
Deg-degan! Rupiah Baru Bisa Menguat di Menit-menit Akhir
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 October 2019 17:17

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah melawan dolar Amerika Serikat (AS) mencatat penguatan dalam 2 hari beruntun pada perdagangan Jumat (18/10/19), dengan melewati perjuangan di menit-menit akhir.
Mengawali perdagangan hari ini, rupiah sebenarnya langsung menguat 0,09% ke level Rp 14.130/US$, dan terus menambah penguatan hingga 0,16% di level US$ 1.4120.
Tetapi setelahnya rupiah kedodoran, perlahan penguatan terpangkas hingga berbalik melemah 0,04% ke US$ 14.148/US$. Titik tersebut merupakan yang terlemah pada hari ini, setelahnya rupiah bolak balik ke zona hijau dan zona merah secara tipis-tipis.
Beberapa menit jelang perdagangan berakhir, rupiah akhirnya masuk ke zona hijau dan menguat 0,03% ke level Rp 14.139/US$.
Penguatan rupiah, meski tipis, terbilang cukup bagus jika dibandingkan dengan mata uang utama Asia hari ini yang bergerak variatif.
Hingga pukul 16:15 WIB, peso Filipina menjadi mata uang terbaik hari ini setelah mencatat penguatan 0,23%. Dolar Taiwan dan rupee India melengkapi tiga besar dengan menguat 0,16% dan 0,05%.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hari ini.
BERLANJUT KE HALAMAN 2: Dolar AS sedang loyo, data ekonomi China bebani pasar Asia
Tanda-tanda memburuknya kondisi ekonomi AS memicu lagi kecemasan akan resesi yang membuat dolar AS tertekan.
Departemen perdagangan AS melaporkan penjualan ritel di bulan September turun 0,3% month-on-month (MoM). Penurunan tersebut merupakan yang pertama dalam 7 bulan terakhir. Rilis tersebut berbanding terbalik dengan hasil survei Reuters terhadap para ekonom yang memprediksi kenaikan 0,3%.
Sementara penjualan ritel inti yang tidak memasukkan sektor otomotif dalam perhitungan turun 0,1% MoM.
Penurunan penjualan ritel di bulan September menunjukkan melambatnya belanja konsumen AS. Sektor belanja konsumen berkontribusi sekitar 66% terhadap pertumbuhan ekonomi AS.
Dengan pelambatan tersebut, pertumbuhan ekonomi Negeri Adikuasa di kuartal III-2019 tentunya akan terseret juga.
Sementara Kamis kemarin, indeks aktivitas manufaktur wilayah Philadelphia turun drastis menjadi 5,6 di bulan ini, dibandingkan bulan September sebesar 12,0.
Akibatnya rilis data-data tersebut kecemasan akan resesi di AS kembali muncul dan spekulasi pemangkasan suku bunga oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) semakin menguat.
Berdasarkan piranti FedWatch milik CME Group sore ini, pelaku pasar melihat probabilitas sebesar 85,% The Fed akan memangkas suku bunga 25 basis poin menjadi 1,5-1,76% pada 30 Oktober (31 Oktober dini hari WIB). Dolar pun KO.
Selain tekanan terhadap dolar AS, sentimen positif di pasar finansial juga yang membantu rupiah menguat di awal perdagangan hari ini. Sentimen tersebut datang dari kesepakatan Brexit antara Pemerintah Inggris dengan Uni Eropa Kamis sore kemarin.
Adanya deal antara Pemerintah Inggris dengan Uni Eropa memberikan kelegaan di pasar, sebelumnya beredar isu jika pihak Uni Eropa enggan untuk membahas proposal Brexit dengan PM Johnson, dan menyatakan proposal Brexit era mantan PM Theresa May merupakan penawaran terbaik yang diberikan.
Dengan adanya deal tersebut, potensi terjadinya hard Brexit atau Inggris bercerai dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun, kini semakin berkurang. Hard Brexit dikhawatirkan akan membawa ekonomi Inggirs ke jurang resesi, dan bisa jadi turut menyeret negara-negara Benua Biru lainnya.
Meski demikian proposal tersebut masih harus disetujui oleh Parlemen Inggris pada Sabtu (19/10/19) besok. Jika proposal tersebut ditolak, maka Brexit akan menyajikan "drama" lagi, sehingga baik euro maupun poundsterling berpotensi mengalami tekanan.
Sementara itu tekanan pada rupiah datang dari rilis data pertubuhan ekonomi China yang melambat. Negeri Tiongkok merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia, pelambatan yang terjadi di China tentunya akan mempengaruhi permintaan impor dari RI.
Pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 diumumkan sebesar 6% year-on-year (YoY). Ini adalah laju terlemah sejak 1992, kali pertama China memperkenalkan data pertumbuhan ekonomi secara YoY.
Ke depan, buka tidak mungkin pertumbuhan ekonomi China terus melambat. Pasalnya, perang dagang dengan AS belum kunjung usai.
China merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua di dunia di bawah Amerika Serikat. Ketika sang raksasa sedang lesu, tentunya negara-negara lain yang terlibat ekspor-impor akan turut terseret.
Ekonomi China yang lesu secara tidak langsung turut memberikan ancaman ke pelambatan ekonomi RI.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/tas) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Mengawali perdagangan hari ini, rupiah sebenarnya langsung menguat 0,09% ke level Rp 14.130/US$, dan terus menambah penguatan hingga 0,16% di level US$ 1.4120.
Beberapa menit jelang perdagangan berakhir, rupiah akhirnya masuk ke zona hijau dan menguat 0,03% ke level Rp 14.139/US$.
Penguatan rupiah, meski tipis, terbilang cukup bagus jika dibandingkan dengan mata uang utama Asia hari ini yang bergerak variatif.
Hingga pukul 16:15 WIB, peso Filipina menjadi mata uang terbaik hari ini setelah mencatat penguatan 0,23%. Dolar Taiwan dan rupee India melengkapi tiga besar dengan menguat 0,16% dan 0,05%.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hari ini.
BERLANJUT KE HALAMAN 2: Dolar AS sedang loyo, data ekonomi China bebani pasar Asia
Tanda-tanda memburuknya kondisi ekonomi AS memicu lagi kecemasan akan resesi yang membuat dolar AS tertekan.
Departemen perdagangan AS melaporkan penjualan ritel di bulan September turun 0,3% month-on-month (MoM). Penurunan tersebut merupakan yang pertama dalam 7 bulan terakhir. Rilis tersebut berbanding terbalik dengan hasil survei Reuters terhadap para ekonom yang memprediksi kenaikan 0,3%.
Sementara penjualan ritel inti yang tidak memasukkan sektor otomotif dalam perhitungan turun 0,1% MoM.
Penurunan penjualan ritel di bulan September menunjukkan melambatnya belanja konsumen AS. Sektor belanja konsumen berkontribusi sekitar 66% terhadap pertumbuhan ekonomi AS.
Dengan pelambatan tersebut, pertumbuhan ekonomi Negeri Adikuasa di kuartal III-2019 tentunya akan terseret juga.
Sementara Kamis kemarin, indeks aktivitas manufaktur wilayah Philadelphia turun drastis menjadi 5,6 di bulan ini, dibandingkan bulan September sebesar 12,0.
Akibatnya rilis data-data tersebut kecemasan akan resesi di AS kembali muncul dan spekulasi pemangkasan suku bunga oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) semakin menguat.
Berdasarkan piranti FedWatch milik CME Group sore ini, pelaku pasar melihat probabilitas sebesar 85,% The Fed akan memangkas suku bunga 25 basis poin menjadi 1,5-1,76% pada 30 Oktober (31 Oktober dini hari WIB). Dolar pun KO.
Selain tekanan terhadap dolar AS, sentimen positif di pasar finansial juga yang membantu rupiah menguat di awal perdagangan hari ini. Sentimen tersebut datang dari kesepakatan Brexit antara Pemerintah Inggris dengan Uni Eropa Kamis sore kemarin.
![]() |
Adanya deal antara Pemerintah Inggris dengan Uni Eropa memberikan kelegaan di pasar, sebelumnya beredar isu jika pihak Uni Eropa enggan untuk membahas proposal Brexit dengan PM Johnson, dan menyatakan proposal Brexit era mantan PM Theresa May merupakan penawaran terbaik yang diberikan.
Dengan adanya deal tersebut, potensi terjadinya hard Brexit atau Inggris bercerai dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun, kini semakin berkurang. Hard Brexit dikhawatirkan akan membawa ekonomi Inggirs ke jurang resesi, dan bisa jadi turut menyeret negara-negara Benua Biru lainnya.
Meski demikian proposal tersebut masih harus disetujui oleh Parlemen Inggris pada Sabtu (19/10/19) besok. Jika proposal tersebut ditolak, maka Brexit akan menyajikan "drama" lagi, sehingga baik euro maupun poundsterling berpotensi mengalami tekanan.
Sementara itu tekanan pada rupiah datang dari rilis data pertubuhan ekonomi China yang melambat. Negeri Tiongkok merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia, pelambatan yang terjadi di China tentunya akan mempengaruhi permintaan impor dari RI.
Pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 diumumkan sebesar 6% year-on-year (YoY). Ini adalah laju terlemah sejak 1992, kali pertama China memperkenalkan data pertumbuhan ekonomi secara YoY.
Ke depan, buka tidak mungkin pertumbuhan ekonomi China terus melambat. Pasalnya, perang dagang dengan AS belum kunjung usai.
China merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua di dunia di bawah Amerika Serikat. Ketika sang raksasa sedang lesu, tentunya negara-negara lain yang terlibat ekspor-impor akan turut terseret.
Ekonomi China yang lesu secara tidak langsung turut memberikan ancaman ke pelambatan ekonomi RI.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/tas) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular