Bursa Saham Asia Balik Arah, IHSG Jadi Susah Nanjak

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
18 October 2019 12:20
Bursa Saham Asia Balik Arah, IHSG Jadi Susah Nanjak
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak di zona hijau pada perdagangan terakhir di pekan ini, Jumat (18/10/2019). Per akhir sesi satu, indeks saham acuan di Indonesia tersebut menguat 0,13% ke level 6.188,97.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mengerek kinerja IHSG di antaranya: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (+1,23%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+0.82%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (+4,74%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+1,12%), dan PT Pollux Properti Indonesia Tbk/POLL (+5,67%).

Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang justru sedang melaju di zona merah. Hingga berita ini diturunkan, indeks Shanghai turun 0,59%, indeks Hang Seng melemah 0,09%, indeks Straits Times terkoreksi 0,37, dan indeks Kospi berkurang 0,46%.

Rupiah yang sudah tak lagi loyo membuat pelaku pasar saham tanah air berani melakukan aksi beli. Pasca sudah melemah selama tiga hari beruntun dalam periode 14-16 Oktober, kini rupiah menunjukkan performa yang oke. Pada perdgaangan kemarin (17/10/2019), rupiah menguat 0,15% di pasar spot melawan dolar AS. Pada perdagangan hari ini, rupiah kembali menguat yakni sebesar 0,02% ke level Rp 14.140/dolar AS.

Rilis data perdagangan international periode September 2019 menjadi momok bagi rupiah dalam beberapa waktu terakhir. Pada hari Selasa (15/10/2019), Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa ekspor jatuh sebesar 5,74% secara tahunan (year-on-year) pada bulan lalu, sementara impor turun 2,41% YoY.

Penurunan ekspor lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan ekspor akan jatuh hingga 6,1% secara tahunan. Sementara itu, kontraksi pada pos impor lebih baik karena konsensus memperkirakan kontraksinya akan mencapai 4,5%.

Namun begitu, neraca dagang pada bulan lalu membukukan defisit senilai US$ 160 juta, berbanding terbalik dengan konsensus yang memperkirakan adanya kehadiran surplus senilai US$ 104,2 juta.

Dengan adanya defisit neraca dagang yang mengejutkan tersebut, dikhawatirkan bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) masih akan bengkak pada kuartal-III 2019.

Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 Bank Indonesia (BI) mencatat CAD berada di level 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang CAD pada kuartal I-2018 yang berada di level 2,01% dari PDB. Kemudian pada kuartal II-2019, CAD membengkak menjadi 3,04% dari PDB. CAD pada tiga bulan kedua tahun ini juga lebih dalam ketimbang capaian pada periode yang sama tahun lalu di level 3,01% dari PDB.

Ketika CAD tak juga bisa diredam, rupiah memang akan mendapatkan tekanan. Untuk diketahui, transaksi berjalan merupakan faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen Neraca Pembayaran Indonesia/NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

Kini, bangkitnya rupiah menciptakan momentum bagi pelaku pasar saham untuk melakukan aksi beli.

BERLANJUT KE HALAMAN 2-> Ekonomi China Amburadul, Pelaku Pasar Saham Asia Panik

Di sisi lain, kinerja bursa saham regional dibebani oleh kabar yang sangat tak mengenakan yang datang dari China. Pada pagi hari ini, China mengumumkan bahwa perekonomiannya hanya tumbuh di level 6% secara tahunan pada kuartal III-2019, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 6,1%, seperti dilansir dari Trading Economics. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2019 juga lebih rendah dibandingkan capaian pada kuartal II-2019 yang sebesar 6,2%.

Untuk diketahui, laju pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2019 yang sebesar 6,2% merupakan laju pertumbuhan ekonomi terlemah dalam setidaknya 27 tahun, seperti dilansir dari CNBC International.

Perang dagang dengan AS terbukti sudah sangat menyakiti perekonomian China. Dalam perang dagang yang sudah berlangsung lebih dari satu setengah tahun tersebut, AS telah mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal China senilai ratusan miliar, begitu pula sebaliknya.

Memang, ada kabar yang menggebirakan terkait perang dagang AS-China. Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin membantah bahwa China belum setuju dengan isi dari kesepakatan dagang tahap satu antar kedua negara.

Sebelumnya pelaku pasar sempat ragu bahwa AS dan China akan benar-benar menandatangani kesepakatan dagang tahap satu yang sudah disetujui secara lisan oleh keduanya dalam negosiasi tingkat tinggi di Washington pada pekan lalu.

Mnuchin justru mengungkapkan bahwa negosiator dagang dari AS dan China kini tengah bekerja untuk memfinalisasikan teks kesepakatan dagang tahap satu untuk kemudian ditandatangani oleh Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping kala keduanya bertemu pada bulan depan dalam gelara KTT Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC).

Sebagai informasi, kesepakatan dagang tahap satu ini akan menjadi jawaban dari kritik AS terhadap China seputar praktik pencurian kekayaan intelektual. Selain itu, permasalahan defisit neraca dagang AS dengan China juga akan dijawab melalui kesepakatan dagang tahap satu, seiring dengan dimasukannya komitmen China untuk membeli produk agrikultur asal AS senilai US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar. Sebagai gantinya, AS setuju untuk membatalkan pengenaan bea masuk baru bagi produk impor asal China yang sedianya akan dieksekusi pada pekan ini.

Namun tetap saja, perang dagang dengan AS terbukti sudah sangat menekan laju perekonomian China. Kala China selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia tertekan, dipastikan bahwa perekonomian global akan merasakan dampak yang signifikan pula.

Tekanan yang dirasakan oleh bursa saham utama kawasan Asia praktis membuat IHSG kesulitan untuk mencetak apresiasi yang lebih besar lagi.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular