapat membuat return investasi reksa dana terproteksi tahun depan dapat mencapai sekitar 6%-7%.
Beberapa pelaku pasar lain juga berpendapat tidak sedikit dana dari pasar saham yang dialihkan ke pasar obligasi mengingat prospek efek utang masih lebih tinggi hingga tahun depan. Namun, wallahu a'lam, Tuhan Maha Mengetahui.
Besok, Bank Indonesia dijadwalkan akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) di mana pelaku pasar masih ada yang berharap suku bunga acuan 7DRRR akan diturunkan lagi. Mari kita tunggu keputusannya besok, dan apapun keputusannya dapat membuat pasar modal lebih bergairah lagi, baik di pasar saham maupun obligasi.
Semoga, minat investor global pada pasar saham akan kembali muncul tidak lama lagi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/irv) Next Article Komoditas Hingga Perbankan, Sektor Berpeluang Melesat di 2021